“Lho, kamu pake MSG? Katanya itu gak baik lho buat kesehatan” saya sedikit protes padanya. Setahu saya beberapa tahun silam sempat ada kabar soal bahaya MSG bagi kesehatan kita. tapi ini langsung dibantah isteri saya, “,.. ini aman kok. Ada banyak klarifikasinya di internet. Coba aja tanya mbah google. Lagipula Aji-No-Moto® kan produk Jepang, aku yakin ini aman. Mereka kan sangat concern terhadap kesehatan. Tentu mereka gak akan main-main soal ini. Ayolaah,…kamu kan mau pergi ke sana.”
Dari penelusuran internet saya kemudian tahu ternyata produk ini aman dikonsumsi kok, asal digunakan dalam jumlah yang sewajarnya dan tak berlebihan. Coba cek informasinya disini dan disini. Demikian pula soal kehalalannya, tak ada masalah, sebagaimana tercantumnya label halal dari MUI pada produk-produk Aji-No-Moto®.
Selain penyedap rasa Aji-No-Moto® isteri saya juga memperlihatkan bumbu praktis Sajiku nasi goreng yang katanya wajib pula aku bawa nanti. Iya, dia tahu kalau saya maniak nasi goreng. Jadi, kalau memakai bumbu praktis Sajiku ini nantinya saya tak perlu khawatir soal bumbu masaknya apa saja. Tinggal cemplung saja ke nasi yang sedang digoreng. Praktis.
Saya sudah bertekad untuk memboyong penyedap rasa Aji-No-Moto® dan Sajiku ini terbang bersama saya nanti. Saya akan membawa produk-produk Aji-No-Moto® ini kembali ke tanah asalnya, negeri matahari terbit.
**
Begitulah, saya kemudian menjalani hari demi hari di negeri Sakura dengan mudah. Tak ada lagi masalah soal urusan makanan. Aji-No-Moto® telah menolong saya untuk tetap menjaga lidah ini senantiasa mengecap masakan enak. Lebih dari itu, ternyata lewat masakan kita bisa menemukan keluarga baru disini. Keluaga itu adalah teman-teman seperjuangan asal daerah lain di Indonesia, teman-teman asli negeri Jepang serta teman mahasiswa dari negara lain yang sama-sama berjuang di negeri Jepang.
Beruntunglah saya sempat kursus kilat memasak sebelum pergi ke sini. Saya banyak menemukan manfaat dari keterampilan memasak ini. Belajar di negeri seberang ternyata bukan melulu soal berkutat dengan buku dan jurnal, tapi kita perlu bersosialisasi dengan yang lain. Lewat kegiatan masak-memasak di dapurlah saya merasakan intensitas komunikasi dengan mahasiswa asing bisa lebih cair. Saya menyebutnya diplomasi dapur, bagaimana interaksi di ruang olah makanan tersebut bisa mempererat jalinan persahabatan antar bangsa.
Soal makanan ini, biasanya saat makan bersama itulah kami saling mencicipi olahan masing-masing yang berbuntut pada keinginan teman saya untuk belajar memasak masakan Indonesia. Ada satu makanan yang membuatnya tergila-gila. Bakwan atau kalau di kota saya dikenal dengan Bala-bala. Kalau Bahasa inggrisnya sih messy-messy. Hehehe…
Gorengan berbahan dasar tepung dengan campuran potongan tipis kol, wortel, dan bawang daun ini sukses memikat teman Afghanistan tersebut ketika pertama kali saya sodorkan untuk dicicipinya dalam sesi makan malam bersama sebelumnya. Tujuh potong bala-bala dihabiskannya saat itu. Ini nyicip apa doyan?