Ada berapa macam rasa yang kita rasakan saat patah hati? Setiap orang memiliki jawaban masing-masing, demikan juga dengan Embun Utari Putri dan Janur Dwi Ajianto, sepasang kekasih yang telah dua tahun bersama. Mereka harus mencecap rasa patah hati karena sebuah keinginan aneh. Keinginan aneh yang takkan saya sebutkan di dalam tulisan ini.
Ini tentang sebuah dunia yang penuh dengan rasa, digambarkan selama empat hari. Sebuah Dunia Patah Hati. Tentu saja tak seorang pun yang berkenan tinggal pada dunia yang membaca namanya saja sudah akan menimbulkan perasaan yang entah. Namun, dunia ini sungguh berbeda. Dunia yang menawarkan beragam rasa yang menarik untuk diselami. Bagaimana rasa pagi yang dimulai dengan secangkir kopi dan sebuah pertengkaran. Tentang cinta dan persahabatan yang membingungkan. Efek pisang sebagai sedativa saat sedang mengalami masalah yang mengacaukan hati. Tentang cinta yang baru sempat terungkapkan, juga kepahitan dari sebuah keinginan yang dipenuhi dengan cara yang sama anehnya dengan keinginan tersebut. Dunia ini dihuni oleh Embun dan Janur, namun mampu menggiring saya larut dalam perputaran dunia mereka.
Ini tentang rasa, dan Om Kopi Dimas Nur a.k.a Nuraziz Widayanto adalah salah satu kompasianer yang ahli meracik rasa dalam tulisan-tulisannya, rasa yang berima. Maka simak saja sepenggal rasa yang diraciknya berikut ini:
Pagi tidak selalu memberi arti. Mungkin hari yang sudah berlalu lebih berarti. Hari-hari yang aku lalui bersama sahabatku menjadi sangat berarti untuk hari ini. Betapa setelah ini hari-hariku menjadi sepi. Entahlah apa yang akan terjadi. (Hal. 191).
Ini tentang cinta, sebuah rasa yang membuat sang pecinta kadang tidak menggunakan nalarnya secerdas apapun dia. Menikmati menjadi bodoh bersama karena cinta, sebab sulit menjadi pintar dan kangen pada waktu yang bersamaan (Hal. 132).
Lalu tulisan saya ini tentang apa? Tentang novel Dunia Patah Hati karya Nuraziz Widayanto tentunya…(hahaha). Novel remaja yang bisa dibaca tidak hanya oleh remaja, tapi juga bagi mereka yang tak lagi remaja agar selalu merasa serupa remaja (belibet yak). Novel ini tidak hanya bercerita tentang jalinan cinta yang terajut antara Embun dan Janur yang harus berakhir karena sebuah alasan yang menurut saya sungguh lucu, namun juga bercerita bagaimana kuatnya sebuah persahabatan, juga kasih antara ayah dan anak.
Dialog-dialog dalam novel ini cukup mengalir, meski di beberapa bagian terasa agak “berat” untuk remaja seperti saya (haha, tolong jangan protes untuk statement ini). Beberapa loncatan cerita dalam ruang dan waktu yang berbeda, sedikit memaksa saya membacanya perlahan-lahan sambil mengingat-ngingat bagian-bagian yang saling berhubungan. Membacanya serupa menyeruput coklat hangat pelan-pelan (maaf, saya bukan penggemar kopi). Merasakan sensasi coklat tidak hanya di lidah, namun hingga ke hati. Begitupun kalimat-kalimat dalam novel bersampul hijau ini tak hanya singgah pada komat-kamitnya bibir yang membaca, namun meresap pada pori-pori ingatan juga rasa di hati.
Ada banyak hikmah yang bisa ditemukan dalam novel ini, sebab apa yang dikisahkan sungguhlah dekat dengan kita-kita yang masih remaja dalam arti sebenarnya ataupun yang sudah melalui masa remaja namun masih berjiwa muda. Cinta adalah cerita yang tak pernah habis untuk dikisahkan. Salah satu efek cinta adalah patah hati, namun jangan takut patah hati sebab hati tidak akan patah. Yang ada hati itu terbalik dengan mudahnya. (Hal. 104).
Sebagai penutup, sepertinya kalimat mas Nuraziz sebelum tanda tangannya, selamat membaca tanpa patah hati, tidak berlaku untuk saya. Saya ikut patah hati setelah membaca Dunia Patah Hati.
Judul Buku: Dunia Patah Hati
Pengarang: Nuraziz Widayanto
Halaman:xv + 210 hal.
Penerbit: Pensil-324
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H