Hasrat melancong ke Palembang bermula saat perhelatan Asian Games 2018 lalu digelar. Lewat televisi maupun media sosial, saya kerap menerima informasi mengenai kota ini selama event ini berlangsung. Diluar soal pertandingan olahraga, cerita objek wisata dan kulineran Palembang menjadi asupan informasi yang kerap hilir mudik di panca indera saya.
Keinginan ini makin menjadi saat saya mengenal blogger dan kompasianer hits asli Palembang, Deddy Huang pada awal tahun 2019. Ceritanya saat itu kami diajak kompasiana jalan-jalan ke Labuan Bajo.Â
Kebetulan pula kami ditempatkan satu kamar hotel, sehingga intensitas obrolan kami makin intensif. Darinya saya mendapat banyak cerita tentang Palembang.
Scrolling postingan-postingan Koh Deddy (begitu dia dipanggil) bagaikan berjalan-jalan virtual di ibu kota Sumatera Selatan. Ini jadi cara saya melakukan riset kecil dalam menyusun itinerary sebelum berangkat nanti.
Bagi saya kota ini punya daya tarik yang unik. Pesona Palembang terletak pada karakteristiknya yang diwarnai akulturasi multietnis; Melayu, China dan Arab.Â
Sejarah mencatat sebagai ibu kota kerajaan Sriwijaya, Palembang menjadi persinggahan para Saudagar China dan Arab ketika berlayar. Beberapa menetap dan menikah dengan pribumi. Jejak budaya ini terekam dalam bangunan maupun kuliner kota ini.Â
Saya harus memberi dua jempol kepada Deddy Huang yang berhasil menangkap aura Palembang  lewat postingan foto, caption maupun artikelnya. Berbekal informasi itulah setidaknya saya tahu mau ngapain kalau saya pelesiran ke sana. Bagi saya, ada dua hal yang wajib  dilakukan selama di Palembang : City tour dan food tour.
City tour Palembang itu sepertinya bakal menjadi wisata budaya. Kota ini punya banyak heritage yang menjadi penanda akulturasi budaya yang saya ceritakan di atas. Koh Deddy sendiri sempat bilang kalau nilai jual kota Palembang adalah bangunan-bangunan tua bersejarah yang masih terpelihara sampai saat ini.
Destinasi pertama yang wajib saya kunjungi adalah Masjid Agung Palembang. Arsitektur masjid ini menunjukkan betapa kuat pengaruh budaya luar di sana. Masjid yang dibangun pada 1738 M dan direnovasi pada tahun 1999 ini kuat pengaruh desain Melayu, Eropa dan China.Â
Nuansa budaya China tampak pada bagian atap yang mengerucut layaknya Sebuah kelenteng. Ornamen eropa terlihat pada bagian pintu dan jendela yang melengkung. Sedangkan ruang utama untuk shalat menyerupai arsitektur Jawa. Sentuhan Melayu Palembang terasa di tangga yang berhias ukiran emas.