Bukan rahasia lagi jika jurusan Ilmu Komunikasi atau Jurnalistik lumbungnya para mahasiswa dengan bakat menulis. Beberapa diantaranya bahkan sudah berprofesi sebagai wartawan sambil kuliah. Ada pula yang sudah menerbitkan buku sendiri dengan penjualan di atas rata-rata. Ya, begitu seharusnya profil mahasiswa Ilmu Komunikasi yang selama ini kita lihat dan dengar dari mulut ke mulut.
Mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan gambaran seperti di atas tentu terlihat biasa saja jika berasal dari kampus-kampus besar seperti di ibukota negara atau ibukota provinsi. Tidak ada yang istimewa dari mereka, malahan terlihat aneh jika tidak bisa menulis. Apalagi sudah semester mendekati akhir dan banyak mahasiswa yang berani unjuk bakat dengan karya dan prestasi.
Berbeda dengan kampus daerah yang katanya 'sisa perjuangan' di kampus-kampus besar. Mereka yang mampu menulis tidak banyak. Ada pula yang memiliki bakat terpendam, tapi semakin tenggelam dengan kondisi teman-teman dan lingkungan. Ditambah lagi tidak adanya motivasi untuk mengasah diri karena kurangnya pembinaan dan seseorang yang dijadikan panutan. Lagi-lagi ketertinggalan atau letak geografis yang menjadi kambing hitam. Fasilitas menjadi masalah yang terus diagung-agungkan dalam proses yang belum pernah dimulai.
Sebagai pengampu mata kuliah Penulisan Artikel dan beberapa mata kuliah jurnalistik lainnya, saya merasa mengajar mata kuliah ini sebagai ajang mencari permata yang hilang. Bakat para mahasiswa yang tidak terlihat pada awalnya harus ditemukan dengan memunculkan mereka melalui penugasan. Awalnya terlihat mudah karena masing-masing dari mahasiswa memiliki ponsel android yang mumpuni untuk akses internet. Membaca artikel berkualitas dari berbagai sumber pun tidak menjadi masalah. Belakangan saya sadar bahwa yang menjadi masalah bukan fasilitas seperti yang biasa diungkapkan ke dosen dan media sosial. Masalahnya adalah diri sendiri yang tidak mau mencari tahu lebih dan seperti ada phobia mencoba menulis.
Menulis segampang menulis status curhat colongan di media sosial. Ini harusnya menjadi prinsip yang harus diterapkan oleh mahasiswa dalam memulai menulis. Tidak ada pakem baku yang wajib ditaati oleh penulis dalam memulai menulis. Cukup keberanian dan kepercayaan diri. Itu pun tidak ada.
Berbeda dengan di kampus besar yang mahasiswanya memang berasal dari penyaringan ketat berlapis. Di kampus daerah yang isinya mahasiswa sisa-sisa perjuangan harus dilakukan penerapan dan metode yang berbeda dalam mengajar mata kuliah penulisan. Mereka harus dihadapkan dengan dilema rasa yang mengobok-obok pertarungan batin mereka. Rasa malas, minder, dan yang lebih parah adalah rasa ingin menjadi the best padahal masih di tahap menetapkan minat saja masih galau.
Selama 16 kali pertemuan, diantaranya ada 2 (dua) kali pertemuan adalah Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Sisanya adalah pertemuan dengan komposisi 80% praktek dan 20% materi. Materi sederhana dan sangat mendasar seperti layaknya pelatihan menulis yang dibuka oleh media-media besar. Teori yang diajarkan merupakan yang benar-benar terpakai dan bisa langsung dipraktekkan oleh para mahasiswa. Sayangnya, minimnya minat dalam bidang ini juga berimbas pada hasil yang diharapkan.
Jika digambarkan jurusan Ilmu Komunikasi atau Jurnalistik merupakan lumbungnya penulis dan mereka sudah pasti bisa menulis, sepertinya ungkapan ini harus dijatagorikan berdasarkan wilayah. Cocok untuk area kota dan kampus besar, tapi tidak untuk daerah kabupaten dan di kampus kecil. Mahasiswa di daerah ini terjebak dengan konsep bekerja harus menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak dibutuhkan kemampuan mumpuni untuk bersaing, tetapi kemampuan CAT di tiga bidang yang harus dikejar. Belum lagi yang bekerja sebelum PNS sangat berpegang teguh pada kekuatan orang dalam.
Mencari bakat menulis di jurusan Ilmu Komunikasi kampus kecil tidak sesusah yang dipikirkan orang lain, tapi untuk membina sampai mereka konsisten itu yang sulit. Satu semester mereka bertarung dalam belajar dan di akhir semester memang mampu menunjukkan bukti karya, tapi pada semester berikutnya mereka sudah tidak tahu lagi caranya menulis.
Mahasiswa dipaksa menulis artikel sama seperti dipaksa minum pil pahit yang tidak jelas tujuan penyembuhannya untuk apa. Padahal menjadi penulis atau sekedar bisa menulis itu sesuatu yang menyenangkan. Selain menjaga kesehatan mental tetap baik-baik saja juga bisa menjadi lahan cuan tanpa harus berpindah. Mungkin saja ketika mahasiswa yang bisa menghasilkan rupiah dari menulis dia akan berani update status, "menulislah sampai dikira kamu pelihara babi ngepet."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H