Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Blue Window [Part 1: Malam Tak Tenang]

5 November 2021   17:52 Diperbarui: 5 November 2021   18:00 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita ini merupakan sekuel dari 'Aku dan Cerita Dari Kamar Ke Kamar' yang Dipublikasikan di www.oliverial.com

 

-o0o-

 

"Coba hitung dulu sisa tabunganmu, Va. Bukannya aku meremehkan kamu, tapi kan kamu memang sudah mulai miskin sejak bimbingan dengan Pak J," saran Amel sambil terkekeh ketika kami membahas soal banyaknya dana yang dikeluarkan untuk skripsi. Dia memang mengatakan tidak meremehkan, tapi terdengar jelas nada mengejek di nada bicaranya.

Aku diam saja. Membahas masalah uang memang soal sensitif. Kupikir manusia jenis Amel tidak perlu ditanggapi serius. Apalagi kalau tertawa matanya sampai menghilang.

Nyatanya aku tidak bisa diam saja. Malamnya aku tidak tenang. Langsung saja kubuka buku rekening, mengecek print out terakhir yang tertera di sana. Kemudian menyesuaikan dengan setiap struk pengambilan ATM. Matematikaku buruk, tapi soal meghitung uang kemampuanku lebih cepat dari teller bank.

Aku boleh lega karena sisa uangku lebih dari cukup untuk sekedar memperpanjang kos. Aku sudah menyiapkan juga kenaikan uang setiap tahun kos kami. Bapak kos menaikkan 15 persen tiap tahun, ini bukan jumlah yang kecil. Apalagi untuk ukuran kamar yang kecil ini. Sangat tidak sesuai.

Aku sudah berencana besar. Aku akan tinggal di sini sekitar satu dua tahun lagi, kemudian mencari rumah. Kalau perlu aku harus ikat pinggang untuk membeli rumah mungil dua kamar tipe 36 untuk hidup lebih nyaman. Jadi kalau ada keluargaku datang berkunjung, mereka tidak perlu berhadapan dengan muka masam bapak kos lagi.

Perhitunganku malam ini sudah cukup detil. Aku sudah memasukkan anggaran makan-makan saat wisuda nanti. Make up wisuda juga, serta biaya foto studio dengan teman-teman seangkatan yang wisuda bareng. Termasuk di dalamnya dana revisi skripsi dan percetakan.

Eit, jangan pikir skripsiku dibuat oleh calo. Aku menulis sendiri skripsiku, tapi untuk bergadang juga butuh modal. Cemilan yang super untuk kinerja otak yang duper. Minimal aku harus menyetok cappucino sachet dan susu kental manis untuk menemani ketukan keyboard. 

Modal yudisium sudah cukup hemat. Aku dipinjami kamera oleh Nova. Budget untuk menyewa kamera selamat. Belum lagi untuk make up sudah ditangani oleh Jane Make Over alias Desi Jane Nadhifa, adik kosan yang memiliki tangan seni berkekuatan magis dalam melukis wajah. Budget untuk merias wajah selamat sekian ratus ribu.

Desi menawarkan semua properti wajah miliknya. Mulai dari make up yang tidak abal-abal, bulu mata anti badai, dan soft lens jika aku mau. Aku menolak memakai benda ini, selain takut aku juga tidak mau mengubah penampilanku seperti hantu. Netra palsu di mataku tidak jauh beda dengan mata kuntilanak.

Untungnya lagi, aku mendapatkan duit segepok dari arisan seminggu yang lalu. Aku langsung membeli bahan untuk kebaya, mengirimnya ke kampung untuk dijahit oleh ine, dan berburu heels  di pasaraya. Aku tidak memakai heels genit ke pesta teman-temanku, jadi kubeli yang murahan saja untuk sekali dua kali pakai.

Abaikan soal arisan itu hutang. Kali ini aku sangat terbantu dengan adanya cicilan berkelompok dengan dalih membantu sesama ini. Bisa aku rasakan tatapan iri teman-teman yang menginginkan giliran pertama menggenggam segepok uang arisan itu.

Kutolak ajakan makan bakso teman-teman yang mengambil manfaat dari kumpul-kumpul uang. Kali ini aku sedikit kejam memperlakukan pertemanan yang selalu beujung asas manfaat.

Malam ini aku tidak bisa tidur. Serius!

Aku sedang memikirkan bagaimana keluar rumah dengan make up nampol di wajah seperti tikus kecebur cat. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana kalau make up yang sudah susah payah dioles ke wajahku menghijau hasil oksidasi. Berbagai pikiran benar-benar membuatku tidak bisa tidur.

Jam alarm di atas lemari pakaian sudah menunjukkan pukul empat pagi. Aku belum juga tertidur. Aku paksakan tidur, tapi yang terdengar malah langkah seseorang berjalan dari kamar Desi ke teras depan. Kemudian suara jempol menari di atas tuts ponsel seperti orang sedang chating.

"Kenapa sekarang, sih?" tanyaku pada diri sendiri. Aku sudah sering mendengarnya. Sesehantu yang duduk di teras memang bersebelahan dinding dengan kamarku.

Kami sering menggosipkannya. Mungkin dia Kak Sushmita yang tidak tenang karena meninggal kecelakaan. Dia sering pulang ke kosan karena merasa di sinilah dunianya. Itu hanya obrolan di antara kami para anak kos tanpa sepengetahuan Desi. Ya, karena Sushmita adalah kakak kandung Desi.

Bukan aku saja yang mendengarnya. Sewaktu Lia masih ngekos di sini, dia paling sering melihat, mendengar, dan merasakan kehadiran Kak Sushmita. Kata Lia, terkadang Kak Sushmita memasak mie instan di dapur yang letaknya tepat di bawah tangga. Terkadang dia sedang mandi dengan sabun cair Lux beraroma mawar. Paling sering duduk di teras sambil chatting. Itu memang hobinya.

Selain Lia yang anggota lama, Nadia yang sempat bertemu dengan Kak Sushmita pun pernah beberapa kali mengalami kejadian yang sama. Kejadiannya mirip seperti yang diceritakan oleh Lia.

Masalahnya malam ini aku tidak siap berhadapan dengan Kak Sushmita atau siapapun yang sedang bermain di dunia manusia. Besok adalah hari penting buatku. Aku harus terlihat cantik tanpa lingkar hitam di bawah mata karena kekurangan tidur. Aku juga tidak mau viral di sosial media karena momen pingsan saat penyematan gelar Sarjana Sosial.

Lima tahun, lho. Ya, lima tahun lamanya aku jatuh bangun memperjuangkan status sarjana. Eks mahasiswa dan menjadi sampah masyarakat?

No way!

Kalau boleh sedikit menyombongkan diri, aku sudah mendapatkan pekerjaan. Kontrak setahun ke depan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang inovasi media. Mereka tidak perlu mengujiku lagi karena aku sudah teruji. Mereka hanya perlu memberikanku selembar perjanjian kontrak dengan stempel basah dan memastikan rekening berdering tepat waktu.

Siapapun di luar sana, sungguh membuat suasana hatiku kacau balau memikirkannya. Aku yang sudah tidak tenang dengan perhitungan semakin menipis. Belum lagi target masa depan yang aku rancang. Ah, sungguh malam yang bersahabat dengan kegalauanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun