Hukum kekekalan energi  menyebut kalau energi itu tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan. Ia hanya berubah dari satu bentuk menjadi bentuk energi lainnya. Dengan analogi yang sama, saya percaya energi baik itu menular dan disebarkan dari satu orang kepada orang lainnya.
Jakarta, 18 November 2017. Jarum panjang di jam tangan saya menunjukkan angka 07.45 saat kereta Malabar Ekspress yang saya tumpangi menghentikan lajunya di Stasiun Senen, Jakarta. Bersama puluhan orang lainnya, saya segera beringsut keluar dari gerbong ular besi yang membawa saya dari Purwakarta ke tanah ibu kota ini. Iya, hari ini saya ada urusan di kota yang dipimpin Anies Baswedan ini.
Dengan langkah santai saya berjalan menuju pintu keluar Stasiun. Hape dalam genggaman sudah membuka aplikasi transportasi online. Di Jakarta, apalagi cara terpraktis bepergian selain memesan angkutan daring?
Akan tetapi, entah kenapa saya sepertinya enggan untuk menekan tombol "pesan" pada aplikasi tersebut. Benak saya melayang pada memori beberapa dekade silam. Ingatan saya memutar kenangan saat saya sempat tinggal di Jakarta. Kala itu, saya sering bepergian naik angkutan khas negeri India. Bajaj. Apa kabar Bajaj hari ini?
Saya urungkan niat naik ojek online. Saya ingin bernostalgia naik Bajaj lagi. Kabarnya ia sudah bersalin rupa. Bukan lagi berwarna merah menyala, tapi sudah berbaju biru. Katanya ia sudah tak lagi berisik, tak ada lagi asap mengepul dari knalpotnya, meskipun cerita soal kebut-kebutan dan nyelip-nyelip masih menghiasi kabar dari teman-teman yang tinggal di ibukota.
Tak sulit untuk menemukan Bajaj di depan Stasiun. Saya segera menghampiri salah satunya yang sedang mangkal. Setelah tawar menawar sedikit, akhirnya saya sudah duduk di dalam bajaj. Bajaj pun melesan ke bilangan Abdul Moeis, destinasi yang saya tuju.
![Kini Bajaj Tak Lagi Identik Dengan Asap Hitam Tebal dan Suara Bising (Sumber: Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/pak-kusno-5b740091ab12ae19ec6eeb72.jpg?t=o&v=770)
"Bajaj ini pakai bahan bakar gas, mas" kata Pak Kusno menjawab keheranan saya soal knalpotnya yang gak lagi berisik dan berasap. Â "kalau dulu kan pakainya bensin campur oli, ... selain asapnya yang butek, suaranya bisa ngalahin speaker hajatan di kondangan ya mas, hehehe..."
Saya hanya terkekeh mendengar lelucon Pak Kusno. Baguslah, kini Bajaj lebih beradab. Minimal bisa mengurangi potensi polusi udara dan suara di Jakarta yang sudah sedemikian crowded.
"Yang paling terasa sih soal iritnya itu lho mas. Harga seliter gas cuma sekitar empat ribuan, bandingkan dengan bensin yang mencapai tujuh ribuan gituh,.." ujarnya lagi.
![Naik Bajaj Sebagai Alternatif Moda Transportasi Ibu Kota (Sumber: Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/pak-kusno-1-5b7403f96ddcae5e0049c376.jpg?t=o&v=770)