Mohon tunggu...
Ulfah Mawaddatul Quddus
Ulfah Mawaddatul Quddus Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Politik. Senang menulis, travelling, kuliner, dan memasak. Pengelana ilmu, kritikus, dan cinta sosial.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sehelai Tissue Penyadar Ego

4 Oktober 2013   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:01 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini langit Maghrib biru gelap tanpa sinar apapun, lembayung pastilah sudah tertelan malam. Sudah dua malam memang langit polos tanpa cahaya indahnya. Aku rindu cahayamu bulan, yang bersinar gagah seperti malam tanggal 18 kemarin dari depan pintu kamar 112B asrama, berhias dan ditaburi bintang-bintang yang seolah-olah berjalan. Malam ini di negeri baruku Ciputat, perdana aku coretkan pena ini pada diari berkertas putih tulang yang seolah hampa sentuhan ini.

Kala itu jam beker di kamar menunjukkan pukul 17.54 WIB dan langit sore pun mulai mengabu dan perlahan gelap, aku langsung mengambil wudhu untuk shalat maghrib berjamaah seperti biasa. Setelah wudhu tiba-tiba temanku dari kamar 103B Adila datang menghampiriku ke kamar untuk meminjam box makanan, aku pun mengambil dan melapnya dulu dengan tissue karena ada sedikit kotoran bekas biskuit yang aku simpan. Karena buru-buru saat itu telah adzan tissue yang aku pakai lap aku lempar begitu saja dan tidak masuk tong sampah rupanya.

Ternyata saat itu mungkin ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-gerikku. Saat hendak mengenakan mukena tiba-tiba salah satu teman kamarku menghampiri, namanya Rachmi asal dari Aceh. Dia berkata "uul, boleh aku nasehatin?", pertanyaannya simpel lalu aku jawab "ia boleh, kenapa emang?" dengan polos dia berkata "nanti-nanti buang tissue ke tempat sampah ya !". Nasehatnya simpel, namun mungkin aku sendiri yang mudah tersinggung, merasa digurui, dan tidak bisa menerima nasihat dari orang lain, kalau nasehati orang aku mungkin so ahlinya, aku disitu tersinggung dan berkata "Gimana emang?Lulu buang tissue gimana gitu?"(dengan nada sedikit meninggi dan jutek), aku saat itu tidak ingat pada tissue yang aku gunakan tadi. Lalu Rachmi menjawab tetap dengan polosnya "tissue yang tadi Lulu enggak buang ke tong sampah". Disitulah aku baru sadar dan aku pun masih menyangkal dengan berbagai alibi keegoisanku "oh itu, ia tadi aku buru-buru jadi aku lempar dan kirain masuk"(masih dengan nada sedikit kesal). Sesudah itu semua hening tak ada lagi percakapan yang berlanjut. Aku yang sambil merenung, rachmi yang melanjutkan memakai mukena dan dua orang teman kamar lainnya, kami mendengarkan kumandang adzan bersama.

Aku merenung saat adzan itu, mengingat kembali percakapanku dengan rachmi tadi. Ya... mungkin memang hanya sehelai tissue yang aku buang, tapi itu buruk untuk kebiasaanku. Aku jadi terbiasa menyepelekan hal-hal kecil seperti plastik segel air mineral pun aku buang dimana saja. Dan mungkin itu mengganggu kenyamanan kami berempat di kamar. Dan saat itu aku dibawa oleh imajinasiku menerawang apa  yang aku lakukan beberapa hari kebelakang, aku menasehati rachmi habis-habisan didukung dua orang teman kamarku yaitu Linda dan Desy. Kami menasehati Rachmi banyak sekali, terlebih aku yang so tahu tentang kodrati perempuan bagaimana,  saat menjadi istri dan ibu harus bagaimana, tentang cita-cita kami, prinsip hidup dan masih banyak lagi yang kami diskusikan tentang masa depan kaum perempuan.

Waktu itu Rachmi berprinsip jika ia hanya akan menjadi wanita karier yang sukses, bahkan kala itu aku tanya "enggak apa-apa kamu gak punya suami dan anak-anak?" dengan pertanyaan itu sudah menunjukkan kekasaranku. Dengan polosnya dia menjawab "enggak apa-apa, yang ada dalam pikiran dan cita-cita aku sekarang hanyalah sukses, aku tidak mau memikirkan hal-hal seperti itu" ucapnya. Dengan so dewasanya aku menasehatinya ini itu semauku tanpa memikirkan bagaimana perasaannya, aku menasehatinya panjang lebar dan sedikit pedas, meskipun dia banyak menyanggah nasehat dan kritikku.

Dalam lamunan itu aku tersadar, betapa piciknya aku. Baru sekedar dinasehati tentang sehelai tissue saja aku sudah begitu sensitif dan tidak menerimanya, padahal sebelumnya aku panjang lebar dan pedas menasehati dan mengkritik Rachmi tapi dia sama sekali tidak apa-apa. Inilah yang aku dapat simpulkan dari kejadian "Sehelai Tissue Penyadar Ego" ini :

"Boleh Kita menasehati atau mengkritik orang lain, tapi nasehati dan kritiklah sewajarnya, berikan ia ruang untuk menentukkan apa yang baik untuknya. Dan Jika Kita mendapat nasehat ataupun kritik maka terimalah, renungkan, dan jika baik intropeksilah diri kita. Terimalah banyak nasehat dan kritik, karena jika kita menerima banyak nasehat dan kritik berarti semakin banyak pula orang yang peduli pada kita."

Mari perbaiki kepribadian kita, karena bangsa yang baik adalah bangsa yang memiliki kepribadian yang baik pula !!!

Terima Kasih ;)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun