Mohon tunggu...
Ulfa Arieza
Ulfa Arieza Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Communication Studies, Sebelas Maret University, SOC

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Inflasi Musiman

25 Juli 2014   23:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:13 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, pasar-pasar tradisional di berbagai daerah bak lautan manusia. Pemandangan tersebut menjadi hal yang lumrah. Mayoritas dari mereka adalah ibu rumah tangga. Tak cukup dengan menjinjing satu - dua barang belanjaan, ibu-ibu tersebut masih rela berdesakan guna mendapatkan barang belanjaan lainnya. Mulai dari daging ayam, ketupat, bumbu dapur, aneka kue kering, hingga pernik-pernik penghias rumah. Tidak jauh berbeda dengan pemandangan di pasar tradisional, pusat perbelanjaan modern pun tak lepas dari serbuan masyarakat yang hendak membeli ragam kebutuhan sandang. Pakaian, sandal, mukena, dan perlengkapan salat menjelma menjadi barang wajib yang harus dikenakan saat Hari Raya Idul Fitri.

Tanpa disadari (dan mungkin tidak dipahami) oleh sebagian masyarakat kita,tradisi tersebut membuat harga komoditi melonjak. Buntut dari lonjakan harga tersebut adalah peningkatan angka inflasi. Inflasi adalah suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga – harga yang secara tajam (absolute) yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik)mata uang suatu negara (Tajul Kahalwaty dalam Luciana dan Anton, 2006). Perlu kita garis bawahi, bahwa kenaikan harga ini bersifat absolute atau tajam, artinya kenaikan yang terjadi tidak bersifat stabil. Tidak hanya mengguncang stabilitas perekonomian, inflasi tersebut mempengaruhi nilai tukar rupiah.

Bagaimana tradisi “unik” lebaran ini mempengaruhi angka inflasi? Lalu, bagaimana kita sebagai masyarakat turut serta menjaga stabilitas perekonomian?

Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, kita perlu menelaah Teori Kuantitas. Teori ini  menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Penambahan uang beredar, baik uang kartal maupun uang giral dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga yang tinggi di masa mendatang menjadi faktor utama penyumbang inflasi disamping berbagai faktor lainnya seperti demand dan supply.

Pembaca budiman, pernahkah kita bayangkan, berapa banyak uang yang beredar untuk memenuhi segala kebutuhan konsumtif masyarakat Indonesia selama Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri? Bank Indonesia (BI) memprediksi uang kartal yang diedarkan (UYD) selama periode Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tahun ini mencapai Rp 580,3 triliun. Jumlah ini meningkat 14,5 persen dibandingkan Rp 506,6 triliun pada tahun 2013 lalu (sumber http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/06/27/bi-prediksi-uang-beredar-selama-ramadan-dan-idul-fitri-capai-rp-5803-triliun). Angka yang cukup fantastis ketika kita sadari bahwa angka tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif selama kisaran waktu satu bulan. Banyaknya uang yang beredar akan menurunkan nilai tukar rupiah di pasaran. Kondisi ini menggambarkan bahwa nilai rupiah melemah. Untuk kembali menguatkan nilai tukar rupiah, pemerintah harus mengurangi rupiah di pasaran, dan hal tersebut bukan perkara mudah, tentunya tidak semudah ketika kita membelanjakan uang untuk kebutuhan Bulan Ramadhan dan Hari Raya.

Banyaknya jumlah uang beredar merupakan imbas daripada ekspektasi pedagang dan pembeli. Sebuah paradigma yang mengakar bahwa selama Bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri akan terjadi kenaikan harga. Sehingga, kedua belah pihak baik pedagang dan pembeli dengan legowo mengikuti trend musiman tersebut. Agak janggal memang, bagaimana bisa harga melonjak ketika stock komiditi tersebut sudah dicukupi oleh para pemasok. Bijaknya, para pedagang tidak memasang margin terlalu tinggi pada barang – barang komoditi tersebut.

Lalu, sampai kapan masalah musiman ini bercokol setiap tahunnya? Dibutuhkan langkah - langkah preventif untuk mencegah lonjakan inflasi. Disinilah peran kita sebagai warga negara untuk menjaga stabilitas perekonomian bangsa.  Dimulai dengan kembali kepada hakikat Bulan Ramadhan sebagai bulan ibadah dan Hari Raya Idul Fitri sebagai hari kemenangan atas hawa nafsu, bukan untuk membebaskan hawa nafsu setelah sebulan lamanya berpuasa. Sehingga, kita dapat meredam kebutuhan konsumtif yang pada akhirnya dapat menjaga stabilitas peredaran uang dan mencegah inflasi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun