Mondar-mandir kendaraan segala jenis roda, pengamen permisa-permisi meskipun gitar dan suaranya berbeda nada, sales pintu ke pintu yang tidak tahu besok masih bisa makan atau tidak, drama penjual sandal keliling yang selama bertahun-tahun selalu memiliki masalah tentang ongkos pulang, ngiung nyaring penjual kue putu yang menandai hari sudah malam, serta kepulan asap dari gerobak perahu bersuara "Sate" yang menandai jejaknya adalah pemandangan sangat biasa di halaman rumahku sedari terang ke gelap lalu terang hingga gelap datang lagi.
Rumahku tepat menyusuri bibir jalan, jadi aku tidak punya halaman yang berisi taman kecil untuk sekedar menanam kaktus atau untuk melempar gigi bagian atasku yang tanggal sewaktu kecil dulu.Â
Bukan rumah yang besar, luasnya hanya sekitar 60m2 dengan bentuk yang memanjang ke belakang, namun cukup untuk menampung satu keluarga. Ibu dan Bapakku di lantai dasar sedangkan Aku dan Kakakku menempati lantai 2.
Ada juga sebuah pelataran kecil di tingkat ketiga, terbilang kecil karena hanya muat untuk ditempati sebuah mesin cuci dan toren air bergambar penguin. Agar mesin cucinya tidak basah ketika hujan maka tempat itu diatapi oleh asbes-asbes sisa yang disanggah oleh balok-balok tegap, namun bagian sisi dari pelataran itu tetap dibiarkan terbuka. Untuk menghindari aksi garong maka tangga penghubung lantai tersebut diberi pintu teralis besi oleh Bapakku.
Aku menyebutnya loteng, menjadi tempat favoritku sejak aku lulus SMA karena di tempat itu justru aku bisa melihat dengan lebih jauh dan bebas. Tempat kecil yang sangat tenang karena kemungkinan untuk terganggu juga amat sangat kecil.Â
Tempat itu jarang sekali dipijak oleh keluargaku, selain harus menaiki banyak anak tangga dahulu tempat itu juga sebetulnya dibuat hanya untuk mencuci pakaian. Ibuku biasanya hanya mencuci satu minggu sekali, itu pun jika dia sedang tidak malas, apalagi keramaian rupa-rupi di depan rumahku, mereka jelas absen.
Sangat sering aku menghabiskan waktu di sana untuk sekedar menyeruput kopi sambil melamuni hidupku yang semakin hari semakin membosankan saja. Aku sangat suka duduk sendirian di sana bahkan hampir setiap malam, tempat yang sangat privatif sekaligus kontemplatif, terlebih ketika bulan purnama sedang manja-manjanya.Â
Di sana aku bisa melihat pancaran sinar ledakan bintang yang terjadi 500 tahun silam, aku bisa menebak arah selatan tanpa perlu melihat kompas, bahkan aku juga bisa mencumbu hujan dengan tenang karena kebetulan sekarang adalah akhir Desember.
Namun di penghujung tahun ini aku tidak bisa merasakan kenyamanan tempat itu dengan khidmat lagi. Tepat pagi hari ketika matahari muncul malu-malu karena hujan baru saja reda dari marahnya semalaman, seseorang menerobos dengan menjebol pintu teralis besi, aku rasa dia adalah Bapakku.Â
Terburu-buru memotong tali yang kuikat pada balok-balok atap yang tegap dan membawa turun paksa tubuhku yang sudah 3 malam mengayun di sini, di atas loteng. Kaku, biru dan bau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H