2019 berakhir, 2020 hadir. Di penghujung tahun ini, izinkan saya membagi sebuah tulisan mendalam dan penuh makna tentang bagaimana kita mengilmui perayaan tahun baru dari kaca mata Islam. Ditulis oleh rekan saya, panggilannya ZIZOU, yang juga dapat teman-teman baca di akun Instagramnya (klik di sini untuk mampir)
Melihat post-post di media sosial kini, setidaknya kaum muslim bisa sedikit berbahagia, gerakan untuk mengcounter perayaan tahun baru kian marak, dan ini suatu hal yang harus kita syukuri dan galakkan.
Meski begitu, sudah saatnya kaum muslim sampai pada pemahaman yang utuh. Sebab perbuatan kita didasarkan pada Ilmu, dan Ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu sebagaimana adanya. Maka marilah kita mengetahui hukum merayakan tahun baru sebagaimana adanya !
Banyak ditemui penjelasan dalam artikel-artikel atau sumber informasi lain yang menjelaskan mengapa tahun baru haram, diantara alasan yang disebutkan ; Iktilath, Tabzir, lalai waktu, lalai sholat Shubuh, Tasyabbuh Yahudi, Nasrani dan Majusi karena Trompet, lonceng dan kembang api. Jika ini dijadikan alasan maka akan timbul masalah, sebab semua hal ini bukanlah 'Ainul Fi'li, melainkan Amrun Khaarij. Bingung? Â Sabar. Teruslah membaca.
Ainul Fi'li adalah dzat perbuatan itu sendiri. Sedangkan Amrun Khaarij adalah perkara yang tidak masuk dalam zat perbuatan itu, dalam hal ini, zat perbuatan itu adalah marayakan tahun baru. Jika merayakan tahun baru haram karena alasan-alasan tadi (yang notabene adalah Amrun Khaarij) maka akan timbul pertanyaan,
Bagaimana jika dalam perayaan tahun baru itu tidak ada Ikhtilath? Keluar bersama teman yang sesama jenis dan masih mahronya, ke lapangan kosong. Apakah jadi boleh?
Bagaimana jika dalam perayaan tahun baru itu, tidak membuang banyak waktu, hanya 10 menit pergantian tahun? Apakah jadi boleh?
Bagaimana jika kita masih Sholat shubuh berjamaah, tepat waktu pula, setelah merayakan tahun baru? Apakah jadi boleh?
Bagaimana jika dalam merayakan, kita tidak menggunakan lonceng, kembang api dan trompet, Namun makan bersama dengan keluarga? Apakah jadi boleh?
Tentu tidak. Karena keharaman merayakan bukan terletak pada alasan-alasan diatas, melainkan karena :
- Ikut merayakan "hari raya" orang kafir. Rasul telah melarangnya.
- Tasyabbuh (menyerupai) kaum kafir dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka, Â yaitu merayakan pergantian tahun baru. Meski berbeda bentuk dan "aksesoris" perayaannya.
Kami insaf, bahwa alasan-alasan diatas (Ikhtilath, Tabzir dll) muncul untuk memudahkan pemahaman kaum Muslim Indonesia, yang masih awam pada umumnya, yang dalam menjalankan perintah dan larangan Nya masih bertanya, kenapa?