"Perlindungan dan pemulihan fungsi ekologis kubah gambut sangat penting menjadi prioritas bersama, Kebakaran di lahan gambut harus kita cegah sedini mungkin karena jelas akan menimbulkan dampak luar biasa" Â - Jokowi
Apa yang anda ketahui soal gambut? Kalau saya, pertama mengenal kata gambut sekitar periode 90-an awal ketika duduk di bangku sekolah dasar, mungkin saat belajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Seingat saya, waktu itu Indonesia sedang gencar-gencarnya menggenjot program transmigrasi, dengan proyek ambisiusnya "Lahan Gambut Sejuta Hektar". Melalui program ini, pemerintah Soeharto membuka lahan gambut untuk dikonversi menjadi lahan pertanian yang akan digarap oleh para transmigran. Demi mencapai swasembada beras, pemerintah membabat hutan di lahan gambut dan membangun kanal-kanal drainase sebagai saluran irigasi sawah.
Nyatanya proyek ini terhitung gagal. Banyak transmigran yang menyerah menggarap lahan gambut karena karakteristiknya tak cocok untuk ditanami padi. Malahan kebanyakan dari mereka memilih kembali ke wilayah asal dan meninggalkan lahannya. Parahnya, lahan gambut yang telah rusak menyisakan masalah lebih lanjut.
Seiring waktu berjalan saya kerap menemukan berita tentang kerusakan lahan gambut ini. Pemberian konsensi penguasaan hutan (dimana lahan gambut berada) pada perusahaan perkebunan menyebabkan terjadinya perambahan lahan gambut secara masif. Isu yang paling santer adalah bagaimana dampak ekspansi perkebunan sawit terhadap ekosistem lahan gambut. Hutan Sumatera dan Kalimantan paling banyak 'disewakan' pada perusahaan sawit.
Kenapa mereka sampai harus merombak lahan gambut? "Budidaya sawit membutuhkan tanah lebih kering, jadi masyarakat mengeringkan lahan gambut, namun ini berdampak besar terhadap degradasi gambut, karena gambut bergantung pada air untuk bertahan,"kata Dr. Nils Borchard, peneliti dari Universitas Ruhr di Bochum, Jerman.
Salah satu contoh dampak konversi lahan gambut untuk perkebunan bisa kita lihat pada kawasan Tripa di kawasan Ekosistem Leuser, Sumatera. Pada rawa gambut seluas 62.000 hektar ini terdapat 7 perusahaan yang memiliki hak konsensi lahan seluas 75% kawasan ini. Perubahan fungsi lahan ini juga mengancam habitat orangutan. Pada tahun 1990, UNEP mencatat di Tripa terdapat sekitar 1000 orangutan, dan kini hanya tersisa 280 orangutan. Setali tiga uang, kondisi yang sama juga ditemukan pada beberapa hutan gambut di Kalimantan. Ironis bukan?