Dialektika politik seakan terus mengemuka pasca bergulirnya kebebasan berpolitik sebagai buah hasil reformasi tahun 1998. Teranyar tentu panggung pemilu 2014 kemarin, yang nampaknya masih menyisakan kesan mendalam bagi rakyat Indonesia. Sejak saat itulah rakyat Indonesia akrab dengan istilah KIH vs KMP, DPR tandingan, hingga dualisme partai politik. Akibatnya, lahirlah situasi semrawut dalam tata kelola agenda pembangunan nasional di bawah Nawa Cita-nya Jokowi-JK.
Kegelisahan kemudian melanda rakyat Indonesia, yakni betapa dunia perpolitikan telah kehilangan ideologi dan nilai-nilainya, terlebih yang diamanatkan UUD RI 1945 dan Pancasila. Dalam arti, ideologi dan nilai-nilai tersebut tidak lagi memiliki makna apa-apa bila sudah berhadapan dengan kepentingan dan hasrat merebut kekuasaan. Sehingga keterwakilan rakyat kemudian menjadi pertanyaan sekaligus persoalan pada level legislatif dan eksekutif. Kita pun bertanya-tanya, sistem bagaimana yang harus diciptakan supaya para birokrat dan perangkat legislatif dapat bekerja mewakili kepentingan rakyat?
Mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan cita-cita pendiri bangsa, haruslah terpatri didalam hati para wakil rakyat. Kalau persoalan kemiskinan kita ternyata semakin kronis, ya bagaimana menekan tingkat keparahan itu, bukan sebaliknya malah “miskinisasi” rakyat. Kerisauan ini patut dimengerti, karena terbukti dewasa ini banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa para wakil rakyat lebih peduli pada kepentingan karir politik dan pemodal (kapitalis) daripada kepentingan rakyat. Contohnya, mulai dari kenaikan BBM dan KA Ekonomi, komersialisasi air dan hutan, swastanisasi BUMN, kisruh partai politik, praktik korupsi dan mafia, seluruhnya dibuat dalam balutan politik yang sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat. Hingga pada akhirnya yang miskin semakin bertambah teman, yang kaya semakin foya-foya.
Belum lagi jika kita memasukkan persoalan kemiskinan dengan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), yang didalamnya berbaris jutaan gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan seterusnya. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan ekonomi tetapi juga pengucilan sosial akibat diskriminasi dan stigma. Namun, lagi-lagi iklim politik tidak memihak mereka.
Sayangnya, dialektika tentang PMKS dengan akarnya kemiskinan, masih kalah peminat bila dibanding dengan masalah-masalah politik. Padahal tidak jarang masalah kemiskinan dan PMKS muncul sebagai implikasi dari adanya keputusan-keputusan politik yang kurang mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat. Kalau sistem politik yang kacau sekarang ini secara sadar dibuat, padahal kenyataanya justru membuat rakyat melarat, apalagi namanya kalau bukan politik pemiskinan umat?
Situasi politik kumat semakin menciptakan kemiskinan umat, seakan mencerminkan Indonesia sedang darurat. Inilah saatnya rakyat dan birokrat tidak lagi memiliki sekat, para politikus tak lagi menggunakan siasat hanya demi mencapai karir yang melesat, tetapi mari bersama saling berpegang erat untuk mewujudkan negeri yang maslahat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H