Pondok pesantrean adalah salah satu wadah atau tempat bagi para santri untuk memperdalam ilmu agama khususnya, dan keterampilan-keterampilan yang lain sebagai bahan persiapan untuk nanti ketika pulang ke kampung halamannya masing-masing.
Di pesantren, para santri mengkaji berbagai macam ilmu. Mulai dari fan nahu, sharaf, balaghah, fiqh, usul fiqh, tafsir, hadist dan lain sebagainya. Para santri di ajarkan oleh kyainya agar mampu memahami hingga mengamalkan semua ilmu yang dipelajari, untuk dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Namun bukan hanya ilmunya saja yang harus para santri jadikan pedoman, tapi termasuk juga hikmah yang terkandung dalam mepelajari ilmu-ilmu tersebut. Salah satu contohnya adalah bagaimana ulama-ulama dulu baik itu ulama ahli fiqh, usul fiqh, nahu, sharof dan ahli ilmu lainnya menyikapi perbedaan pendapat mereka. Mereka betul-betul memegang teguh prinsif bahwa bersatu dalam perbedaan itu sangat indah dan menyenangkan.
Kita tahu bagaimana imam syafi’I berbeda prinsip dengan gurunya imam malik dan hanafi. Begitu juga iman ahmad bin hanbal beda pandangan dengan imam syafi’i.
Saya jadi ingat guru-guru di pesantren selalu berkata, “ jang, tong aneh ku bahasa saperti: hukiya, ruwiya ’an, rowa , qoola, qiila,ash-shahih, al-masyhur jeung nusejen na, eta teh keur kamaslahatan urang keneh, da agama mah moal ngahesekeun ka umatna”.
Di zaman sekarang khususnya di Negara yang penuh dengan kemajemukan ini, kita dihadapkan dengan berbagai macam persoalan mulai dari keagamaan, politik, keorganisasian dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, peran pondok pesantren dalam membina santrinya sangat di perlukan sekali di negeri ini.
Kita tahu sekarang semakin banyak orang-orang yang anti terhadap perbedaan. Mereka berkeinginan semua orang harus sama pandangan dengan mereka. Parahnya lagi, setiap yang berbeda dengan pandangan mereka pasti dianggap salah dan mereka memusuhinya. Contoh kecilnya, si A beda faham dengan si B. si A ini pasti menganggap ia yang benar dan si B yang salah lalu menganggap si B itu adalah musuh yang nyata yang harus di perangi. Lebih jauh lagi sodara..! si A ini mengajak dan menghasut orang lain untuk jadi pengikutnya dan mengajak memusuhi si B. farah bukan…?
Kyai Idrus Ramli pernah berkata kurang lebihnya sepeti ini, “ kita ini sudah biasa dengan kata qiila, rowa, ruwia, hukiya, imam maliki berkata begini, imam syafi’I berkata begini. Tapi kalau meyakini bahwa tak ada pendapat yang benar kacuali dia seorang dan menganggap orang lain salah seolah surga di peruntukan hanya untuk dia, itu bagi kami sangat LUAR BIASAAA…”
Sudahlah, kalau kata kang Said, mungkin bereka baru belajar agama. HEHE…
# INK.Szly..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H