Mohon tunggu...
Ulfa Arieza
Ulfa Arieza Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Communication Studies, Sebelas Maret University, SOC

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kontrol terhadap Bisnis Properti

15 Juli 2014   22:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:14 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Indonesia memberi lahan basah bisnis properti bagi investor baik dalam maupun luar negeri. Kepadatan penduduk dan konsentrasi wilayah  menjadi iming-iming manis bagi investor untuk menanamkan modal. Sebagai bisnis yang berada dalam strata kebutuhan pokok manusia, bisnis properti menjanjikan long lasting profit. Bukan bualan belaka, dalam tiga tahun terakhir tren investasi properti merajai pasaran Indonesia, puncaknya pada tahun 2013, dengan pertumbuhan mencapai 20% seperti yang dikutip dari lipsus.kontan.co.id.

Ibarat dua sisi koin, peningkatan angka bisnis properti membawa dampak negatif dan positif bagi stabilitas perekonomian Indonesia. Menjamurnya investasi jangka panjang bisnis properti sudah tentu menambah pemasukan kas Neraca Transaksi Modal Jangka Panjang, namun, investasi ini juga membawa kekhawatiran tersendiri, karena dana investor yang berasal dari bank terpusat dalam satu lingkaran. Kondisi tersebut dalam dunia ekonomi disebut sebagai common exposure, yaitu sebuah kondisi terkonsentrasinya portofolio beberapa bank pada aset dan/atau kewajiban yang sama sehingga menimbulkan potensi risiko yang sama, antara lain terkonsentrasinya kredit beberapa bank pada sektor usaha yang sama, atau ketergantungan beberapa bank pada sumber dana yang sama.

Imbasnya, lonjakan harga properti tak terelakkan. Bagaimanapun juga, hukum pasar tarik-menarik antara demand dan supply tidak dapat dipungkiri adanya. Peningkatan demand properti khususnya kategori hunian tidak dibarengi dengan peningkatan lahan. Kontradiksi tersebut memicu para pengusaha untuk menaikkan harga properti.

Untuk mengembalikan kembali stabilitas sistem keuangan akibat common exposure pada bidang properti yang berakibat pada lonjakan harga pada sektor tersebut, Bank Indonesia sebagai pemangku kebijakan makroprudensial mengeluarkan pengaturan terkait loan to value ratio (LTV) untuk KPR. Kebijakan tersebut mengultimatum konsumen untuk menyiapkan uang muka lebih besar untuk kredit rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Bank Sentral juga melarang bank untuk mencairkan dana KPR untuk properti yang masih belum selesai pengerjaannya atau dikenal sebagai properti inden.

Pengaturan LTV untuk KPR merupakan salah satu instrumen pengaturan untuk membatasi konsentrasi eksposur (exposure concentration), antara lain pengaturan batasan pemberian kredit kepada sektor tertentu. Pembatasan tersebut bertujuan untuk mengendalikan risiko kredit, risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko lainnya yang berpotensi menjadi Risiko Sistemik. Bank Sentral berharap kebijakan tersebut dapat mengerem demand properti dan mengembalikan stabilitas harga.

Kebijakan tersebut tentunya menuai pro dan kontra, terutama dari kalangan pengusaha properti karena angka investasi yang cenderung menurun di tahun 2014. Penurunan angka investasi properti juga diprediksi akan terjadi pada tahun 2015, seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum Persatuan Perusaha­an Real Estat Indonesia (REI) Eddy Hussy bahwa industri properti hanya bisa tumbuh 5%-10% di tahun 2014 (sumber). Angka tersebut berbeda jauh dengan pertumbuhan properti pada tahun 2013 yang mencapai angka 20%.

Lesunya bisnis properti boleh jadi adalah imbas daripada kebijakan makroprudensial berkaitan LTV yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Namun, bukankah setiap kebijakan pastilah mengandung konsekuensi terkait? Dalam hal LTV ini, terdapat dua kepentingan yang harus di-cover, yaitu kepentingan pengusaha dan stabilitas ekonomi pada sisi yang berseberangan. Kebijakan LTV tentunya lahir dengan pertimbangan pasti dan pemikiran alot. Para pengusaha dan investor boleh memandang kebijakan ini sebagai penurunan profit dan lemahnya investasi properti. Tetapi, Bank Indonesia sebagai pengawas makroprudensial tetap melihat kebijakan LTV ini sebagai upaya pengembalian stabilitas keuangan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun