Uleng membuka jendela kamarnya. Sapaan angin subuh membelai wajahnya yang masih menggunakan mukena. Pujian kembali mengudara pada Sang Khalik, tak ada yang harus diragukan atas segala penciptaan dan rencanaNya. Uleng makin mempercayai itu, apalagi setelah segala peristiwa yang dilaluinya. Rona merah kembali menjadi warna di pipinya, bersaing dengan langkah mentari yang pelan-pelan mendaki kaki langit.
Peristiwa sore antara dia, Papi Yayok, Mommy, dan lelaki itu masih mengiang jelas. Betapa jawaban-jawaban yang terlontarkan dari lelaki itu menghadirkan haru di hatinya. Perempuan manapun pastilah akan merasa bahagia mendengarkan tuturan-tuturan itu, maka makin bertambahlah kesyukuran atasNya.
[caption id="" align="alignright" width="176" caption="http://thumbs.dreamstime.com/thumblarge_152/1180568291Lt702D.jpg"][/caption] Uleng ingin membagi kebahagiaan yang dirasakannya. Ingin dibaginya pada seluruh warga Rangkat, utamanya pada orang-orang yang dekat dengannya. Orang yang selama ini selalu menjadi bahu buat segala keluh kesahnya sejak Jingga memutuskan bekerja di kota.
Senyum kecil tiba-tiba mengembang di bibirnya. Teringat ia malam perayaan tahun baru kemarin. Pandangannya tak sengaja membaca laku dua sosok manusia yang sangat dikenalnya. Sebuah rencana benderang di kepalanya.
***
“Mmh…rute hari ini adalah ke warnet Bunda Nyimas,” begitu batinnya. Maka bersegeralah Uleng bersiap-siap mumpung hari masih pagi. Gamis ungu muda dengan kerudung senada membalut tubuhnya. Langkah kakinya pelan tapi pasti menuju warnet Nyimas. Uleng begitu menikmati perjalanannya pagi ini. Menghirup wangi kopi dari warkop Budi van Boil, aroma segala masakan dari warung Pak Ibay dan Putri Gembul, bunga-bunga yang mekar di pekarangan Jeng Pemi, dan tak lupa ia menebar senyum pada beberapa warga yang sedang berkumpul di pos ronda.
“Pagi-pagi gini, Uleng mau ke mana?” sapa Lala yang asyik memainkan kacamata hitamnya.
“ Mau ke warnet Bunda Nyimas, Mas Lala.”
“Mau ditemenin ga ? Dianterin gitu,” Rizal sang repotter tiba-tiba menyalip pembicaraan.
“Hush… kalo soal menemani dan mengamankan, itu tugas saya,” Hans menyerobot sambil mengacungkan pentungan yang membuat Rizal memilih diam.
“Ga usah, Uleng bisa kok jalan sendiri. Lagian di sini kan ga ada orang-orang jahat, kalo jahil sih banyak he..he..,” tolak Uleng halus. Dia tidak mau ada kabar tak sedapmenyebar yang kemungkinan memancing kecemburuan lelaki itu. Cukuplah peristiwa saat Lala mendekati tantenya yang jutek, tante Deasy, menjadi satu-satunya peristiwa yang menghadirkan cemburu di hati lelaki itu.
“Iya sih Uleng, nanti ada yang cemburu,” ujar Hans sambil mengedipkan mata. Ia teringat raut Jeng Pemi yang sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupnya.
“Kalo begitu, Uleng permisi ya, Mas,” Uleng berlalu dengan sekali lagi meninggalkan senyum yang harus mereka bagi tiga.
Seperti itulah suasana desa Rangkat. Segala ramah tamah berasal dari hati, menjalin tali persaudaraan meski tak sedarah, merajut benang persahabatan meski kadang berbeda. Semoga tak ada kemelut yang akan meluluhlantakkan kedamaian itu.
***
Tiba di warnet Nyimas, situasi masih sepi. Uleng hanya melihat D-Wee dan beberapa warga yang sedang asyik menatap layar komputer. Ada Zwan, Dudi, Rena, Dwi, Aldy, dan Bocah ESP. Semua tampaknya sedang asyik bermain ombak di dunia maya.
“Assalamu ‘alaikum, ka Wee…” D- Wee segera mengangkat kepalanya dari buku yang ditekurinya sedari tadi.
“Wa ‘alaikum salam, Dek. Ayo sini.”
“Bunda Nyimas mana, Kak?”
“Tante Da lagi ke sekolahan Bani, ada rapat orang tua murid katanya.”
“Ooow…”
“Uleng mau make komputer nomer berapa?”
“Ah ga kak, Uleng Cuma mau ngobrol aja ma kakak.”
Mengalirlah segala bahasan dari kedua gadis ini, mulai dari bencana yang membuka pergantian tahun hingga akhirnya sampai pada persiapan acara Uleng nanti.
“Pokoknya nanti biar kakak yang ngajarin Uleng dandan deh…” celoteh D-Wee saat pembicaran memasuki bab rias merias. Uleng hanya tersenyum kecil. Saat mereka asyik berbicara, melintaslah Refo yang menoleh sekilas ke dalam warnet, lalu melanjutkan langkahnya. Uleng menangkap tatapan D-Wee berubah hingga bayangan Refo menghilang.
“Ehm…kakak ma Refo cocok kok,” tiba-tiba saca ucapan Uleng membuat D-Wee gelagapan.
“Hush…ada-ada saja kamu, Dek. Refo itu masih tahap pemulihan setelah ditinggal kamu.”
“Ah, kata siapa? Refo itu kan dari dulu suka gombal sana-sini, hehe. Eh, tapi Uleng serius lho dengan omongan yang tadi. Kalian cocok.”
“Cocok apanya?”
“Yah ga tau sih… feeling Uleng saja mengatakan itu. Buktinya tadi pas Refo lewat, matanya singgah dulu ke sini. Trus waktu malam tahun baru kemarin, dia juga curi-curi pandang ma kak Wee.” Ucapan Uleng membuat pipi D-Wee merona merah marun.
“Tapi kan tadi Uleng bilang Refo suka gombal sana sini.”
“Manusia kan bisa berubah, Kak. Refo juga pasti demikian. Nantilah kalo Uleng ada waktu ngobrol ma Refo, Uleng nasehatin kalo perlu kupingnya dijewer biar ga doyan jual jamu eh jual rayu. Lagian Uleng tahu kok kalo Refo nitip salam ke kakak lewat Risty… hehehe.”
“Tau dari mana?” D-Wee tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Uleng dan Risty kan ce-es,” kedip Uleng. D-Wee makin malu, perasaanya terbaca oleh Uleng. Diingatnya lagi permintaan Ningwang tempo hari untuk mencari tahu tentang Refo. D-Wee gamang.
“Gimana, Kak?” pertanyaan Uleng membuyarkan lamunan D-Wee.
“Lihat nantilah, Dek,” jawaban D-Wee mengambang. Uleng hanya bisa menarik napas. Tapi, rencana di kepalanya masih bergulir. Sebuah rencana yang hasil akhirnya masih menjadi rahasia Sang Pencipta. Intinya berusaha, batin Uleng dengan senyum dikulum.
========================
>> Turut meramaikan... :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H