Mohon tunggu...
UKMP UNIVERSITASJEMBER
UKMP UNIVERSITASJEMBER Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

UKMP Universitas Jember, Merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa yang fokus dalam permasalahan kependudukan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tren Marriage Is Scary: Ketika Pernikahan Dianggap Menakutkan

18 Agustus 2024   04:18 Diperbarui: 18 Agustus 2024   04:29 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini tren 'marriage is scary' sedang ramai diperbincangkan di media sosial. Tren ini muncul dari konten-konten video yang menampilkan bayangan betapa menakutkannya pernikahan bagi seorang perempuan. Beberapa ketakutan yang ditampilkan dalam video misalnya seperti: menikahi pria yang suka selingkuh; menikahi pria yang patriarkis; bahkan hingga mendapatkan mertua yang suka ikut campur tentang urusan rumah tangga. Video-video tersebut kemudian diedarkan di berbagai media sosial mulai dari TikTok, Instagram, dan juga X.

Sampai akhirnya banyak orang merespon konten-konten tersebut, dengan menyatakan bahwa ketakutan yang digambarkan dalam video sangat relevan dengan pengalaman pribadi mereka. Hal itulah yang kemudian membuat kebanyakan generasi zaman sekarang, memilih untuk menunda bahkan enggan untuk menikah. Sayangnya, pilihan untuk menunda atau enggan menikah nampaknya telah menjadi problem serius hingga saat ini.

Apabila dilihat dari data BPS (Badan Pusat Statistik) angka pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan terutama semenjak satu dekade terakhir. BPS mencatat angka pernikahan terendah terjadi pada tahun 2022 dengan total 1,7 juta pernikahan, sedangkan agka pernikahan tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan total 2,31 juta pernikahan. Di sisi lain, BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) mencatat bahwasanya rata-rata umur menikah perempuan sekarang cenderung mengalami kemunduran. Dari tahun 2020 hingga sekarang, kebanyakan perempuan menikah di usia 22 tahun ke atas. Sementara itu, pada tahun-tahun sebelum 2020 rata-rata perempuan menikah di usia dibawah 22 tahun.
 

Kondisi ini, seolah menunjukkan adanya pergeseran pola pikir generasi muda terhadap pernikahan. Dahulu, pernikahan sering dianggap sebagai tujuan utama dalam kehidupan dewasa, tetapi sekarang pernikahan justru dianggap sebagai pilihan yang cenderung beresiko. Dinamika yang terjadi itu, paling banyak dipengaruhi oleh arus digitalisasi yang berkembang pesat.

Informasi yang sebelumnya sulit diakses kini dapat ditemukan dengan mudah melalui internet dan media sosial. Generasi muda sekarang lebih banyak memahami berbagai macam sudut pandang, termasuk pengalaman buruk tentang pernikahan yang tersebar luas dalam bentuk konten video, artikel, dan diskusi online di internet. Hal tersebutlah yang memungkinkan mereka untuk melihat pernikahan dari perspektif yang lebih kritis, sehingga membuat mereka lebih berhati-hati dalam memutuskan mereka ingin menikah atau tidak.

Selain itu, generasi muda saat ini banyak yang lebih memilih untuk fokus pada pendidikan dan karier terlebih dahulu. Sebab kebanyakan dari mereka berpikir bahwa memastikan kestabilan finansial dan kemandirian pribadi adalah hal yang penting, sebelum berkomitmen dan memutuskan untuk menikah. Terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan Sandwich Generation, menikah menjadi pilihan hidup yang dinomor sekiankan.
Pernikahan merupakan sebuah hubungan yang kompleks, yang melibatkan berbagai tantangan dan tanggung jawab. Menikah atau tidak, memanglah keputusan pribadi setiap individu. Akan tetapi, apabila penurunan angka pernikahan terus merosot, tentunya dapat menjadi masalah yang gawat bagi negara. Penurunan angka pernikahan dapat berdampak pada angka kelahiran, yang pada gilirannya juga dapat mempengaruhi kondisi demografis negara. Lalu, jika hal ini terus berlanjut, Indonesia tentunya akan menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan populasi di masa depan.

Maka dari itu, masalah ini haruslah diperhatikan dengan serius. Sudah sepatutnya masalah ini diteliti lebih lanjut untuk memahami penyebab utama di balik penurunan angka pernikahan, sehingga dapat mengembangkan strategi yang tepat untuk menanganinya. Selain itu, langkah-langkah yang mendukung kesejahteraan keluarga, peningkatan edukasi tentang pernikahan, serta penyediaan akses terhadap fasilitas yang mendorong stabilitas ekonomi bagi generasi muda, juga perlu diupayakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun