Anak adalah anugerah Tuhan. Keberadaannya penting baik bagi kedua orang tuanya maupun bagi lingkungan masyarakat sekitarnya, dan lebih luas bagi bangsa dan negaranya, bahkan bagi dunia. Kehadiran anak selain sebagai penerus nasab keluarga, juga diharapkan mampu menjadi pelestari makhluk yang kemudian pantas menyandang gelar manusia. Dimana salah satu ciri manusia itu sendiri adalah keberdayaan akalnya. Dengan memfungsikan akal tersebut manusia akan memperoleh predikat "hamba", yakni makhluk yang taat pada kehendak Sang Pencipta, termasuk di dalamnya adalah memakmurkan bumi. Bumi itu sendiri terdiri dari benda mati seperti air, tanah, udara, batu dan lain-lain (meskipun pada hakekatnya semua benda itu hidup bertasbih memuji Tuhannya), maupun mahkluk hidup seperti manusia, hewan, tumbuhan dan makhluk kasat mata (walaupun hakekat hidup itu sendiri adalah ketika manusia mengenal Tuhannya).
Proses Menjadi Manusia dan Pola Asuh Tidak Tepat
      Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman da bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan memiliki budi pekerti yang luhur (https://www.detik.com). Dalam usaha membentuk anak menjadi sebenar-benarnya manusia alias manusia seutuhnya, orang dewasa dalam hal ini adalah kedua orang tuanya, berupaya memberikan pendidikan dan pengajaran kepada mereka sejak dini (mulai dalam kandungan) baik pengetahuan tentang keagamaan yang wajib, yakni tentang tata cara beribadah yang wajib kepada Tuhan, maupun pengajaran umum tentang bagaimana mengelola alam (mahluk hidup dan benda mati). Kemudian para orang tua merasa berkewajiban memasukkan anak-anaknya ke dalam lembaga formal, non formal dan informal. Lembaga formal  mulai dari PAUD, TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MAN/SMK, hingga PT. Sedangkan non formal melalui kursus atau pelatihan, dan informal via sumber lain secara otodidak (media elektronik, media cetak, atau lingkungan) maupun dengan seseorang (teman, tetangga, keluarga).
      Namun dalam usaha pencapaian hasil belajar tersebut orang tua terkadang lupa bahwa ketika mereka telah mempercayakan pendidikan putra putrinya kepada sebuah lembaga, maka mereka juga harus mematuhi aturan-aturan yang ada di lembaga tersebut. Akan menjadi sebuah masalah terutama bagi anak, ketika anak melanggar aturan lembaga yang bersangkutan, namun kemudian orang tua mengajukan keberatan dan bahkan membela tindakan anak yang jelas-jelas menyimpang. Parahnya lagi, mereka menyalahkan para pendidik dan teman-teman anaknya, disertai dengan tindakan mengancam baik kepada pendidik maupun teman-teman anaknya yang tidak setuju dengan tindakan penyimpangan tersebut.
      Orang tua semacam ini bertindak karena beberapa alasan. Diantaranya adalah mereka merasa memiliki kekuasaan lebih yang bisa digunakan untuk menekan lembaga di mana anaknya belajar (berkedudukan tinggi di sebuah lembaga lain atau pasangan dari orang yang berpengaruh atau berkedudukan). Selain itu, mereka merasa memiliki kelebihan lain dibanding dengan para pendidik di lembaga tersebut. Misalnya kelebihan harta benda dan status sosial. Dan yang paling berbahaya adalah jika mereka memiliki pola pikir yang kurang tepat bahwa anaknya akan baik-baik saja jika mereka "ikut campur" dengan gaya mereka sendiri yang mereka anggap paling benar. Namun sejatinya, penyebab paling mendasar adalah karena latar belakang pendidikan, keluasan wawasan, dan karakter negatif, sehingga menjadikan mereka kurang bijaksana dalam menyikapi sebuah masalah.
Konsep Diri negatifÂ
      Apabila orang tua sudah memiliki sifat dan keyakinan demikian, maka keberadaan seorang anak akan "terancam", karena dia seakan memiliki hak istimewa dibanding anak/siswa lain. Selain mengundang kecemburuan sosial, juga akan menjadi PR berat bagi para pendidik dan tenaga kependidikan, jika anak tersebut tetap dipertahankan setelah dengan berbagai cara "pelurusan"
belum membuahkan hasil. Parahnya lagi, tipe orang tua seperti ini terkadang merasa tidak bermasalah jika menyebarkan berita miring tentang aturan lembaga pendidikan yang tidak sejalan dengan seleranya.
      Pembelaan orang tua terhadap perilaku menyimpang anak akan mengakibatkan dampak negatif serius bagi psikologis anak yang bersangkutan. Anak akan merasa aman melakukan pelanggaran karena ada yang memberikan perlindungan. Selain itu akan tumbuh karakter negatif lain seperti manja, tidak mampu mengambil keputusan sendiri, selalu bergantung pada orang lain, cengeng, sombong, egois, tidak bertanggung jawab, indisiplin, semaunya sendiri, bahkan bertindak tidak sopan kepada pendidik. Apabila sifat-sifat buruk ini tidak segera diubah maka kelak akan menjadi buah simalakama bagi orang tua, dan akan menjadi dasar yang rapuh bagi anak dalam mengarungi kehidupan di masa dewasanya, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara tidak langsung orang tua menanamkan konsep diri negatif pada anaknya.
Image negatif teman-teman terutama teman sekelas dan para guru, selanjutnya akan berdampak pula pada sikap, dan tindakan yang cenderung negatif pada anak tersebut. Perlakuan istimewa dari pihak sekolah akan menciptakan kecemburuan bagi siswa lain dan kengganan atau ketidakikhlasan guru dalam mendidik dan mengajar siswanya. Teman-temannya akan menjauh dan menolak kehadirannya karena tidak betah dengan karakternya. Sedangkan para guru merasa berat hati berurusan dengan anak tersebut, apalagi jika kemudian harus berurusan dengan orang tuanya.
Jalan Keluar