Mohon tunggu...
Ulfa Hidayati
Ulfa Hidayati Mohon Tunggu... -

Sesegar Nailofar, begitu juga dalam ingatanku.. Akan tetap segar...!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wasiat Jodoh

18 Agustus 2012   08:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:35 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Assalamu alaikum, Bu"

“Waalaikumsalam, sayang. Sudah di bandara? Pesawatnya jam berapa?”

“iyya bu, ini sudah di bandara.. Cuma pesawatnya delay karena cuacanya agak  gak bagus di sini. Ibu dimana?”

“yah di rumah”

“Oia bu, siapin makanan ya.. Fika lapar ini”

“Loh? Kenapa gak makan saja pan pesawatnya juga delay?”

“ahh, gakk mau. Fika maunya masakan Ibu.. hihihi”

“hmm..manja.. iyya nanti ibu masakin.. ya sudah ibu mau telpon nenek dulu..”

“nenek mau ke Makassar juga?”

“Nggak.. kita yang kesana”

“hah?”

“Iyya, rencananya ibu sama bapak kita Lebaran di sana”

“Yaaahhh… Ibuuu.. nenek aja yang di boyong ke Makassar bu”

“gak bisa..nenek gak mau.. ya sudah, nanti ibu telpon lagi yah..hati-hati.. assalamu alaikum”

“walaikumsalam…”

Tut…tut…tut…!!!

Keputusan Ibu menghabiskan masa Ramadhan di kampung bersama nenek merupakan keputusan yang tepat. Ada sejarah panjang di sisi mereka yang belum terungkap sampai sekarang.

Pertama kali tiba di kampung halaman sang Ibu, Fika berlarian ke arah bukit yang dulunya selalu ia tempati melukis keindahan bebatuan yang tersusun seperti kotak-kotak bumi yang terselubung rimbunan lumut yang menghijau mengkilap dan tampak sangat licin. Puas melepaskan kerinduannya, Fika kembali kerumah dan segera menyergap tubuh lemah sang nenek.

Sholat tarawih yang sisa seminggu lagi itu tak pernah di lewatkan Fika dan keluarganya. Dari malam yang satu menuju malam berikutnya Fika selalu bersama sang nenek, melengket seperti permen karet. Dari kedekatan itu Fika selalu memperhatikan neneknya yang tak pernah sekalipun mengganti sajadah lusuh yang selalu ia selempangkan di lengannya. Tidak dengan Ramadhan ini saja, tapi dari dulu selalu begitu. Hanya saja baru kali ini Fika benar-benar tertarik untuk curiga dengan sajadah itu. “Ada apa sebenarnya?” Tanya Fika dalam hati.

Rasa penasaran membuat Fika bertanya kepada seluruh keluarganya, dari Ibu, Ayah, kakak tertuanya, sampai dengan om dan tantenya. Jawaban mereka sama. TIDAK TAHU. Mereka juga selalu mempertanyakannya namun tak ada yang berani bertanya lebih jauh karena dulunya nenek hanya selalu tersenyum ketika di minta mengganti sajadahnya. Selepas sholat tarawih, ketika keluarga besarnya berkumpul di depan teve, Fika sengaja mengambil tempat di sisi sang nenek. Kali ini keluarga besarnya lengkap, karena saudara-saudara sang Ibu yang dari jauh juga berkumpul lengkap dengan istri, suami, dan anak-anak mereka. Dengan hati-hati Fika memulai pertanyaannya, dengan santun, lembut agar pertanyaannya bisa di jawab tanpa harus menyinggung sang nenek.

“nek, Fika mau nanya.. Boleh?”

“Tanya saja. Ada apa?” suara serak nenek memberikan sedikit harapan untuk Fika. Ia benar-benar berharap pertanyaannya terjawabkan. Beberapa paman termasuk Ibu Fika menoleh ketika pembicaraan ini ditekuk lutut oleh Fika seketika. Ada yang sudah bisa menebak arah pertanyaan Fika, namun tak ada yang berani membantah. Hanya beberapa dari mereka yang memberikan signal pada Fika agar tak melanjutkan pertanyaannya. Namun, bukan Fika namanya kalau mundur.

“Masalah sajadah nek, kenapa nenek suka sekali dengan sajadah itu padahal nenek punya banyak sajadah yang lebih baik dari sajadah itu? Hmm.. Maaf nek, Fika Cuma nanya”

“Hahaha.. kamu takut nenek marah? Hah?.. Nenek tahu kamu akan mempertanyakannya kelak” Sejenak nenek terdiam. Beliau memandangi anak serta cucu-cucunya satu persatu lalu tersenyum. Keluarga yang lain pun ikut tersenyum meski gurat senyum itu memberikan sejuta kata yang tak terjawab oleh akal kecuali nenek si pembuat kisah yang tak sempurna.

“Fika, dan kalian semua perlu tahu. Sajadah ini tidak gampang untuk nenek ganti sebelum nenek menunaikan amanah dari kakek. Lama sekali nenek menunggu ada dari kalian yang sungguh ingin tahu tentang sajadah ini. Dulu, nenek mengira ada yang mau mempertanyakan dari anak-anakku. Namun karena di antara kalian ber-5 tak ada yang mempertanyakan satupun, maka nenek menunggu cucu yang akan mempertanyakannya meski terkadang rasa takut menyerang nenek kalau saja nenek meninggal sebelum wasiat kakek bisa nenek santunkan ke kalian.

Sajadah ini dari kakekmu, Fika. Beliau memberikannya pada nenek ketika nenek ulang tahun di usia 22 tahun. Tidak sekedar memberikannya pada nenek Fika, kakekmu memberikan sajadah ini dengan 2 syarat..” nenek terdiam lama sekali. Tak diragukan lagi kalau nenek benar-benar menahan rasa sedihnya mengenang kisah yang mungkin akan menjadi luka kembali dan kini Fika yang menorehkan luka lama itu. Tak bisa di hindarkan pula ada rasa sesal di hati Fika.

“nek, gak usah di lanjut. Maafin Fika, lancang nanyain ini ke nenek, padahal..”

“tidak Fika..” sembari menggenggam jemari-jemari Fika yang mungil nenek sesenggukan sambil mencoba sekuat tenaga untuk bercerita. “nenek harus menceritakannya segera padamu. Nenek sudah terlampau jauh menunggu saat di mana ada yang sungguh-sungguh ingin mengetahui kisah sajadah ini. Syarat yang di ajukan kakekmu adalah yang pertama, apakah nenek bersedia menikah dengannya dengan yakin tanpa memikirkan apa yang kakekmu punya? Tak butuh 1 detik berganti menjadi 2 nenek dengan lantang menjawab “IYA”. Syarat kedua adalah penentu syarat pertama karena syarat ke-2 ini akan menjadi maharnya untuk menjadi istrinya. Kamu tahu apa yang kakekmu minta sebagai syarat mutlak untuk menjadi istri kakekmu yang sah? Nenek tahu kamu tidak akan menyangka. Kalian semua harus tahu syarat yang kedua adalah KEISLAMAN NENEK”

“keislaman nenek? Maksudnya?” semua mata membelakak, semua suara nyaris menyatu dengan kata “hah?”. “Ya. Nenek adalah seorang non-muslim dulunya yang jatuh cinta dengan seorang pemuda muslim. Andaikan nenek tak masuk islam maka kalian anak-anakku tidak akan hadir di sini”. Rasa kaget ini menyergap setiap tubuh yang kini mematung dengan sejuta makna, pertanyaan, heran, kaget, penasaran, yang entah ini nyata atau tidak bagi mereka.

“satu hal lagi yang kakek pesankan ke nenek. Ketika kelak yang mempertanyakan sajadah ini adalah anak perempuan maka kakek sudah menyiapkan seorang pemuda muslim untuknya begitupun sebaliknya. Dulu, pemuda yang kakekmu siapkan untuk anak-anaknya adalah Haris, seorang pemuda yang terkenal dengan kesholehannya, murid kakekmu dan Aisyah sosok muslimah yang benar-benar muslimah. Tapi karena tak ada dari anak-anak nenek yang mempertanyakannya maka ini tidak jadi. Setelah anak-anak nenek semuanya menikah, nenek kembali mencari yang bisa menggantikan mereka berdua. Nenek sudah mendapatkannya. Namanya Taufiq”. Nenek menatap Fika sambil tersenyum. Apakah cucunya akan mau dan bersedia?. “Kamu tahu khan apa yang nenek sekarang butuhkan dari kamu?nenek butuh jawaban kamu,nak” Fika tersenyum dan mengangguk. Sontak semua orang kaget kecuali nenek yang saat ini kini tersenyum lebar sambil memamerkan lapisan giginya yang sudah tak beraturan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun