Sungguh, saya selalu kagum pada para novelis. Saya mengagumi mereka yang mampu merangkai untaian cerita dengan kapasitas ratusan halaman. Selalu ada rasa penasaran bagaimana mereka bisa menjaga plot cerita tetap pada jalurnya meskipun mereka harus mengurai cerita dalam lembar demi lembar yang sedemikian banyak. Apakah alur cerita pernah tiba-tiba melenceng ketika jari mereka mengetik cerita mereka? Bagaimana pula mereka bisa menjaga mood menulis sehingga bisa bertahan dalam menghasilkan karya yang sedemikian tebal?
Kekaguman berbalut rasa penasaran tersebutlah yang kemudian mendorong saya untuk hadir dalam gelaran acara Book Tour Luka Dalam Bara yang diadakan di Gramedia Merdeka, Bandung pada hari senin, 1 Mei 2017 kemarin. Tawaran pertama datang dari admin komunitas Blogger Bandung di akun sosial facebook. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk segera mengiyakan tawaran ini.
Begitulah, sesuai jam yang ditentukan, saya hadir di Gramedia Merdeka. Sedikit terlambat, rupanya sudah lumayan banyak juga yang hadir, mungkin sekitar 50-100 orang. Gampang ditebak, kebanyakan yang hadir adalah gadis-gadis muda penyuka novel. Tahu sendiri, mereka biasanya melankolis, penyuka kisah cinta yang mendayu dan mengaduk-aduk emosi hati. Plus tentu saja tampang penulisnya yang setipe idola masa kini. Sempet mikir juga, duh jangan-jangan cuma gue yang udah tua disini.
Acara bincang buku ini sendiri dipandu oleh sang editor langsung, Teguh Affandi. Menariknya lagi di acara ini juga dihadirkan illustrator buku ini, @alvinxki. Jadi lumayan komplit, proses pembuatannya bukan saja bisa diurai sang penulis, tapi juga bagaimana si illustrator menggambarkan naskah dalam buku ini.
Terus terang, saya sendiri tak begitu tahu penulis buku Luka Dalam Bara yang sedang menggelar book tour ini, Bernard Batubara. Saya hanya tahu dia itu novelis terkenal yang beberapa bukunya masuk daftar best seller. To be honest lagi, saya hanya tahu dia dari postingan-postingan beberapa akun sosial penerbit yang saya follow. Itu saja. Selebihnya saya tak pernah membaca satu pun karyanya.
Saya tak punya informasi awal apapun soal buku yang akan dibahas dalam book tour tersebut sebelumnya. Hanya karena ingin tahu proses behind the scene sebuah buku fiksilah yang mendorong saya hadir di acara tersebut. Saya hanya penasaran bagaimana cara kerja Bernard dalam menelurkan karya-karyanya, tentu saja termasuk bukunya yang terakhir ini.
Begitulah, saya pun kecele. Iya, awalnya saya menyangka buku Luka Dalam Bara ini adalah sebuah novel. Ternyata bukan! Buku ini adalah kumpulan tulisan Bernard selama ia menjalin hubungan dengan mantan pacarnya. Setidaknya demikian pengakuannya. Buku ini adalah kumpulan fragmen-fragmen curhatan Bernard terhadap mantan pacarnya! Tulisan-tulisan dalam buku ini sendiri telah tersebar di blognya Bernard sebelumnya. Itulah mengapa Bernard menyatakan bahwa buku ini telah selesai ditulis sebelum buku ini diniatkan untuk ditulis.
Pada titik ini saya menyadari kekuatan sebuah branding. Iya, ketika Bernard sudah dikenal sebagai penulis best seller dan memiliki banyak fans, apapun yang ditulisnya bisa bernilai lebih. Termasuk curhat-curhat singkatnya tentang hubungannya dengan sang mantan.
Menariknya, pada awalnya Bernard memberi judul “Luka Dalam” untuk buku kumpulan kisah ini. Alasannya sih lumayan gokil, karena akhirannya berupa huruf konsonan! What? Iya, Bernard kemudian menyebutkan kalau karya-karya novelnya kebanyakan berakhiran huruf vokal, yang diakuinya memang judul buku menarik kebanyakan memang berakhiran huruf vokal. Namun kemudian judulnya berubah sehingga menjadi Luka Dalam Bara hanya karena kesalahan layouter pada saat proses pencetakan. Pada akhirnya, ia pun menemukan alasan bahwa judul ini cukup catchy, yang bisa memberi beragam interpretasi bagi pembacanya.
Soal trik menulis, saya sempat mendapat informasi bagaimana gaya menulis Bernard. Ya, meskipun tak detail, ada sedikit cerita soal itu diungkapnya. Katanya, ia biasa menulis sekitar 5 jam sehari, dengan jam kerja rutin dari jam 1 siang hingga jam 5 sore. Menurut pengakuannya, sebagai seorang penulis professional, ia memang harus merutinkan jam kerjanya tersebut. Soal menjaga kebugaran tubuh demi bisa menulis efektif, Bernard menyarakankan untuk rutin berolahraga lari, sebagaimana yang dilakukan penulis favoritnya, Haruki Murakami.