"Sebuah Sajak Antara Kota Pelajar, Sampai Tanah Melayu"
Jejak langkahku mengalun di hangatnya senja kota pelajar. Menuliskan ribuan helai cerita, antara kawan dan sajak cinta. Tiada terkira, alunan seni budaya menghipnotis sukma ku, tak ingin beranjak meski satu windu berlalu. Kota ini, menghidupiku dengan banyak sahabat, yang aku rindu. Dan tanah lapang yang membangun ragaku, menjadi kisah sendu di dalam kalbu.Â
Tiba saatnya aku di Tanah Melayu, mengukir guratan mimpi baru. Bertemu sanak famili baru, meski tanpa ikatan janji. Mereka tangguh dan ikhlas mengayuh dalam keheningan malam. Di tanah ini aku belajar berkembang, seperti anak elang tak bersayap. Mengukir sejarah dan menebar kehangatan. Namun, aku hanyalah aku, rindu induk dan kampung halaman. Aku pergi, pulang dan tak kembali.Â
Aku kembali ke kotaku yang hati beriman, aku tertelungkup haru dan rapuh. Menatap jauh kedepan, memandang sinis ke jurang masa lalu. Bersabar dan berharap, mencari keadilan untuk sekedar bertahan. Harapanku pun tertuju kepada kota hujan. Memanggilku dengan penuh mimpi dan angan.
Kini, rintihan derasnya hujan, menemani hariku. Kota hujan yang menjadi mimpi, tak membuatku bertahan. Aku yang berharap, memiliki sayap emas dan terbang, tak mampu menggerakkan hati dan jemariku. Tak seperti di masa lalu, aku hanyalah seorang diri. Dibayangi jati diri masa lalu, aku menangis pilu. Kesendirianku tak menjadi obat segala gelisahku. Mungkin, hanya kota hati berimanku yang akan menjadi selimutku.Â
(Kota Hujan, 21 November 2016)
Ulan Hernawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H