Minggu pagi, sehabis mandi dan memakai baju yang rapih, Abib berlari mendekatiku yang sedang minum teh di beranda. Sambil tersenyum, aku menjulurkan kedua pahaku. Abib nyaman menaruh pantatnya dalam pangkuanku. Seperti minggu pagi sebelumnya, Abib menagih janji.
“Ayah, hari ini Ayah akan bercerita buat Abib, kan?”
“Mmmh…iya..Ayah akan bercerita buat Abib. Abib mau diceritakan apa?”
“Cerita hewan”
“Mmmm…baiklah. Sekarang Abib duduk manis di pangkuan ayah dan dengarkan cerita ayah tentang burung bersayap satu.”
***
Alkisah, di sebuah hutan hiduplah dua ekor burung bersaudara, yang tertua bernama Duru dan yang lebih kecil bernama Dara. Mereka senang sekali terbang tinggi saat matahari baru muncul dari balik gunung. Kadang mereka berkejaran di langit, atau saling memamerkan gaya terbang mereka. Duru dan Dara begitu senang bermain bersama angin yang membantu kepak sayap mereka. Tapi, semua itu tidak mampu lagi dilakukan oleh Dara saat ini. Sebab, sayap yang bisa digunakannya hanya satu.
Minggu pagi yang cerah, Dara hanya bisa menatap kosong melihat ke langit. Di atas sana kakaknya, Duru, asyik meliuk-liuk membelah angin. Terbang dengan kecepatan tinggi memamerkan aneka gaya. Nampak Duru, membentangkan kedua sayapnya yang gagah, lalu tiba-tiba menukik tajam ke bawah. Badannya yang tadi terlihat kecil kini nampak besar saat ia hinggap ke dahan pohon dengan sekejap. Setelah itu, Duru terbang lagi, mengepakkan kedua sayapnya, mengarungi udara, dan hanya dalam hitungan detik, tubuhnya sudah kembali mengecil berputar-putar di atas awan.
Dara menoleh dan tersenyum getir melihat kakaknya. Dia masih belum lupa peristiwa menyedihkan tiga bulan lalu. Saat itu dia terbang tinggi dan menukik dengan kecepatan penuh. Lalu, tiba-tiba kedua matanya kemasukan butiran debu. Ia tidak sempat mengurangi laju terbangnya. Sayap kirinya menabrak ranting kering yang tajam. Tubuhnya terhempas ke tanah. Sayap kirinya bercucuran darah dan terkulai. Untunglah Dara masih hidup, meski sayapnya tidak bisa digunakan lagi untuk terbang tinggi.
Matahari semakin meninggi, perut Dara mulai lapar. Ia harus mencari makan. Dengan hati-hati, Dara melompat ke dahan yang lebih tinggi. Hampir saja dia tergelincir, untunglah sayapnya masih mampu memberikan keseimbangan hingga kakinya mantap menginjak dahan. Memang hanya itu yang bisa dia lakukan setelah kecelakaan. Melompat dari dahan ke dahan lain dengan bantuan kepakan satu sayap. Untuk terbang, dia sudah kehilangan keseimbangan.
Tanpa sengaja, matanya melihat beberapa serangga yang bisa dijadikan makan siang. Lumayan, bisiknya dalam hati. Untuk mencapai sarapan siang itu dia harus melompati setidaknya lima dahan.
Lompatan pertama dan lompatan kedua berhasil dilakukan. Tapi saat akan mendarat di dahan ketiga, wajahnya tertiup kepakan angin hingga ia kembali terjatuh ke dahan yang kedua. Sementara Duru sudah mendarat di dahan tempat serangga itu berada. Tanpa basa basi paruhnya mematuk serangga-serangga itu dengan cepat dan memakannya.
"Haha.. Kurang cepat Dara!" ledek Duru menyeringai.
Dara menghentikan loncatannya. Dia menarik napas panjang. Kakaknya selalu begitu. Apalagi setelah sayapnya terluka, Duru selalu mengejek kelemahannya.
"Dasar cacat!" ejek Duru lagi dengan menjentik kakinya dari dahan dan terbang lagi berputar-putar di atas awan. Pupuslah harapan Dara menikmati makan siangnya hari itu.
Belum lama Duru meninggalkan dahan tempatnya mematuk serangga tadi, tiba-tiba terdengar suara letusan senjata. Dara langsung menoleh ke atas, dilihatnya kakaknya tak lagi terbang dengan gagah di langit, tapi tubuhnya sudah terjatuh ke bawah, menabrak beberapa dahan pepohonan sebelum tiba di tanah. Dara segera melompat ke bawah, ke tempat Duru terjatuh.
Rupanya bunyi letusan senapan itu berasal dari seorang pemburu. Pemburu itu melihat Duru terbang dengan gagah di langit, maka di arahkannya senapannya ke arah Duru. Dan pelurunya menyambar sayap kanan Duru.
Setelah susah payah melompati satu demi satu dahan yang ada, akhirnya Dara tiba di tempat Duru. Dilihatnya sayap kanan kakaknya terluka. Darah bercucuran. Sementara Duru nampak begitu lemah.
“Aduh…aduh…sakit,” erang Duru sambil berusaha menggerakkan sayap kanannya.
“Sabar ya, Kak. Jangan banyak gerak dulu, sayap kakak nanti makin parah,” ujar Dara lembut.
Pelan-pelan Dara membawa kakaknya ke tempat yang lebih aman. Lalu mengobati sayap kakaknya itu. Karena Dara tidak bisa terbang tinggi lagi, maka ia hanya sanggup membawa Duru ke sebuah pohon ketapang muda yang dahannya tidak terlalu tinggi dari tanah. Dara membuat sarang sederhana untuk kakaknya. Bolak-balik ia mengumpulkan ranting-ranting kecil yang akan dijadikannya sarang. Setelah sarang itu selesai, di sanalah Dara merawat Duru.
Tiap pagi dan sore, Dara mencari makan untuk Duru yang sedang terluka. Tertatih ia menggunakan satu sayapnya untuk pindah dari dahan satu ke dahan lain. Kadang ia mencari cacing di tanah, kemudian membawanya naik ke sarang, atau ia memburu serangga yang senang berkumpul di pohon-pohon kecil. Semua dilakukan Dara dengan ikhlas. Tak sedikitpun ia menyimpan dendam atas sikap buruk Duru yang dulu selalu mengejeknya. Hal itu membuat Duru malu pada Dara, apalagi jika ia mengingat bagaimana sombongnya dia di hadapan Dara beberapa hari lalu. Dalam hati ia sangat menyesal atas sikapnya pada adiknya itu.
“Mengapa kau begitu baik padaku? Sementara aku dulu selalu mengejekmu,” ujar Duru di suatu sore, saat Dara baru pulang membawa beberapa ekor cacing yang gemuk buatnya.
“Karena kak Duru itu saudaraku. Sesama saudara kan harus saling sayang.”
“Kamu tidak benci padaku?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena aku sayang kak Duru. Dulu kak Duru selalu melindungi aku waktu diledek teman-teman. Sekarang gantian, aku yang jagain kak Duru.” Ucapan Dara menyentuh hati Duru, ia menangis. Maafkan aku adikku, batin Duru. Dalam hati Duru berjanji jika ia sembuh nanti, ia tidak akan mengejek adiknya lagi. Bahkan ia yang akan mencarikan makanan buat adiknya. Akan selalu melindungi adiknya itu. Adiknya, sang burung bersayap satu namun punya hati seluas langit.
***
“Nah, seperti itu cerita Ayah tentang burung bersayap satunya, gimana, Abib suka?”
“Suka Ayah. Abib suka. Burungnya baik”
“Iya si Dara baik. Meski cuma punya satu sayap, tapi Dara tidak pernah mengeluh, tidak pernah menyerah, bahkan ia tetap berbuat baik pada saudaranya yang pernah mengejeknya. Dia tidak dendam, bahkan sayang sama saudaranya. Abib juga harus begitu sama adek Jibs ya… Sayang sama adek Jibs, jangan suka ngeledekin adek..trus…jangan suka ngambek kalo Umi terlambat bikinin susu buat Abib. Oke?”
“Oke..eh iya, Ayah.”
“Bagus, itu baru anak ayah,” ujarku sambil menciumi kepala anak sulungku itu.
“Yuk, kita masuk. Sekarang waktunya Abib ngaji.”
===============================
>> Kolaborasi Uleng Tepu dan Ma’mar (Nomor Urut 98)
>> Gambar di ambil dari sini dan sini kemudian diolah dikit oleh Naim Ali
>> Untuk membaca tulisan para peserta Paradoks yang lain dipersilakan mengunjungi link berikut: Dongeng Anak Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H