Mohon tunggu...
Ukhty Iza
Ukhty Iza Mohon Tunggu... Guru - setiap hari embun meneteskan kesetiaanya pada pagi

Darimu ku dengar manisnya surga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemilik Senyum Cappuccino

8 Februari 2016   14:16 Diperbarui: 9 Februari 2016   11:28 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


[6sqft.com]

 

Hai, pemilik senyum cappuccino. Cepat sekali kau pulang kerja hari ini. Bukankah saat ini baru pukul 02.00 siang.  Tiap hari aku selalu tau kapan engkau berangkat dan pulang kerja. Tiap hari pula aku selalu memperhatikanmu di balik jendela kamarku di lantai dua. Aku juga hafal seragam kerja yang kau kenakan tiap harinya. Pernah suatu hari kau salah menggunakan seragam kerja, lima menit setelah kau tinggalkan rumahmu, kau kembali lagi untuk mengganti seragammu itu. Saat itu sebenarnya dari atas aku ingin berteriak mengingatkanmu. Tapi, siapalah aku.   

Haykal, sering ku dapati kau bercengkarama dengan saudara-saudara kandungmu di halaman rumah. Tak ketinggalan pula setiap pagi kau selalu memberikan senyum manis pada adik kecilmu, Nabila. Senyummu ibarat manusia sedang minum cappuccino. Enak, menghangatkan, dan menikmati. Jika minum cappuccino lidah terasa ingin mencicipi lagi, lagi, dan lagi. Sama seperti senyummu. Manis, menghangatkan, dan membuat mata ini ingin terus menikmati.

Tak sulit untuk jatuh cinta padamu, Haykal. Kau pribadi bersahaja, menenangkan, kau juga termasuk pribadi family man. Atau karena memang kau guru agama? Ah tidak, bukan karena kau guru agama. Tapi memang pribadimu yang menyejukkan.

Aku sangat senang ketika kau menggunakan baju koko lengan pendek putih bergaris hitam di tengah. Biasanya kau kenakan itu di hari Jumat. Dan pada hari itu juga kali pertamanya kau berikan senyuman cappuccinomu padaku. Kau tau Haykal, saat itu aku seperti berada di pinggir pantai menikmati ombak sore hari dengan desiran angin ditamabah melambai-lambainya daun kelapa juga ucapan selamat tinggal dari sang mentari saat ia akan kembali keperaduannya. Begitu indah sekali, Haykal. Dan kau tau kegilaan apa yang kulakukan setalah mendapat senyum pertamamu? Aku membeli 100 mawar putih lalu kubagikan pada setiap orang yang lewat dipertigan jalan dekat kompleks rumah kita.

Haykal, betapa bahagianya aku, penghuni baru kompleks ini bertetanggaan denganmu. Rumah kita berhadapan. Lima bulan yang lalu ketika hari pertamaku di kompleks ini, kau menyapaku dengan ucapan salam, “Assalamualaykum”. Aku tak menjawab salammu, aku ragu, karena aku belum mengenalmu. Ternyata Haykal, salammu yang belum ku jawab, menuntun mataku untuk memperhatikanmu hingga detik ini.

Aku paling takut untuk jatuh cinta Haykal. Termasuk jatuh cinta ke kamu. Tapi, ternyata cinta itu tumbuh begitu saja di hatiku. Entah memang karena salammu yang belum sempat ku jawab, hingga dia hadir dihatiku dan selalu menagih jawaban, atau karena mataku yang tak memandang buruk pribadimu. Entah lah, yang jelas pohon cinta itu tumbuh subur di hatiku. Siapnya aku jatuh cinta, berarti siap pula aku patah hati. Benar saja Haykal, aku patah hati. Saat aku mendengar kabar kalau kau sedang taaruf dengan seorang wanita anak pak kiayi. Hatiku remuk Haykal, pohon cinta yang tumbuh subur di hatiku mendadak layu, mengering, dan hampir mati.

Wanita seperti apa yang kau inginkan Haykal? Anak pak kiayai? Ahli agama sepertimu juga? Ohh, Haykal kriteria itu memang jauh dari diriku. Keluargaku memang biasa saja dalam agama, aku juga bukan guru agama seperti anak pak kiayi itu. Aku hanyalah seorang jurnalis di salah satu koran nasional. Tapi, aku bisa baca Al-Quran, aku juga punya buku-buku agama, dan aku punya kesetiaan untukmu. Percayalah Haykal, aku punya kesetiaan. Tak semua wanita memilikinya. Aku yang akan menyuguhkan kopi atau teh hangat untukmu, aku yang akan meyiapkan sarapan dan baju kerjamu setiap pagi. Aku bisa melayanimu dengan baik, Haykal.

Apakah kamu menginginkan wanita yang sekufu dalam hal agama? Bila aku menjadi istrimu, aku siap Haykal belajar agama padamu, ajarkanlah hal-hal yang belum aku tahu. Bimbinglah aku untuk menjadi istri sholehahmu. Didiklah aku menjadi wanita penyejuk hatimu.

Haykal, aku pengagum senyum cappuccinomu, aku juga pengagum kepribadian bersahajamu. Jiwamu begitu menenangkan. Sungguh aku tersiksa Haykal mendengar kabar itu! Bagimana tidak, senyummu akan menjadi milik anak pak kiyai. Kopi, teh hangat, sarapan, baju kerja, akan disiapkan oleh wanita itu. Tidak Haykal! Jangan! Biar aku yang menyiapkan semua itu untukmu.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun