Pesan menohok pernah disampaikan oleh Dokter Anak Rumah Sakit Pratama Yogyakarta, "Anak hanya ada satu kali, kalau karir, ada selamanya." "Jika terpaksa benar,carilah ART yang terdidik."tegasnya.
Kehidupan yang pahit menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT) tidak akan pernah kamu rasakan andaikan suamimu kaya atau dirimu yang kaya. Mengapa demikian? Bukan hanya guyonan semata, menjadi IRT haruslah dipikir dan diperkirakan sematang mungkin. Andaikan diangan-angankan saja terlalu berat, sebaiknya mundur dan jadilah wanita karir sesukses-suksesnya.
Semuanya bermula ketika IRT ini keluar dari persembunyiannya, ikut bercampur baur dengan kehidupan disekitarnya: tetangga, pelayanan umum, termasuk di dalamnya sistem pendidikan. Menjadi IRT tidak akan diterima dengan mudah. Pasalnya, IRT adalah orang yang sangat mementingkan suami dan pertumbuhan anaknya.
Andaikan anaknya dibawa ke dalam pelayanan umum tersebut, Â orang dengan secepat jet bercakap, "Kenapa anaknya tidak dititipkan ke TPA saja, mbak?" Hayo! setelah itu mau jawab apa? Menjawab dengan beraneka macam logika tidak akan dapat diterima oleh wanita karir yang lebih mementingkan karirnya daripada keluarga. Lantas harus bagaimana? Tentu saja berbaur dengan mereka, menjadi bagian dari mereka dan tidak lagi mementingkan suami dan anak.
Lantas apakah IRT itu harus tersinggung dan harusnya memperjuangkan haknya. Waduh, tentu saja iya. Saya sebagai seorang IRT dan juga perempuan yang sedang memperjuangkan karir. Mempertahankan karir dan keutuhan rumah tangga adalah pilihan yang sulit. Apalagi jika tidak ada satupun sanak keluarga yang ada karena merantau.
Meskipun bisa saja di TPA anak akan mendapatkan pola asuh yang tepat karena dibarengi dengan teori-teori pengasuhan. Pendidikan utama dan pertama hanya ada pada orang tua. Seberapa  intelektualnya seorang pengasuh masihlah kalah intelektual dan kasih sayangnya dari orang tua kandung.Â
Kita lihat saja kasus kematian bayi Ayden yang baru beberapa saat ditinggal orang tuanya karena benar-benar mendesak. Lantas dititipkan ke Taman Penitipan Anak (TPA). Kejadian sepele yang harusnya bisa ditangani dengan intelektualitas seorang guru di TPA, tidak juga terlaksana. Makanya kematian pun datang. Jika hanya raga dan kemampuan diri yang diberikan di TPA, mengapa si harus menitipkan anak ke TPA? Ingat semua keputusan tetap ada di tangan kedua orang tuanya.
Keluar dari Kegiatanmu adalah yang Tebaik
Pertama, sebagai orang tua yang bekerja, kita akan terjebak dengan kebutuhan ekonomi, kebutuhan gizi, dan keutuhan fisik dan mental anak. Cara yang paling aman hanyalah keluar dari pekerjaan demi mengasuh anak. Bukan meminta orang lain melakukan tugasmu. Pahami apa yang seharusnya dilakukan.
Jangan Menunggu Orang Bersimpati
Bahkan orang-orang berpendidikan sekelas profesor, doktor, dan dokter pun menanggapi TPA sebagai hal yang wajar dan harus dilakukan. Mereka tidak akan merasa kasihan dan membiarkanmu membawa anak. Mereka juga akan mengatakan, "Anak saya dulu juga di daycare/TPA koq." Jelas seorang dosen.