Sejarah kejayaan industri hulu Migas (minyak dan Gas Bumi)Â Indonesia dimulai pada tahun 1885 ketika seorang ahli dan Pengusaha Tembakau, Aeiko Jansenzoon Zijker, menemukan minyak yang tergenang di sumur Telaga Said di Sumatera Utara. Sejak saat itu, migas kemudian ditemukan di beberapa wilayah Indonesia. Jutaan barel migas menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara eksportir migas terbesar di dunia.
Industri minyak dan gas bumi (migas) Indonesia  memiliki sejarah panjang sebagai sektor andalan pendapatan negara kita. Peningkatan aktivitas eksplorasi yang terjadi pada masa orde baru pernah mencetak sejarah dengan total produksi minyak bumi Indonesia yang meningkat dari 600 ribu barrels/hari pada tahun 1967 menjadi 1,7 juta barrel/hari pada tahun 1977. Sayangnya, kini industri hulu migas kita sedang terpuruk. Pendapatan negara dari sektor migas terus merosot, sementara minat investor yang mau menyedot kandungan migas dari perut bumi Indonesia semakin menurun. Data terkini, SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) mencatat pada semester I-2016 ini, capaian investasi hulu migas hanya 5,65 Miliar US Dollar, merosot 27 persen dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 7,74 Miliar US Dollar.
Apa yang menyebabkannya industri hulu migas Indonesia tak lagi menarik bagi investor? Kira-kira kebijakan seperti apa yang perlu diambil untuk meningkatkan animo investor pada industri hulu migas tersebut?
Dari tahun ke tahun, jumlah investor yang berminat berbisnis di industri hulu migas Indonesia semakin sedikit. Fakta bahwa industri hulu migas sudah tak lagi atraktif bisa dilihat dari hasil lelang wilayah kerja/blok eksplorasi migas. Tahun 2015, terdapat 8 Blok/Wilayah Kerja yang ditenderkan pada investor, yaitu Southwest Bengara, Oti, Nort Adang, West Berau, Rupat Labuhan, Nibung, West Asri dan Kasuri II. Â Lelang ini hanya diminati oleh 2 (dua) investor, Azipac Limited untuk Blok Oti dan PT. Agra Energi Indonesia yang berminat pada blok Kasuri II. Padahal kesempatan mengikuti lelang terbuka lebar bagi para investor mengingat rentang waktu lelang yang cukup lama, selama 4 bulan. Kondisi ini semakin terlihat memprihatinkan karena kedua perusahaan tersebut gagal lulus tender dengan alasan keduanya memberi penawaran dibawah nilai minimum yang dipersyaratkan. Sementara itu, satu tahun sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) melelang 21 wilayah kerja/blok dan hanya laku diminati investor sebanyak 11 blok.
Kondisi ini tentu saja tak menguntungkan mengingat Industri hulu migas adalah industri strategis bagi bangsa indonesia. Aktivitas industri ini memiliki multifier effects bagi perekonomian negara kita. Penurunan pendapatan dari industri ini akan memiliki dampak yang serius bagi ekonomi negara kita. Sektor migas menyumbang 25-30 persen terhadap postur APBN Indonesia. Asal tahu saja, setiap pembelanjaan 1 Milyar pada industri hulu migas menyumbangkan output ekonomi sebesar Rp. 1,6 Milyar, tambahan GDP Rp. 700 juta, tambahan pendapatan rumah tangga Rp. 200 juta dan tambahan lapangan kerja 10 orang.
Indonesia patut ketar ketir dengan semakin sedikitnya perusahaan yang berminat berinvestasi pada tambang migas di bumi nusantara ini. Tak ada tambang migas baru yang dieksplorasi artinya kita tak berkesempatan meningkatkan cadangan migas baru. Padahal menurut data SKK Migas, Indonesia masih memiliki banyak cekungan yang memiliki potensi cadangan migas, terutama di wilayah timur. Khusus untuk blok migas/wilayah kerja eksisting, saat ini terdapat 289 Wilayah Kerja Migas dan baru 67 Wilayah Kerja yang sudah berproduksi. Bukankah masih banyaknya wilayah kerja yang belum ‘tergarap’ tersebut harusnya bisa menarik investor untuk mengeksploitasinya?
Kedua, trend wilayah eksporasi migas yang akan digarap berada di wilayah timur kepulauan nusantara dan berlokasi di wilayah terpencil serta kebanyakan berada di lautan dalam (deep-sea). Eksplorasi dan produksi migas pada lokasi ini membutuhkan teknologi terkini serta dukungan infrastruktur yang memadai sementara infrastruktur pendukung di wilayah timur masih sangat minim. Kondisi ini jelas akan semakin membuat aktivitas migas di lokasi ini menjadi high cost. Dengan kalkulasi matematika sederhana saja bisa terlihat bahwa berinvestasi migas di wilayah timur terlihat tak menguntungkan. Apa yang diharapkan dari kombinasi biaya produksi tinggi ditambah harga jual yang rendah?
Ketiga, birokrasi perijinan industri migas yang sangat berbelit. SKK migas mencatat ada 341 perijinan yang harus ditempuh dengan melibatkan tak kurang dari 18 instansi baik di tingkat pusat maupun daerah. Berdasarkan pengalaman, untuk menempuh perijinan seabrek ini dibutuhkan waktu hampir 5-10 tahun. Sementara itu, kontrak kerjasama (KKS) perusahaan migas untuk menggarap sebuah wilayah kerja berkisar pada waktu 30 tahun. Parahnya, dari ratusan perijinan ini terdapat beberapa ijin yang substansinya sama, tak jelas biaya yang harus dikeluarkan, serta tak ada kejelasan waktu penyelesaian proses pengurusan ijin-ijin tersebut. Dengan kondisi seperti ini, rasanya wajar jika banyak investor hulu migas yang menjadi alergi untuk berbisnis di sini.