Mohon tunggu...
UKM PIKMAG UNAND
UKM PIKMAG UNAND Mohon Tunggu... Lainnya - Unit Kegiatan Mahasiswa PIKMAG Universitas Andalas

Ada untuk mahasiswa, bicara persoalan kita!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Asusila di Dunia Pendidikan Antara Siswa dan Guru di Gorontalo

17 Desember 2024   19:42 Diperbarui: 17 Desember 2024   19:42 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh Nadya Nelsya Putri, seorang mahasiswi Universitas Andalas yang berkegiatan di Pusat Informasi dan Konseling Mahasiswa Andalas Group.

Child grooming adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk membangun hubungan kepercayaan dengan seorang anak, biasanya dengan tujuan untuk melakukan pelecehan seksual. Pelaku sering kali menyamar sebagai teman, saudara, atau sosok yang dapat dipercaya oleh anak. Setelah pelaku dan korban membangun kepercayaan, pelaku akan mengeksploitasi hubungan tersebut dengan "mengisolasi" anak dari teman atau keluarga dan membuat anak merasa bergantung pada mereka. Pelaku akan menggunakan kekuasaan dan kendali untuk membuat anak percaya bahwa mereka tidak punya pilihan selain melakukan apa yang diinginkan pelaku. Cara mencegahnya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai apa itu child grooming, dampaknya, dan cara mengidentifikasinya. Memberikan edukasi kepada anak tentang pentingnya menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain serta menyadari tanda-tanda bahaya yang bisa mengarah pada child grooming.

Baru-baru ini, di dunia pendidikan Indonesia diguncang oleh kasus asusila di Madrasah Aliyah Negeri di Gorontalo yang melibatkan seorang guru dan siswinya.  Hubungan tak pantas ini terungkap melalui video yang beredar di media sosial, yang memicu kecaman publik luas. Di dalam video yang berdurasi 5.48 menit, siswa perempuan itu masih menggunakan seragam sekolah, mereka melakukan perbuatan yang tidak pantas, sehingga aparat kepolisian pun turun tangan, guru yang berinisial DH, yang mengajar di sebuah sekolah di Kabupaten Gorontalo telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap seorang siswi bawah umur.

Meski ada klaim bahwa hubungan mereka didasarkan pada asmara suka sama suka; publik dan pihak berwenang melihatnya sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang serius. Penyebaran video tersebut semakin memperburuk situasi, menyebabkan tekanan sosial yang berat bagi korban, terutama mengingat lingkungan pendidikan yang seharusnya melindungi siswa dari pelanggaran semacam ini. Dampak psikologis dan sosial terhadap korban menjadi perhatian utama, karena korban yang masih berstatus siswa harus menghadapi beban yang berat akibat eksposur negatif. Perlindungan korban dan penegakan hukum yang adil terhadap pelaku menjadi fokus dalam penanganan kasus ini. Beberapa organisasi mendesak agar ada penanganan yang lebih baik dalam menangani korban pelecehan seksual di sekolah.

Selain itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan kritik terhadap tindakan sekolah yang terkesan berusaha melepaskan tanggung jawab dengan dilaporkannya korban yang dikeluarkan dari sekolah setelah kejadian tersebut. Ini menunjukkan masih adanya kekurangan dalam sistem perlindungan siswa di lingkungan pendidikan, yang seharusnya memberikan dukungan penuh kepada korban, bukan malah menjauhkan mereka. Sekolah, sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab terhadap keamanan dan kesejahteraan siswa, harus lebih proaktif dalam menangani kasus-kasus serupa.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam sistem pendidikan terkait perlindungan siswa. Guru, yang memegang peran penting sebagai pendidik dan teladan, harus selalu menjaga profesionalitas dan etika dalam setiap interaksi dengan siswa. Selain itu, perlu adanya pendidikan mengenai perilaku etis dan batasan moral yang lebih kuat, serta pengawasan yang lebih ketat di institusi pendidikan. Perlindungan terhadap korban pelecehan seksual di sekolah harus menjadi prioritas utama, dengan menegakkan kebijakan yang lebih tegas untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan

Kejadian asusila antara guru dan siswa di Gorontalo bisa terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan, di mana guru yang seharusnya melindungi siswa malah memanfaatkan posisinya. Korban, yang merupakan yatim piatu, mungkin mengalami kelemahan emosional dan kurangnya dukungan dari keluarga, sehingga lebih rentan terhadap manipulasi. Selain itu, minimnya pengawasan dari pihak sekolah serta budaya yang mengabaikan pelecehan turut menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya tindakan asusila ini. Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan situasi berbahaya bagi siswa yang seharusnya mendapatkan perlindungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun