Sampai saat ini peranan sektor Migas sangat penting dalam perekonomian Indonesia karena porsinya yang sangat besar dalam penerimaan negara. Apalagi kebijakan dari pemerintah dalam meningkatkan ketahanan energi nasional dengan penambahan cadangan dapat mengundang investasi-investasi baru pada sektor Migas. Sebagai negara yang kaya akan sumber energi seperti gas bumi, Indonesia mempunyai banyak harapan untuk tetap optimistik karena sampai saat ini, infrastruktur yang dimiliki tidak hanya kilang Liquefaction Natural Gas (LNG), pipa transmisi dan distribusi tetapi juga terminal penerima dan regasifikasi semakin meningkat.
Penerimaan Indonesia dari sektor Migas selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2011 dan 2012 Indonesia memperoleh pendapatan sebesar US$ 35,79 miliar dan US$ 36,13 miliar melebihi target APBN yang telah ditetapkan yakni US$ 32,40 miliar dan US$ 33,48 miliar. Sementara tahun 2013 mencapai 252,4 triliun dan pada tahun 2014 tercatat Rp 320, 25 triliun atau 103 persen dari target APBN-P 2014 sebesar Rp 309,93 triliun. Hal itu menunjukkan bahwa sektor Migas selama ini telah memberikan peran penting dan strategis bagi pembangunan nasional.
Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia, Indonesia dihadapkan pada tantangan bagaimana memenuhi kebutuhan domestik yang kian meningkat. Impor menjadi salah satu langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Agar volume impor dapat dikurangi maka diperlukan laju investasi yang cepat sehingga kebutuhan domestik dapat terpeuhi. Jika diperhatikan, tahun 2012 investasi sektor hulu Migas cukup menggembirakan. Dengan jumlah US$ 15,57 miliar menunjukkan kenaikan dari tahun sebelumnya yakni hanya berkisar US$ 14,02 miliar. Peluang investasi di sektor hulu Migas yang sangat besar semakin menambah optimisme untuk percepatan peningkatan ekonomi nasional.
Belakangan ini, tantangan lain yang dihadapi sektor hulu Migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri adalah semakin besarnya ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sementara produksi minyak dalam negeri tidak sebanding dengan konsumsi minyak yang terus menerus melonjak. Permintaan minyak dalam negeri semakin tinggi, cadangan minyak semakin berkurang menuntut pemerintah untuk melakukan impor padahal itu dapat mempengaruhi ketahan energi nasional. Untuk mengurangi kesenjangan antara produksi dan konsumsi minyak dalam negeri maka pemanfaatan energi alternatif di luar minyak perlu dioptimalkan.
Sebut saja gas bumi. Berbeda halnya dengan minyak yang cadangannya semakin berkurang justru dalam beberapa tahun terakhir, penemuan cadangan gas jauh lebih besar. Semakin menambah optimisme bahwa ketergantungan masyarakat terhadapa penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat diatasi jika pengelolaan dan penggunaan gas mampu dioptimalkan. Data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa produksi gas jauh lebih besar bila dibandingkan dengan produksi minyak. Realisai produksi gas mencapai 8,2 miliar kaki kubik per hari atau 104,2 persen dari target APBN-P sementara produksi minyak hanya mencapai 92,47 persen atau 860.000 barel per hari dari target APBN-P sebesar 930.000 barel minyak per hari. Dengan semakin banyaknya penemuan cadangan gas maka porsi alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri harus lebih besar bila dibandingkan dengan minyak. Hal itu terlihat pada tahun 2013, jumlah alokasi gas mencapai 3.660 miliar British Thermal Unit per hari (BBTUD) sementara tahun 2012 hanya mencapai 3.550 BBTUD. Artinya, walaupun cadangan minyak berkurang tidak mempengaruhi sektor hulu Migas untuk bisa menunjang keberlangsungan peningkatan penerimaan negara jika pemanfaatan dan penggunaan gas benar-benar dapat dioptimalkan.
Dampak Gejolak Perekonomian Dunia Terhadap Sektor Hulu Migas
Perekonomian dunia diperkirakan ke depan tetap akan tumbuh positif meskipun di beberapa negara sudah mengalami gejala resesi. Hal itu didasari oleh laporan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dalam World Oil Outlook 2013 yang menyatakan bahwa beberapa lembaga seperti IMF, Bank Dunia, ICF International, dan Oxford Economics Group memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia dalam beberapa tahun ke depan akan meningkat. Negara-negara berkembang akan menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi dunia sementara negara-negara seperti China dan India akan menjadi motor utamanya.
Pertumbuhan GDP per tahun antara China, India, dan negara-negara berkembang rata-rata diatas 5 persen. Hal itu terlihat dalam World Oil Outlook 2013 yang memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi China dari tahun 2014 hingga 2018 rata-rata mencapai 7,7 persen. Sementara India rata-rata mencapai 6,8 persen dan negara-negara berkembang rata-rata mencapai 5,7 persen. Di negara-negara Eropa, Amerika, dan Afrika diperkirakan tetap akan mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi namun tidak mencapai 5 persen setiap tahunnya.
Dilihat dari pertumbuhan ekonomi global, OPEC memproyeksikan permintaan minyak dunia mengikuti skenario pertumbuhan ekonomi rendah maupun tinggi. Permintaan minyak akan semakin cepat pada negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi begitu pula sebaliknya. Negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi diperkirakan rata-rata membutuhkan pasokan minyak sebesar 9 juta barel per hari lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah. Sesuai proyeksi OPEC, negara-negara berkembang khususnya yang berada di kawasan Asia Fasifik akan mendominasi permintaan minyak dunia.
Melihat gejolak pertumbuhan ekonomi dunia yang semakin tinggi, sebagai negara yang kaya akan sumber energi alternatif di luar minyak, Indonesia dapat memainkan perannya pada sektor minyak. Walaupun permintaan minyak dalam negeri yang cukup tinggi, cadangan sektor gas bumi yang dimiliki dapat difokuskan pengelolaannya untuk memenuhi kebutuhan energi domestik sebagai pengganti konsumsi minyak. Sementara sektor minyak sendiri dapat memainkan perannya secara global. Hal itu sejalan dengan langkah yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengurangi volume ekspor gas agar alokasi gas untuk domestik bisa lebih besar dan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Jika langkah ini dapat dioptimalkan maka tidak menutup kemungkinan Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara pengimpor minyak dapat merubah perannya sebagai negara pengekspor minyak.
Perlunya Strategi Perang Sun Tzu Untuk Memenangi Persaingan Global
Kegiatan eksplorasi dan produksi yang memerlukan biaya tidak sedikit, teknologi canggih, beresiko tinggi serta persaingan minyak dan gas dunia yang semakin kompetitif menuntut pengelolah sektor hulu Migas untuk memiliki strategi mumpuni agar mampu memenangkan persaingan. Ibarat sebuah perang, sekuat apapun kompetitor yang kita hadapi selama kita memiliki strategi jitu pasti takkan mampu terkalahkan. Sektor hulu Migas merupakan sektor yang sangat memerlukan strategi dalam pengelolaannya agar mampu bersaing di pentas dunia dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk perekonomian nasional.
Merujuk pada kitab panduan perang paling fenomenal “Seni Perang Sun Tzu” yang memuat tiga ajaran pokok yakni mengenali diri sendiri, mengenali musuh, dan mengenali medan tempur. Tiga ajaran itu memungkinkan sangat cocok diaplikasikan dalam pengelolaan sektor hulu Migas Indonesia, melihat kondisi persaingan minyak dan gas dunia dari tahun ke tahun kian kompetitif. Negara-negara di Amerika, Eropa, Afrika, serta Asia Fasifik semakin menunjukkan eksistensinya. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia dapat memainkan perannya sesuai dengan visi pemerintahan, Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali diri sendiri. Sektor hulu Migas yang saat ini memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara setidaknya harus dapat mengenal dua komponen utamanya yakni Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi. Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) sangat penting karena itulah yang akan melahirkan inovasi-inovasi teknologi baru dalam pengelolaan minyak dan gas. Sektor hulu Migas perlu membuat Pusat Pengkajian dan Pembelajaran Minyak dan Gas (PPP-Migas) dengan memberdayakan engineer-engineer yang kompeten di bidangnya. Sampai saat ini, Indonesia sangat banyak memiliki lulusan engineer baik dalam maupun luar negeri. Sangat disayangkan, mereka kurang diperhatikan sehingga ilmunya tidak ditransfer dengan baik. Pusat pengkajian dan pembelajaran inilah nantinya yang akan bekerjasama dengan kampus-kampus berbasis teknologi untuk melahirkan engineer-engineer berbakat hebat.
Kedua, mengenali musuh. Musuh utama yang dihadapi sektor hulu Migas adalah pemerintah itu sendiri. Jangan sampai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah merugikan investor. Sistem kontrak antara pemerintah dan investor harus diperjelas serta proses perijinan dipermudah. Kemampuan pemerintah untuk menarik investor sangat ditentukan oleh kebijakan yang dibuat. Korupsi dan ketidakpastian hukum dapat menghambat laju investasi di sektor hulu Migas. Itulah yang terjadi pada tahun 1998 dimana perusahaan-perusahaan minyak Barat enggan memperpanjang operasi mereka. Akibatnya, sektor minyak menderita kekurangan investasi yang sangat besar, sumur-sumur minyak tua mengering lebih cepat daripada penemuan sumur-sumur baru. Hal semacam itu tentu tidak boleh terjadi pada era sekarang ini, kepastian hukum, transparansi, serta sistem kontrak yang jelas dapat mengundang investor dalam rangka meningkatkan produksi minyak dan gas.
Ketiga, mengenali medan tempur. Medan tempur untuk sektor hulu Migas tidak hanya luar tetapi juga dalam negeri. Bonus demografi Indonesia merupakan pasar baru yang cukup potensial. Apalagi dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada bulan Desember mendatang. Hanya saja, sektor Migas perlu memanfaatkan teknologi yang dimiliki secara optimal agar produksi minyak dan gas dapat meningkat. Hal itu tentu harus diiringi dengan bagaimana meningkatkan peran dan kualitas SDM yang dimiliki. Perpaduan antara SDM yang berkualitas dan teknologi canggih akan mampu mengantarkan Indonesia bersaing di pasar minyak dan gas dunia. Selain merajai pasar domestik juga dapat eksis di pasar global. Indonesia sebagai net importir minyak dapat merubah perannya sebagai eksportir.
Sebagai kesimpulan, dalam era globalisasi yang kian kompetitif ini, tidak ada pilihan lain selain sektor hulu Migas meningkatkan kinerjanya baik dalam konteks eksplorasi dan produksi, kepemimpinan, transparansi, manajemennya yang efisien dan efektif juga harus ditunjang oleh infrastruktur dan kekuatan financial yang memadai. Kuncinya adalah meningkatkan kapasitas SDM yang dimiliki. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memberikan kepastian hukum bagi kelancaran operasional sektor hulu Migas. Yang sangat dibutuhkan saat ini adalah dukungan dari pemerintah terhadap pengelolaan blok-blok Migas yakni menyangkut perizinan karena sering mempersulit para investor. Kerjasama yang baik antara pemerintah dan pihak swasta dapat menjadi angin segar buat sektor hulu Migas sebab itulah yang membuat tertarik para investor sehingga dapat meningkatkan produksi minyak dan gas dalam negeri. Dengan deminkian, sektor hulu Migas dapat menjadi sektor andalan penyokong utama perekonomian nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H