Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tips Menjadi Guru Potensial di Era Milenial

26 November 2017   14:16 Diperbarui: 26 November 2017   14:25 3448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Ilustrasi foto : www.tes.com]

Kondisi kejiwaan orang dewasa lebih matang dan lebih bisa dipahami. Namun apabila anda guru, kondisi kejiwaan dan perilaku anak didik lebih rentan dan rapuh. Bahkan kondisi perilaku anak sd berbeda dengan anak smp, begitu juga anak smp, berbeda dengan anak sma dan mahasiswa. Sebagai guru, harus paham dengan siapa dia berhadapan. Tidak bisa memukul rata gaya ajarnya di kelas. Apabila ada masalah perilaku dengan anak didiknya, harus paham prosedur yang bagaimana yang harus dilakukan. Bahkan tren saat ini, kondisi perilaku anak milenial sudah berbeda dengan anak pra milenial. Oleh karena itu, guru harus mampu membaca situasi.

Tiap anak didik memiliki latar belakang berbeda, kondisi kejiwaan juga berbeda, penanganannya pun juga berbeda. Bila lingkup pendidikan anda memiliki ahli psikolog, akan sangat membantu, namun bila tidak, guru adalah psikolog. Oleh sebab itu, setiap guru baiknya belajar ilmu dasar psikolog, berteman dengan psikolog, mencari literasi tentang psikologi dan sering berkonsultasi. Ini kewajiban, bukan nilai tambah bagi guru. Anda harus memahami bagaimana menangani anak pelaku bullying dan korban bullying, mengerti bagaimana kondisi anak didik yang depresi, antisosial, minoritas, berkebutuhan khusus , dan menyimpang. Tidak hanya yang bermasalah, yang tidak bermasalah pun akan menjadi masalah apabila tidak dikenali sejak dini oleh guru. Peran guru lah menjadi psikolog di kelas. Belum lagi menangani perilaku orang tua murid yang berbeda pula. Hal ini dibutuhkan keprofesionalitasan guru sebagai orang tua kedua. Jangan menjadi guru yang menghindar dari masalah.

3.Guru Dan Aplikasi

Tidak dipungkiri lagi, teknologi adalah jendela dunia ke arah yang lebih baik. Bahasa kasarnya saat ini, guru yang tidak melek teknologi sama dengan "ndeso" (bahasa jawa=kampungan, ketinggalan zaman, tradisional, konvensional, kuper). Guru milenial wajib, (sekali lagi wajib!) memahami perkembangan internet dan aplikasi terkini. Guru konvensional hanya sebatas mampu menggunakan mesin ketik di masa lampau, namun guru online harus mampu memahami kerja laptop dan smartphone untuk mendukung cara ajar mereka. Inipun tidak sekedar mampu mengoperasikan, tapi mampu mengoptimalkan fungsinya. Mencari sumber, contoh, literasi, referensi, bahan ajar berkualitas melalui teknologi adalah kewajiban guru milenial, bukan lagi kebutuhan sekunder tapi primer. Bila belum bisa, belajarlah, bertanya atau otodidak. Akan sangat miris apabila ada guru yang bilang "saya tidak bisa", guru lembek kalau saya bilang. Teknologi tidak memakan usia tertentu, semua kalangan mampu memanfaatkan teknologi. Hanya yang malas bergerak yang akan bilang seperti itu.

Apalagi perkembangan media sosial yang tinggi saat ini, guru milenial harus mampu mengikuti. Anak milenial mengedepankan media sosial dan aplikasi sebagai kebutuhan primer bersosialisasi. Perlu ada pengawasan dan kontrol yang bijak dari guru untuk memahami. Akan lebih baik memanfaatkannya dalam materi belajar di lingkup pendidikan.

Bahkan, aplikasi pendidikan sudah bermunculan baik untuk guru, maupun untuk siswa (contoh: ruangguru.com, quipper, edmodo, dll). Pendidikan berbasis start-up digital pun akan segera dirancang oleh pemerintah Indonesia dalam waktu dekat. Ini adalah kemajuan yang tidak bisa ditolak oleh guru-guru. Berkembang atau berjalan di tempat.

4.Guru Itu Teman

Pernahkah anda semasa sekolah memiliki guru yang saat datang melangkahkan kaki ke kelas, kompak satu kelas tersebut terdiam dari awal sampai akhir mata pelajaran? Karena takut dengan gurunya yang super galak. Sampai sekarangpun masih banyak guru seperti itu. Meski terkadang peran guru galak di sebuah sekolah diperlukan, namun di era milenial saat ini akan kurang cocok untuk diterapkan. Lain halnya dengan guru tegas dan mendidik. Di era milenial, anak milenial lebih cocok dengan pendekatan "diplomasi" ketimbang "anarki". Guru milenial ternyata dituntut untuk menjadi teman berdiskusi sesuai profesi kependidikan. Murid milenial lebih senang dan menyerap pelajaran dengan baik, apabila penyampaian guru yang lebih seperti teman saat berdiskusi biasa. Tentunya dengan batasan antara murid dan guru. Guru yang menyenangkan, tidak membosankan, mengikuti tren murid, cara penyampaian yang "smart", sikap yang baik, jujur dan tidak plin-plan adalah tipe guru yang disenangi. Istilahnya "friendly". Bukan guru yang membuat bulu kuduk berdiri dan "anarkis". Ini semua tergantung dari cara penyampaian guru dan tentu saja perilaku guru. Perilaku guru yang baik (tidak dibuat-buat), akan lebih mendapatkan "respect" yang baik pula. Sebaliknya guru yang tidak dihormati, anak didik akan enggan belajar atau memahami pelajarannya dengan baik.

Membuat situasi dan kondisi yang sama-sama nyaman adalah peran guru. Menjadi guru adalah tentang membangun kepercayaan dengan murid. Karena ikatan guru dan murid akan abadi sepanjang hayat. Murid dan guru boleh silih berganti, namun ikatan kepercayaan akan selalu menjadi memori. Akan lebih baik memori itu diisi dengan kenangan yang baik antara guru dan murid. 

Logikanya, ikatan guru dan murid yang baik menimbulkan pengaruh terhadap penyampaian materi yang baik pula, juga akan merambat ke hubungan yang baik antara orang tua murid dan guru. Alhasil akan menciptakan lingkup belajar yang nyaman. Orang tua murid merasa tenang anaknya dididik oleh guru yang baik dan berkualitas, guru pun merasa didukung oleh murid dan orang tua murid karena ikatan kepercayaan tersebut. Ingat, guru adalah orang tua kedua.

Ini adalah beberapa tips menjadi guru potensional, bukan guru biasa-biasa saja. Juga akan lebih baik bila guru bisa berprestasi diluar bidang ahlinya. Artinya memiliki skill lain yang bisa dibanggakan dan menjadi role model bagi anak didiknya. Karena menjadi guru, tidak sebatas mengajar di kelas. Justru semakin banyak ilmu, prestasi, hobi yang bisa ditularkan ke anak didik atau orang lain akan membuat profesi guru dipandang tinggi dan bermartabat. Guru yang menginspirasilah yang dicari negeri ini, bukan guru yang dicaci maki. Selamat Hari Guru, Kawan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun