Seluruh rakyat Indonesia berhak menilai perilaku politik para politisi negeri ini. Termasuk saya. Ya, karena rakyat selalu disebut sebagai 'demi' dalam setiap langkah politis para politisi kita.
Kegiatan politik politisi maupun partai dilakukan sepanjang tahun dengan beragam bentuk, dari sidang-sidang di gedung DPR/MPR, debat di televisi, berpolemik di media, studi banding, kampanye tatap muka dengan "konstituen," mempopulerkan diri di pinggir-pinggir jalan, atau tampil di televisi milik pribadi.
Ternyata, keseharian politik banyak yang menarik untuk bincangkan. Misalnya yang berikut ini.
1. Bendera Partai
Partai cenderung melupakan tujuan utamanya yaitu memajukan Indonesia dan mengutamakan partai mereka sendiri. Hal ini sudah terjadi di alam bawah sadar, sehingga bendera RI kadang tidak ada di kantor partai, sementara bendera partainya dibuat amat sangat tinggi dan ukurannya amat sangat besar. Untuk membuat tiangnya saja mungkin menelan biaya puluhan juta karena menggunakan tiang rig dari besi dan didirikan oleh profesional. Penulis melihatnya di sebuah kantor partai besar di bilangan Jl. Antasari, Jakarta. Anda pernah juga menyaksikan yang lain?
Padahal tata aturan menggunakan lambang negara itu sudah sangat jelas dimuat dalam undang-undang yang dibuat oleh DPR sendiri yang intinya bendera Merah Putih selalu lebih utama dibanding bendera lain.
Di Aceh mereka berbicara keras mengenai bendera NAD, di rumah sendiri bendera partai berkibar berlipat-lipat kali lebih tinggi dan lebih besar dari Sang Saka. Menakjubkan!
2. Dalam kampanye pemilihan presiden beberapa waktu lalu, ARB meneriakkan slogan: “Pengabdian Pada Partai Adalah Pengabdian Pada Tanah Air” Ini juga sebuah slogan yang ajaib. Pengabdian pada tanah air seharusnya meninggalkan atribut kepartaian, alias menempatkan kepentingan tanah air diatas kepentingan partai, Bung!
Menggunakan kampanye model "skenario" seperti gaya ARB ini sesungguhnya tak bisa berbuat banyak. Apalagi menggunakan TV milik sendiri. Meskipun frekuensinya tetap milik rakyat! Seorang pemimpin seharusnya alamiah dan dipilih berdasarkan portofolionya di mata hati rakyat.
3. PKS adalah jagoan membuat pesan lewat spanduk. Pada tahun 2009-an spanduk-spanduk PKS terasa menyejukkan dan cerdas, semisal "TETANGGA KITA, TANGGUNG JAWAB KITA" dipasang pada bulan Ramadhan. Kena dan indah sekaligus bernas . Saat itu saya memujinya. (Lihat di Catatan Kaki ujungaspal.com)
Tapi kini PKS seperti kehilangan orientasi kecerdasannya. Spanduk menolak BBM seperti pikiran orang yang emosional, apalagi di sebuah gang di Pondok Gede spanduk PKS menyebutkan bahwa jalan beton yang ada dibawahnya dibuat dengan dana APBD dan berkat jasa PKS. Wah, berat nih.