"Kita pindah ke Alpen semester ini." Pernyataan ini bukan sekali dua kali mampir di telinga saya. Bahkan sudah kebal saking seringnya. Tidak berminat lagi memastikan waktu yang tepat untuk pindah. Cukup sekali saya dibuat galau oleh isu simpang siur yang tidak kunjung terwujud ini.
Sampai suatu hari seorang teman mengirimkan pengumuman di grup. Semester baru yang harusnya sudah dimulai tiga minggu sebelumnya belum dimulai. Mahasiswa turun aksi. Demo menuntut pindah kampus.Â
Oh, tidak!!
Demo lagi, demo lagi. Lagi-lagi demo.
Saya bukan orang yang anti demo. Tapi juga tidak sepenuhnya mendukung aksi mahasiswa kekinian. Jika tujuan demo itu jelas, mari silahkan. Kita berdemo. Saya mendukung penuh. Namun kebanyakan aksi berakhir anarkis, hilangnya etika dan tidak menghargai orang yang lebih tua.Â
Dosen dimaki-maki, dibentak-bentak. Di sini saya merasa ilfil. Zaman saya suka turun ke jalan, etika tetap di depan. Memposisikan para dosen memang seperti orang tua. Jangankan membentak, rasanya di hari masuk kuliah pun kami sudah tidak berani melihat wajahnya. Malu. Kalau-kalau kami bersikap salah.
Dua hari setelah demo, bertepatan dengan World Clean Up Day, kami melaksanakan gotong royong di kampus baru. Di tengah hutan belantara. Memikirkan ke sana saja bulu roma sudah merinding. Tidak kebayang mengajar sampai jelang maghrib. Saya tidak yakin kelas dipenuhi oleh mahasiswa yang sebenarnya.
Nah, di sinilah masalahnya. Bukan soal misteri mahasiswa di kelas. Tapi lebih kepada mahasiswa itu sendiri. Mereka yang datang ke kampus tidak benar-benar ingin memiliki kampusnya.Â
Sederhana saja bentuk untuk memiliki ini, misalnya dengan ikut bergotong royong membersihkan kampus. Membersigkan kaca jendela yang debunya bisa untuk menggantikan papan tulis. Bisa ditulisi. Sayangnya, mereka tidak melakukan itu. Di kampus, mereka melakukan campus touring.