Ini pengalaman pribadi. Bisa jadi sangat subjektif, artinya sangat personal. Tapi, seiring keyakinan bahwa setiap pelajaran itu baik untuk disampaikan, maka cerita ini saya putuskan untuk di share kepada teman-teman. Semoga bermanfaat.
Peristiwanya terjadi sekitar 10 tahun yang lalu. Tetapi, karena ada keterkaitan peristiwa, maka kenangan akan hal tersebut jadi terusik kembali. Mumpung belum luput dari ingatan, kenangan itu saya tuliskan. Kurang lebihnya seperti ini.
Sebagai wakil kepala bidang akademik, saya mendapat tugas mulia dari kepala sekolah. Saya diutus untuk hadir mewakili beliau, datang ke sebuah sekolah untuk membantu menjelaskan kedudukan sekolah tersebut.Konon, ada reaksi dari orangtua murid yang mempertanyakan kedudukan sekolah dan mengkhawatirkan arah kejelasan dan pengembangan sekolah ke depan. Saya gembira sekali mendapatkan tugas tersebut. saya sudah membayangkan akan disambut oleh tuan rumah karena dianggap orang yang serba tahu dan menyelamatkan pengelola di sana. Saking gembiranya, kondisi sulit seperti tidak ada kendaraan yang mengantar tidak saya permasalahkan. Saya berkenan dibonceng pake motor oleh teman guru yang kebetulan pulangnya ke arah sekolah tersebut.
Ternyata perjalanan menuju sekolah tersebut tidak sederhana. Saya merasakan pantat panas dan punggung yang mulai terasa sangat lelah. Sudah dua kali saya bertanya kapan sampai di tujuan, dua kali pula dijawab dengan senyum yang bisa jadi artinya masih jauh atau “cerewet banget!”. Tetapi untunglah akhirnya kami sampai juga. Sekitar dua jam perjalanan yang melelahkan kami tiba di tempat tujuan. Kami berpisah di pintu gerbang dan saya katakan kepada pengantar agar meneruskan perjalanan pulang.
Perjalanan yang melelahkan ternyata menjadi lengkap penderitaannya dengan kenyataan yang ternyata meleset dari harapan. Di luar dugaan, tak satu pun pengelola yang menyambut kedatangan saya. Jikalah ada satu dua orangtua yang berpapasan, mereka tak menyambut senyum atau anggukan saya. Wajah mereka kusut seperti memendam kekesalan.
Pintu gerbang yang tak bertuan saya lewati. Sampai di dalam saya mendengar ada keributan yang membuat saya penasaran mendekat. Ternyata keributan itu datang dari sebuah forum pertemuan. Ada perdebatan yang cenderung bisa dikatakan berangsur menjadi perkelahian apabila yang lainnya tidak pandai melerai dan menenangkan. Salah satu orangtua mengangkat kursi yang siap dihantamkan kepada yang diajaknya berdebat. Lambat laun saya tahu permasalahannya. Ternyata forum itu pertemuan orangtua SMA dengan pengelola. Kericuhan terjadi karena pengelola yang baru dianggap melakukan tindakan sebelah pihak mengubah nama sekolah yang dianggap sudah menjadi bagian dari sejarah perjuangan mereka. Selain itu, pihak pengelola dianggap berlaku sewenang-wenang mengubah apa yang sudah mapan dengan yang sama sekali belum mereka percayai kualitasnya.
Saya seperti diberi pelajaran awal. Itulah misi saya. Adapun pertengkaran yang terjadi, merupakan medan yang akan saya jalani satu jam ke depan. Jika di pertemuan SMA terjadi keributan, maka bukan mustahil di pertemuan SMP, yang salah satunya akan hadir saya, itu pun bisa terjadi. Saya jadi bersyukur atas temuan dan kejadian itu. Saya cepat meninggalkan forum dan memilih bersegera ke masjid untuk mendapatkan pikiran yang lebih jernih.
Air wudhu yang sejuk makin menenangkan jiwa. Saya mereka-reka kejadian yang baru saya alami. Saya menyadari Tuhan lebih memilih penyambutan yang berupa pelajaran daripada sebatas basa-basi pengelola. Saya jadi bersyukur.
Seusai shalat, saya malah mendapatkan pencerahan tambahan. Ada kultum yang membuat saya semakin malu atas niat yang diam-diam saya sadari sebagai sikap ria dan takabur. Saya makin merasa tersindir ketika sang imam menyitir sebuah keterangan. “Barang siapa yang berharap mendapatkan pujian dari manusia cenderung kecewa. Andai pun pada akhirnya ia dapatkan, maka dirinya hanya mendapatkan pujian dari manusia. Tetapi, barang siapa berharap Allah memujinya, maka dirinya akan mendapatkan keduanya. Andai tak satupun manusia memujinya, maka dirinya tidak akan terjebak pada harapan pujian atas manusia. Ia bahagia karena yakin Allah pasti tersenyum padanya.”
Saya malu sekali akan niat dan sikap saya tadi yang kekanak-kanakan. Saya mohon ampun pada-Nya. Sebelum keluar dari masjid, saya bersihkan niat dan sikap. Hasilnya, luar biasa. Saya mantap menginfakkan pikiran untuk meyakinkan orangtua murid bahwa langkah yang dilakukan pengelola benar adanya.
Sampai di pertemuan ternyata pertemuan SMA belum juga usai. Saya temui pimpinan SMP. Saya sampaikan bahwa sebaiknya orangtua SMP tidak menyaksikan suguhan pertengkaran SMA. Saya usulkan agar membuat tempat pertemuan yang baru sehingga tidak tergantung pada usainya pertemuan SMA.
Saya turut mengangkat kursi dan menyapu ruangan. Perlaku saya sempat membuat kaget pengelola, tetapi mereka cepat membantu menyiapkan ruangan. Tak terlalu lama, akhirnya ruang pertemuan Orangtua SMP dengan pengelola siap. Sejumlah besar undangan langsung menempati kursi yang disediakan. Kurang lebih tiga perempat jumlah undangan telah hadir dan pertemuan segera dilaksanakan.
Dimulai dengan pengantar, acara dialog pun bergulir. Satu persatu pertanyaan digulirkan dan satu persatu pula dapat dijawab dengan baik oleh sejumlah pengelola yang hadir. Menariknya, sejumlah pertanyaan itu merupakan hal yang bisa saya jawab, tetapi tak satu pun diarahkan kepada saya. Ada rasa gusar terkait sikap mederator yang tak memberikan kesempatan kepada saya untuk menjawab. Setidaknya, moderator menghargai diri saya yang datang dari jauh untuk membela sekolahnya. Tetapi, rasa kesal itu kembali surut ketika saya ingat keterangan dari sang imam ketika di masjid tadi. Lagi-lagi, saya betulkan hati saya yang cenderung masih butuh pamrih manusia.
Entah berapa pertanyaan bergulir dan saya tidak peduli lagi atas peran dan kemungkinan saya mendapatkan pengakuan. Saya malah larut dalam kebahagiaan karena pertemuan SMP sampai sebatas itu berjalan sangat nyaman dan menyenangkan. Saya bahagia menyaksikan wajah-wajah puas yang mendapatkan keterangan yang mungkin tarasa memuaskan bagi mereka.
Lalu, tibalah satu pertanyaan yang bergulir dari seorang audiens yang sepertinya tidak memberikan respon puas sejak awal pertemuan. “Kami adalah orangtua dari kelas 8 dan akan lulus dari sekolah ini dengan dokumen nama sekolah yang lama. Apabila Bapak-bapak begitu bangga dengan sekolah dan pengelolaan yang baru, maka kebanggaan seperti apakah yang akan kami terima sebagai orangtua yang terlanjur datang dengan pengelolaan dan nama sekolah yang lama?”
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba semua yang hadir hening. Moderator yang tadi begitu pandai mengatur perjalanan diskusi mendadak menjadi seolah hilang akal. Sejumlah pengelola saling bertatapan mereka saling mengangguk dan celakanya, semua tatapan mengarah pada saya. Modertor meminta saya menjawab pertanyaan. Tutur katanya yang halus mempersilakan menjawab tetap saja terasa seperti sengatan listrik bagi saya.
Saya dalam kebingungan. Sejenak saya menggeremangkan shalawat. Antara sadar dan tidak sadar, dari lisan saya mengalir keterangan yang sama sekali tidak saya duga. “Kami pernah mengalami permasalahan yang Bapak tanyakan. Kala itu, saya salah mengelola subjek didik. Sekolah baru dibuka kami telah menerima layanan akselerasi. Akibatnya, sejumlah siswa harus ujian padahal sekolah belum terakreditasi. Kami akhirnya menitipkan sejumlah siswa ke sekolah lain. Kami menduga akan terkena kemarahan yang hebat karena ijazah yang diterima pasti berlabelkan sekolah lain. Kenyataannya ternyata tidak. Orangtua tetap memuji kualitas ananda karena karakter ananda terpuji dan hasil Ujian Nasional yang sangat membanggakan. Saya pikir, untuk kasus yang ditanyakan Bapak, sekolah ini akan mengulang kesuksesan yang pernah kami torehkan.”
Tak dinyana jawaban itu memunculkan tepuk tangan yang berkepanjangan. Bapak yang bertanya yang paling semangat bertepuk tangan. Kondisi itu dipahami moderator. Segera ia menutup pertemuan sehingga forum berakhir dalam titik klimaks yang memuaskan. Saya mendapat banyak ucapan terima kasih. Beberapa pengelola bahkan memeluk saya dengan erat. Saya juga mendengar beberapa pengelola yang mempersoalkan keterlambatan kehadiran saya yang disayangkan luput ketika pertemuan SMA dimulai. “Mungkin, kejadian kekisruhan di SMA tadi tidak akan terjadi kalau beliau tadi hadir di pertemuan!”
Mendapat anugrah seperti itu, saya tak henti-henti beristigfar. Saya khawatir memasang sikap karena kecenderungan hati saya yang mudah berubah kala mendapat pujian atau kritikan. Saya cepat-cepat bergegas mengamankan diri saya ke masjid yang suara adzannya telah memanggil. Sambil menunduk, saya ucapkan rasa syukur yang tiada hentinya kepada yang maha membolak-balikkan hati. “Ya Allah, begitu cepat Kau ingatkan aku untuk bertobat. Begitu cepat pula, Kau berikan aku anugerah atas kepatuhanku pada-Mu. Wahai Yang Maha Pengasih, tetapkan jiwa atas jalan dan titah-Mu.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H