Mohon tunggu...
Munifa Faa
Munifa Faa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ketika mata melihat, telinga mendengar, dan hati merasakan maka tangan akan menulis kata-kata yang tak mampu diucapkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hanya Kata(ku) Saja

8 April 2014   16:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gemuruh angin memainkan dendang syahdu dipendengaran para pecandu malam

Memenangkan aura kelam tanpa pelita pun bias cahaya bulan

Bintang-bintang enggan menyapa hati yang terjeruji para pendusta

Yang merajam cinta kerana ketidakpuasan rasa

.

Aaaaa…

Ingin kuluapkan segala emosi jiwa yang telah lama menyiksa batinku dalam keterpurukan

Agar mataku tak lagi jadi beban yang menumpahkan air mata

Dan air mata bukan lagi untuk mereka yang bermainmain di atas penderitaan karena cinta…

.

Seperti gemerisik dahan tersapu angin malam kian memekakkan telinga

Memendarkan cahaya bulan diantara keremangan dunia; di bawah langit yang berwajah masam

Kusam… pekat… gelap…

Disana terselubung untaian kata-kata yang siap mencaci-maki si pembangkang dusta

.

Aaaaa…

Inginku…

Tumpahkan hasrat yang terbelenggu meski dalam kesenjangan waktuNya; Dia yang empunya segalanya

Yang memberiku rasa yang jua mereka rasa: layaknya cinta yang tertulis rapi pada sajaksajak rindu si tuan

Mengapa rindu semakin melimpah ruah

Sedangkan yang merindu tak kunjung datang...

.

Aaaaa...

Aku dan kataku masih ingin berceritra banyak tentang rindurindu yang terpatri dalam dada

Sebab aku bukan si muna karena takut atau malu pun ragu yang membekukan kakiku seketika waktu

Aku hanya merasa aku adalah kata yang ambigu untuk mereka jamah dan baca sekalipun

Aku adalah kata yang tertulis meski tak mereka gubris dengan senyum  merekah di bibirnya

Aku adalah kata yang terbang bersama angin ketempat tanpa ruang di ujung semesta

Aku…

Kataku…

Ada karena Tuhanku...

.

Aaaaa...

Aku dan kataku masih ingin berceritra banyak tentang rindurindu yang terpatri dalam dada

Sebab aku bukan si muna karena takut atau malu pun ragu yang membekukan kakiku seketika waktu

Aku hanya merasa aku adalah kata yang ambigu untuk mereka jamah dan baca sekalipun

Aku adalah kata yang tertulis meski tak mereka gubris dengan senyum  merekah di bibirnya

Aku adalah kata yang terbang bersama angin ketempat tanpa ruang di ujung semesta

Aku…

.

.

.

........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun