Tengok salah satu film horor kita, Perempuan Tanah Jahanam (2019) misalkan. Secara komersil ia terbilang sukes. Secara artistik film ini diakui publik dunia lewat penayangan plus sambutan positif di berbagai festival kaliber internasional.Â
Tapi bagi saya secara tematis, film ini bahkan tak mampu menerobos batas konstruksi, bahwa desa dalam kacamata manusia kota, adalah tempat yang ternyata tertinggal, menyimpan misteri menakutkan, dan hal tak terduga lainnya. Maka keberhasilan Pagebluk secara naratif adalah dengan tidak melakukan hal yang sama dilakukan oleh Perempuan Tanah Jahanam.Â
Pagebluk mengajak penonton kita untuk bernostalgia. Dengan telaten ia berusaha merayakan sesuatu yang telah melekat dalam masyarakat Nusantara khususnya Jawa yaitu dunia arwah. Pemujaan terhadap roh leluhur (animisme) dan benda-benda yang memiliki kekuatan gaib (dinamisme) lebih dulu hadir di muka bumi ini sebelum didatangi agama-agama baru.Â
Penggunaan roh leluhur yang marah terhadap kerakusan manusia lereng Merbabu dalam Pagebluk adalah contohnya. Dengan berangkat dari kejadian serupa yang juga pernah terjadi di tempat yang sama, Pagebluk mengajak kita kembali mengingat memori masyarakat kolektif yang terendap jauh akibat modernitas .
Pagebluk memilih menyelesaikan masalahnya dengan kesepakatan yang diraih antara Mbah Surip dengan roh leluhur. Dengan cara meyakinkan bahwa manusia tidak akan mengulangi hal yang sama, yaitu rakus terhadap alam dan isinya. Itu sesuatu yang indah, menyatukan kembali semua manusia bersama-sama, agar bisa menyatu kembali dengan alam.Â
Mengutip dari sebuah kalimat yang pernah saya temukan bahwa buku dan film, merepresentasikan kehidupan jauh lebih baik ketimbang hidup itu sendiri. Itulah alasan saya lebih menyukai buku dan  khususnya film. Sebab di kehidupan nyata, kita saat ini tidak memiliki Mbah Surip, atau mungkin lebih tepatnya, kita sulit sekali untuk menjadi Mbah Surip.Â
Tapi, nilai bagaimana setiap manusia di lereng Merbabu kelak harus bersama-sama untuk tidak mengeksploitasi alam berlebihan, itu adalah yang penting untuk diteladani.Â
Hari ini nilai kolektifitas itu yang hilang. Padahal hal itu sangatlah penting ketimbang menumpukan penyelesaian masalah pada pergerakan individu. Tentu sangat menarik rasanya bagaimana sebuah film horor dengan segala 'kewajibannya' namun tetap mampu menyampaikan pesan penting. Kiranya, Pagebluk mungkin adalah puisi sinema tentang kerinduan diri purba kita yang tak pernah mau peduli lagi dengan alam.
'Pagebluk' film horor kita
Membaca tulisan berjudul Asih 2, Cermin Horor Indonesia Kontemporer, membuat saya sadar bahwa industri film horor Indonesia sedang mengalami 'pagebluk'. Ini rasanya sangatlah ironis. Hampir semua film horor kita saat ini diserang penyakit: kebobrokan kenaskahan.Â
Negara dari benua Amerika Latin dan Asia punya material kultur realisme-magis yang kental tur melimpah. Dan ini bisa jadi modal penting bagi para pembuat film di negeri kita dalam mengolah narasi horor. Pun di luar itu, saya percaya masih banyak ide otentik yang segar menunggu untuk dijamah dengan rasa khas Indonesia.Â