Mohon tunggu...
Ulfa Anaria
Ulfa Anaria Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan baru dalam bidang Hukum

Bercerita dengan tulisan, berkelana melalui buku dan pengalaman. Saya senang menulis untuk memberikan opini atau berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kesetaraan bagi Semua Gender Atas Dasar Manusia

12 Agustus 2023   15:07 Diperbarui: 12 Agustus 2023   15:10 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto yang diambil dari galeri pribadi

Perempuan dan laki-laki adalah manusia, mereka merupakan subjek atas diri sendiri yang berhak memilih akan menjadi seperti apa. Sebuah buku yang cukup menarik karya Chimamanda Ngozi Adichie dengan judul "A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis" adalah gambaran mengenai bagaimana di belahan dunia lain memandang perempuan sebagai objek paling diatur. 

Saya adalah seorang yang terlahir dengan jenis kelamin perempuan, membaca buku tersebut membawa berimajinasi pada pengalaman yang pernah dilalui. Tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang memandang bahwa laki-laki adalah makhluk kuat, hebat dan tahan banting membuat mereka menjadi teristimewakan. 

Suatu hari saya pernah melihat seorang anak laki-laki membantu pekerjaan ibunya, kemudian tetangga mereka mengatakan bahwa "anakmu hebat sekali". Pujian tersebut tentu tidak berlaku untuk anak perempuan, karena melakukan pekerjaan domestik adalah tugas wajib bagi mereka yang entah dari mana paham tersebut terbentuk dan melekat di masyarakat. Bahkan jika anak perempuan tidak mau melakukan itu, maka akan muncul stereotip "perempuan pemalas".  

Buku karya Adichie ini masih relevan. Sejak kecil para orang tua masih membedakan perlakuan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan yang menjadikan hal tersebut langgeng sampai mereka dewasa. Seharusnya kesadaran kesetaraan perlu dimulai sejak masih anak-anak. 

Jika diamati pada wilayah populasi masyarakat yang belum menyadari pentingnya kesetaraan pendidikan, perempuan cenderung akan dianggap tidak perlu berpendidikan tinggi, karena tugas mereka adalah mengerjakan pekerjaan domestik dan melayani suaminya kelak. Perempuan yang berpendidikan tinggi dianggap keras kepala atau jika ia tidak kunjung menikah, maka akan ada nasehat "jangan jadi pemilih, nanti kamu perawan tua loh!".

Pada era industri saat ini, kita dapat melihat adanya ketertimpangan tugas perempuan. Banyaknya pabrik produksi yang memilih pekerja perempuan, karena stereotipnya yang mudah diatur dan lemah lembut, membuat peran laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah menjadi tergeser. 

Apakah hal ini menjadikan permasalahan kesetaraan perempuan dan laki-laki selesai? Tidak, karena kini perempuan memiliki dua tugas, yakni sebagai pekerja di perusahaan dan pekerja domestik di rumah. Alih-alih mulai adanya kesadaran dan penyamarataan dalam pembagian tugas, hal ini justru masih menjadi beban seorang perempuan.

Permasalahan kesetaraan gender memang masih terus ada sampai saat ini. Hal ini perlu adanya kesadaran bagian setiap individu bahwa kesetaraan bukan berarti menempatkan perempuan sebagai subjek tertinggi, namun membawa adanya dinamisme antara laki-laki dan perempuan, karena mereka adalah seorang manusia yang berakal dan memiliki hati nurani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun