[caption id="" align="aligncenter" width="723" caption="Oil on canvas, 200x150cm, by Gatot Wijoyo"][/caption] Indonesia kini mulai memasuki era “Demokrasi Ultra-Modern” atau penjabarannya kini kurang lebih seperti visualisasi yang coba dihadirkan dalam karyakedua ini. Dengan bermodal media oil on canvas ukuran 200x150 cm, suami saya mencoba menjelaskan betapa pentingnya merenungkan pesta politik yang mudah dijumpai di pasar demokrasi ultra modern ini yakni bangsa kita, Indonesia. Bermacam warna sangkar burung yang rapih terjajar di pasar burung tentu amat memikat hati pelanggannya. Tetapi apakah setiap isi dalam sangkar tersebut memiliki kualitas yang sama? Tentu tidak, pelanggan pun harus paham dan jeli menelaah kualitas sang burung dalam sangkar. Ada burung yang pandai berceloteh, ada yang dapat terbang dengan indahnya, hingga ada yang bisa berbicara. Namun tak jarang juga mendapati burung-burung yang galau alias terlalu lama dalam kandang, tumpul otaknya tak pernah diasah, juga dijual. Itulah gambaran membeli masa depan wajah politik Indonesia. Demokrasi menuntut banyak suara berkicau berlebihan (ultramodern). Sulit memfilter satu dengan lainnya. Bermacam atribut warna-warni menghiasi wajah luar beberapa partai politik di Indonesia. Namun masihkah banyaknya kuantiti itu mengandung kualitas yang didamba-dambakan? Nyatanya demokrasi tak sejalan dengan tanggung jawab kepada diri sendiri, bangsa dan Tuhan yang maha melihat. Buktinya siapa saja bisa membuat parpol, menjadi pemimpin parpol, bahkan menjadi calon presiden serta pemimpin. Asalakan punya jurus simsalabim dan koceknya tak terbatas (tak berseri) untuk melaksanakan pesta politik besar-besaran!! Apakah itu jurus simsalabim? Sejenisracikan rahasia yang dimiliki partai politik untukmenguasai media-media besar baik online maupun offline. Baik yang ditonton maupun dibaca, yang diklik-klik sekalipun. Fotonya bisa menjadi headline, kata-katanya menjadi berita kecil-kecil dan menguasai polling. Bukan sekedar itu, pastinya menghalalkan segala cara untuk tidak sungkan-sungkan mengatakan akan menang satu putaran lagi dan lagi.Dan masih banyak lagi rahasia racikan yang belum terungkap. Jadi, semua instrumennya yang berupa lembaga, media, intelektual, blogger, komentator dsb bukanlah kunci kemenangannya. Semua itu hanya untuk meyakinkan masyarakat bahwa kemenangannya masuk akal. Semua itu demi tercapainya kepuasan pribadi, pengembalian dana kampanye dan perolehan jabatan serta fasilitas negara! Oleh sebab itu, politik dalam naungan demokrasi telah tergusur maknanya dari pengambilan musyawarah terbaik untuk rakyat, menjadi pembelian suara rakyat hanya untuk sebuah kepemimpinan. Betapa mirisnya bangsa kita! Pada akhirnya, kita pun menyadari, kepemimpinan yang diidam-idamkan butuh sebuah pilihan bijak seperti sangkar bermotif bulu macan yang dipilih oleh pak Tua tersebut. Simbolik atas jiwa kepemimpinan adalah motif sangkar macan yang mengurung sang burung. Artinya, jiwa kepemimpinan harus dijunjung tinggi daripada sekedar merauk keuntungan pribadi. Hati seorang pemimpin harus terbungkus ketulusan dan tanggung jawab penuh atas bangsa dan negara yang dipimpinnya. Setidaknya memiliki wawasan nusantara dan mampu mengayomi masyarakat yang dipimpinnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H