Anak muda jaga stabilitas perekonomian negara? Memang kita bisa apa?
Di benak orang tua kita, anak muda sering kali dipandang sebelah mata. Kerjanya hanya menghabiskan uang orang tua saja, kata mereka. Kalaupun sudah bekerja, gajinya habis untuk memenuhi gaya hidup yang menurut mereka konsumtif dan borosnya keterlaluan. Stereotype yang menyedihkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, populasi pemuda dengan rentang usia 16 s.d. 29 tahun di Indonesia per tahun 2019 mencapai 64,19 juta jiwa, dengan 37,44 juta jiwa di dalamnya termasuk dalam angkatan kerja yang aktif secara ekonomi (BPS, 2020). Di antara jutaan jiwa muda itu, terselip nama Maudy Ayunda, Kevin Sanjaya Sukamuljo, Jerome Polin Sijabat, dan, ehem, saya sendiri. Mereka bekerja dan berkarya di bidang masing-masing, begitupun anak muda di luar sana yang tak sempat tersorot lampu kamera.
Kembali ke pertanyaan pertama. Coba bayangkan, dengan jumlah sebanyak itu, bisakah kita --anak muda-- benar-benar menjaga stabilitas perekonomian negara? Atau, itu hanya angan-angan semata? Sempatkan waktumu membaca informasi di bawah ini untuk mengetahui kebenarannya.
Tentang Stabilitas Perekonomian dan Sistem Keuangan
Seperti yang kita ketahui, ekonomi suatu negara sangatlah dinamis. Hari ini bisa saja ia berada dalam keadaan terbaiknya, lalu hanya dengan satu berita saja, keesokan harinya pasar saham anjlok, harga komoditas naik atau turun tidak terkendali, Rupiah melemah terhadap Dollar Amerika. Â Vice versa.
Kondisi seperti itu ternyata tidak baik bagi perekonomian negara, meskipun grafiknya melonjak naik ke angka positif. Hal ini mengindikasikan ketidakstabilan dan betapa mudahnya ekonomi kita terpengaruh oleh sentimen-sentimen di luar kendali pemerintah. Masih ingat krisis ekonomi global yang melanda dunia pada tahun 2008 silam? Bermula dari krisis subprime mortgage di AS, hingga pada akhirnya Indonesia terkena getahnya juga. Hal serupa juga terjadi 20 tahun sebelumnya.
Untungnya, saat krisis tahun 2008, Indonesia tidak jatuh terlalu dalam berkat kesiapsiagaan Bank Indonesia selaku bank sentral dengan kebijakan makroprudensialnya. Seiring berjalannya waktu, kebijakan makroprudensial tersebut disempurnakan dan digencarkan sosialisasinya. Makroprudensial adalah penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi untuk meminimalisasi risiko sistemik. Â (Bank Indonesia, 2016)
Kedengarannya terlalu kompleks, ya, untuk anak muda turut berpartisipasi di dalamnya?
Faktanya tidak seribet itu, ternyata. Kita masih bisa turut menjaga kestabilan perekonomian negara dan ikut mengaplikasikan kebijakan makroprudensial itu dalam kehidupan sehari-hari dengan gaya hidup ala anak muda yang senantiasa kita lakukan. Begini analogi sederhananya.
Saya adalah seorang karyawan di perusahaan Maju Mundur. Setiap bulannya, saya menerima gaji sekian juta yang disalurkan melalui rekening bank. Di awal bulan, saya menyisihkan sekian persen untuk menabung dan investasi, sementara sisanya saya belanjakan. Uang yang saya tabung di bank, akan disalurkan kepada debitur-debitur yang membutuhkan dana segar, termasuk langganan saya di pasar yang berutang ke bank untuk menambah modal. Setiap minggu, saya berbelanja kebutuhan dapur di tempat langganan saya. Hasil penjualannya akan digunakan sebagai modal, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan membayar cicilan ke bank setiap bulan. Barang-barang yang dijual oleh langganan saya dipasok oleh perusahaan manufaktur Maju Terus.