Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etika Guru dan Politiknya

11 September 2017   20:59 Diperbarui: 12 September 2017   02:54 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Ulan Hernawan

(Foto: JMC IT Consultant)

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Semboyan pendidikan bangsa Indonesia yang berarti "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi daya kekuatan", sepertinya akhir-akhir ini sedikit terabaikan oleh rekan-rekan sesama para pejuang pendidik dan pengajar. Sedikit miris apabila banyak rekan maupun teman seperjuangan yang belum mampu mengendalikan pemahaman suara politiknya baik di lingkungan pendidikan, atau lingkungan media sosial. Ingat (kita) ini guru, pengajar dan pendidik yang terhormat dan menjadi garis depan pembawa perubahan terhadap generasi muda sekarang yang rapuh akan penghayatan ideologi dan politiknya.

Seorang guru (kita), tidak serta merta mampu leluasa menyuarakan suara politik kita dalam lingkungan pendidikan. Ada ETIKA yang perlu kita jaga, ada suara yang perlu kita saring, dan ada pendapat yang perlu kita renungkan. Berpolitik boleh, berpendapat boleh, bahkan mengajukan kritik tajam pun dalam dunia perpolitikan itu pun diperbolehkan. Namun, ingat ada etika yang perlu dipatuhi sesuai profesi kita.

Di seluruh dunia sepakat bahwa politik tidak bisa masuk begitu saja dalam lingkungan pendidikan, tidak boleh ada atribut politik di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Tidak boleh juga kampanye politik di dalam lingkungan pendidikan. Apalagi, adanya bujuk rayu dan pengaruh politik kepada anak didik untuk memilih partai atau calon tertentu. Bahkan, sebagai guru Pendidikan Kewarganegaraan sekalipun harus berhati-hati terhadap isu politik, agama, dan ras.

Mengapa?

Lingkungan pendidikan adalah wadah terhormat, netral dan memang harus "bebas" dari politik. Lingkungan pendidikan adalah tempat belajar dan digunakan untuk memperdalam keilmuan segala aspek kehidupan.

Terus, apakah tidak boleh belajar politik di lingkungan pendidikan? Boleh! Siapa bilang tidak boleh. Namun, politik yang berimbanglah yang kita pelajari, ibarat seperti dalam dunia jurnalistik, seorang wartawan atau media massa patutnya memberikan informasi yang berimbang dalam menyampaikan berita politik (fit and proper test, check and balance, dll). Sama hal nya di sekolah atau perguruan tinggi, kita mempelajari teori dan kasus-kasus politik yang sudah, sedang dan akan terjadi. Kita belajar politik, karena ingin memahami keadaan politik yang terjadi, bukan malah "berpolitik" dan bergerilya membangun "persepsi" yang belum tentu benar apa adanya.

Ingat, ada dua makna konotasi politik, yaitu negatif dan positif. Seorang pengajar dan pendidik harus mampu untuk memilah mana yang positif dan mana yang negatif agar anak didiknya pun juga berimbang dan kritis menyampaikan pendapat mereka soal politiknya. Lantas apa tidak boleh, seorang guru menyuarakan pendapat politiknya? Sekali lagi, boleh kok. Namun, ada etikanya. Etika yang bagaimana? Sebagai contoh, seorang pengajar yang memiliki pilihan politik, baiknya tidak memberikan pengaruh politik kita di dalam kelas.

Juga akan lebih baik bila kita tidak membicarakan pilihan partai politik atau calon yang kita pilih, di depan murid atau mahasiswa.  Karena itu akan mempengaruhi persepsi mereka (murid/mahasiswa) terhadap pengajar itu sendiri secara tidak langsung. Iya kalau anak didik tersebut "pro", namun apabila "kontra", maka persepsi murid terhadap pengajar juga akan mulai berubah. Hal itupun berlaku pada rekan sesama guru, atau bahkan berpengaruh ke orang tua murid.

Bahkan tidak jarang terjadi antara sesama pengajar yang memiliki perbedaan pendapat politik akan berdebat argumen dan bertengkar hanya karena perbedaan tersebut. Imbasnya berpengaruh pada kinerja sehari hari dan rusaknya sebuah pertemanan. Atau lebih jauh lagi  murid dan orang tua murid menjadi tidak percaya dan tidak "respect" ke guru hanya karena perbedaan pandangan politik. Hal-hal ini lah yang amat perlu dihindari dalam dunia pendidikan.

Etika Politik Guru Di Media Sosial?

Nah, tidak dipungkiri lagi bahwa akhir-akhir ini media sosial sudah menjadi ajang perpecahan bangsa, baik antar individu, antar kelompok, antar ras, organisasi, partai bahkan antar lembaga negara. Ini merupakan salah satu bentuk ancaman terhadap integritas bangsa dan harus DIREDAM. Kebebasan berpolitik dan berpendapat memang tak boleh dikekang, namun perilaku, ETIKA dan pemikiran/ideologi perlu disaring dan dipikirkan dampak negatifnya.

Bila anda seorang pengajar dan pendidik, gunakan media sosial dengan bijak dan "smart". Ingat, "kata-kata" akan menjadi senjata yang ampuh, namun bisa menjadi bumerang yang menyakitkan yang bisa menghancurkan sebuah negara. Gunakan ide berpolitik anda dengan baik di media sosial. Seandainya berteman dengan banyak murid didikan anda, maka berhati-hatilah menyampaikan pesan anda. Kata-kata dan cuitan anda yang menilai adalah para pembaca pesan. Persepsi mereka akan berubah entah menghargai anda, atau justru "ilfil" terhadap kicauan anda di media sosial.

Ada ungkapan bahasa Jawa, "Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa" yang artinya, jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa. Ungkapan itu bernada nasihat agar setiap orang (pengajar) tumbuh menjadi sosok yang rendah hati, bukan sebaliknya yang tinggi hati. Rendah hati tidak berarti rendah diri, juga tidak menganggap rendah orang lain. Dalam ajaran Jawa, hal ini ditekankan agar seseorang (pengajar, guru, dosen) dapat melakukan koreksi ke dalam sehingga tidak terdorong untuk "menghujat" atau merendahkan orang lain.

Apalagi saat ini budaya kritik negatif berhamburan di media sosial dan seolah tak terbendung. Mirisnya anak didik kita terpengaruh dan menjadi pribadi yang bukannya unggul, akan tetapi hanya pandai "mengkritik", "like" dan "comment" namun saat dilepas di dunia nyata mereka tak mampu bertahan. Banyak yang hanya "rumangsa bisa" (merasa bisa atau mampu) saja, tanpa memiliki rasa "bisa rumangsa" (bisa merasa). Alhasil, generasi muda yang hanya pandai "mencela" atau "menghujat", karena menyadari dirinya tak mampu.

Bukan itu yang kita inginkan bukan?

Bogor, 19 November 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun