Keberadaan mineral biji timah merupakan karuniaa dari Allah bagi masyarakat di daerah itu pada sisi ekonomi yang berkesempatan mendapatkan penghidupan dari kegiatan penambangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari sisi lingkungan hidup, lubang tambang sangatlah berbahaya jika tidak direklamasi sebab lobung tersebut mengandung logam berat dan bahan beracun lain nya.Â
Dampak kerusakan lingkungan yang di timbulkan merugikan perekonomian negara. Pada mulanya penambangan hanya di lakukan di daratan saja. Namun semakin sulitnya mendapatkan lokasi yang strategis untuk mendapatkan kaya timah di daratan, hasil penambangan di darat yang terus merosot dan biaya operasional yang semakin melambung membuat masyarakat dan perusahaan penambang timah mengalihkan prioritas penambangan ke laut.
Banyak nya para penambangan yang beralih dari penambangan darat ke penambangan laut mengakibatkan Tambang Inkonvensional (T.I) apung yang di operasikan oleh rakyat dan kapal isap yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan timah swasta yang semakin bertambah dan banyak yang bertebaran diseluruh laut Bangka Belitung.
Penambangan timah dilakukan dalam dua jenis proses, yaitu penambangan darat dan penambangan dilaut. Penambangan darat di lakukan dengan cara menggali tanah dengan menggunakan pompa semprot, pasir beserta biji timah kemudian dialirkan melalui peralatan yang disebut sakan, biji timah yang mempunyai berat lebih besar daripada pasir akan terendapkan dan terpisah dari pasirnya. Penambangan dilaut di lakukan dengan cara menyedot biji timah dari dasar laut dengan menggunakan kapal keruk, kapal isap atau T.I apung sederhana yang biasa digunakan oleh rakyat.
Kerugian perekonomian akibat kerusakan lingkungan hidup tersebut di hitung berdasarkan Peraturan Mentri Lingkungan Hidup Nomer 7 Tahun 2014 tentang kerugian lingkunga hidup akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Kerugian tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.
Penambangan timah kerap dikaitkan dengan keberadaan unsur tanah jarang (UTJ) terutama mineral monasit dan senotim (Bahri drr., 2016; Hastiawan drr., 2016; Sanusi drr., 2021). UTJ merupakan kelompok unsur strategis yang diperlukan dalam teknologi modern seperti pesawat anti radar, panel surya, mobil listrik, katalis, motherboard pada komputer, layar televisi LED, dan perangkat magnetic resonance imaging (MRI).Â
Malaysia telah berhasil memproduksi UTJ yang diolah dari sisa penambangan timah (Hidayah dan Abidin, 2018). Indonesia hingga kini belum memiliki satu pabrik pun yang resmi memproduksi UTJ. Instalasi pemisahan monasit dari limbah timah yang didirikan oleh PT Timah Tbk di Tanjungular, Pulau Bangka, masih berskala laboratorium dan belum secara konsisten memproduksi UTJ Sumber daya timah terdapat di Indonesia baik di Pulau Sumatra maupun pulau-pulau lain dalam gugus kepulauan di Timur Pulau Sumatra yang juga disebut sebagai pulau-pulau timah, yaitu: Belitung, Bangka, Singkep, Kundur, dan Karimun (Ng drr., 2017; Irzon drr., 2018).Â
Eksploitasi timah di daratan Pulau Karimun dilaksanakan sejak 1970-an hingga 1990-an. PT. Karimun Granite adalah perusahaan penambangan timah di Karimun yang tercatat mengekspor timah ke Singapura pada tahun 1972 sebanyak 170,000 ton/tahun (Irzon, 2017).
Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi tidak hanya terjadi di hutan yang hancur, lubang galian menganga terisi air yang oelh penduduk lokal disebut kolong (danau kecil) yang menjadi sarang tempat berkembang biaknya nyamuk malaria diseluruh hutan Bangka Belitung. Tetapi juga di pantai yang menyebabkan kerusakan indah nya pantai yang semula berpasir putih bersih dan berair jernih menjadi kotor dan air lautnya menjadi keruh oleh kandungan lumpur limbah tambang yang terbawa sungai ke laut.Â