Rasulullah adalah orang yang paling banyak ibadahnya di siang hari, tapi Beliau paling sedikit sekali makanannya saat berbuka. Sebaliknya kita adalah orang yang paling sedikit ibadahnya di siang hari, tetapi makanannya kita banyak sekali saat berbuka!
Nasihat ini saya dapatkan pada salah satu tausiyah Ust. Arafat yang kerap saya ikuti kajiannya. Nasihat ini terasa wajar adanya kalau melihat budaya kita yang seperti kalap dalam menyiapkan hidangan menu berbuka puasa.
Barangkali salah satu budaya kita saat bulan Ramadhan salah satunya adalah berbelanja makanan secara berlebihan. Niatnya mungkin baik, demi menuntaskan hasrat makan dan minum kita yang sepanjang hari ditahan sebagai ritual idabah kita. Akan tetapi, kalau pun berlebihan rasanya tak baik juga.
Setidaknya fenomena kalap belanja makanan di bulan Ramadhan terbagi dalam tiga termin. Pertama, saat akan memasuki bulan Ramadhan, saat menjelang momen berbuka, dan saat menghadapi hari raya Idul fitri. Bedanya mungkin dijenis bahan makanan yang kita beli saja.
Kalau di awal Ramadhan mungkin kita membeli bahan makanan mentah sebagai persiapan untuk menghadapi Ramadhan. Kalap belanja makanan saat berbuka untuk memenuhi kebutuhan buka puasa kita, sedangkan menjelang idul fitri, rata-rata berbelanja daging ataupun kue-kue untuk hari raya.
Jujur saja, saya sendiri termasuk orang yang kerap lapar mata demi menyajikan menu berbuka puasa. Rasanya tak puasa kalau di meja makan hanya  terhidang sedikit menu makanan. Makin banyak varian menu terhampar di meja makan, terasa makin afdol berbuka puasanya. Es kelapa muda, kurma, kolak, gorengan tahu atau bakwan sudah jadi menu takjil wajib yang harus tersedia di meja makan sebagai teman sajian makanan berat untuk disantap.
Tapi itu dulu. Ramadhan tahun ini saya cukup bisa menahan diri. Entah Kenapa nafsu berburu makanan tersebut sudah hilang. Saya seakan tak berselera untuk berburu makanan takjil. Bisa jadi karena kebijakan social distancing membuat saya sedikit menahan diri untuk pergi keluar rumah.
Ya, Ramadhan tahun ini memang terasa istimewa. Virus corona yang melanda negeri kita memaksa kita lebih banyak yang berdiam diri di rumah. Saya yang terbiasa berdiam diri di rumah jadi malas untuk berburu takjil.
Akan tetapi, antusiasme saya yang memudar untuk berbelanja makanan berbuka rasanya juga berlaku pada semua orang. Setidaknya ini menurut apa yang saya lihat di daerah saya. beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk keluar rumah menjelang buka puasa, dan saya melihat fenomena orang-orang berburu takjil tak seheboh biasanya.
Seperti yang saya lihat di daerah Taman Pahlawan dan sekitar jalan Veteran, Purwakarata. daerah yang biasanya dikenal sebagai pusat jajanan takjil, saya mendapati para pembeli tak seramai biasanya. Beberapa pedangan kolak atau pun es kelapa muda tak digerumuti pengunjung, malah terkesan sepi pembeli. Hanya penjual gorengan saja yang lumayan banyak yang mengantri, tapi itu pun kalah ramai dibanding biasanya. Apakah ini efek kebijakan social distancing yang membuat orang lebih lama di rumah saja?