Mohon tunggu...
Ulfa Arieza
Ulfa Arieza Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Communication Studies, Sebelas Maret University, SOC

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kacamata Makroprudensial

15 Juli 2014   22:38 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum hilang dari benak kita tentunya, memori pahit perekomian bangsa tahun 1998. Sejarah mencatatnya sebagai krisis ekonomi terparah dalam siklus perekonomian Indonesia. Setelah selama dua dekade terlena dalam kecukupan ekonomi, rakyat dihadapkan dengan kondisi defisit sektor keuangan makro. Bahkan, dana kucuran Dana Moneter Internasional (IMF)tidak mampu memperbaiki stabilitas keuangan negara gemah ripah.

Krisis ekonomi tak hanya mengenai tersendatnya roda keuangan, lebih dari itu dia mampu melemahkan sendi – sendi negara. Puncaknya adalah ketika Presiden Soeharto yang telah menduduki puncak pemerintahan Indonesia selama 32 tahun lengser dari singgasananya.

Agar tidak terpuruk ke dalam lubang yang sama, Indonesia harus mempunyai kendali makro perekonomiannya. Suatu kuasa untuk melihat kompleksitas ekonomi utamanya dari sektor – sektor yang mempunyai risiko signifikan dan berdampak sistemik, seperti perbankan (Systemically Important Bank) dan lembaga keuangan non bank. Kesehatan sebuah bank sudah pasti mempengaruhi siklus ekonomi bank lain, tetapi belum tentu ketika sebuah bank dinyatakan sehat dengan serta merta bank tersebut mempunyai keleluasaan untuk menaikkan rasio kredit, karena kenaikan tingkat rasio kredit harus melalui pertimbangan kondisi ekonomi makro Indonesia. Kuasa tersebut bukan lain adalah pengaturan dan pengawasan makroprudensial, yang tentunya menjadi wewenang mutlak bank sentral, yaitu Bank Indonesia.

Sesuai dengan salah satu fungsi utama Bank Indonesia yaitu memelihara stabilitas sistem keuangan, maka kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial ini diwujudkan sebagaiupaya-upaya untuk membatasi dan mencegah risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan. Dalam praktek pengaturan dan pengawasan makroprudensial Bank Indonesia memerlukan sebuah pedoman dalam wujud kebijakan. Kebutuhan tersebut yang menjadi cikal bakal lahirnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014. Peraturan baru tersebut mencakup pokok – pokok tujuan pengaturan dan pengawasan makroprudensial, instrumen pengaturan dan pengawasan, dan kewajiban pihak perbankan sebagai nadi ekonomi sektor keuangan. Instrumen pengaturan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai masing-masing instrumen pengaturan tersebut, misalnya untuk loan to value ratio maka mengacu pada ketentuan yang mengatur pemberian kredit/pembiayaan pemilikan properti, kredit/pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit/pembiayaan kendaraan bermotor

Kita semua berharap dengan lahirnya kebijakan baru tersebut, Bank Indonesia lebih kooperatif dalam menjaga sistem stabilitas keuangan Indonesia. Bank Indonesia juga diharapkan mampu melahirkan kebijakan dengan kacamata kesejahteraan ekonomi rakyat. Sebaliknya, seluruh peran dan fungsi Bank Indonesia sebagai pengatur dan pengawas makroprudensial harus didukung kepatuhan para pelaku ekonomi, termasuk di dalamnya para pembaca budiman.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun