Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus pembunuhan : bisakah seseorang (seperti Jessica) ditetapkan sebagai terhukum berdasar logika ?

4 Februari 2016   11:09 Diperbarui: 4 Februari 2016   16:02 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

..

Dewasa ini masyarakat Indonesia seolah diberi banyak pelajaran untuk menjadi semakin pintar bermain logika bukan saja melalui kasus kasus politik yang bikin heboh tetapi juga melalui kasus kasus kriminal seperti kasus pembunuhan yang pelik-yang tidak terungkap secara langsung-secara empirik pelakunya,atau yang susah untuk dituntaskan karena bukti bukti empirik yang sangat minim tetapi di sisi lain seolah memberi peluang kepada orang orang untuk ikut ‘bermain logika’. sehingga lalu masyarakat banyak pun ikut ikutan memainkan logika logikanya yang konsekuensinya lalu melahirkan beragam asumsi-dugaan-prasangka-opini dlsb.yang uniknya satu sama lain dapat berbeda beda, sehingga untuk menganalisis serta menetapkan mana yang benar dan mana yang salah seolah menjadi tahapan serta tantangan berikutnya...sangat menarik.fenomena demikian dapat kita pantau lewat media khususnya melalui  internet,dimana asumsi-asumsi,opini-opini publik dikemukakan melalui artikel-tulisan atau sekedar komentar.secara psikologis,entah masyarakat itu merasa ‘terpaksa’ atau memang tertarik untuk mengungkap pandangannya yang jelas pada kasus kasus kriminal tertentu memang seolah menjadi tantangan atau menantang publik untuk ikut ‘bermain logika’.ini bisa kita bandingkan dengan kasus pembunuhan yang pelakunya bisa tertangkap tangan dengan mudah karena bukti empirik yang cukup kuat maka dalam kasus seperti ini logika logika publik tentu tidak muncul ke permukaan

Dan diantara kasus pembunuhan yang banyak menyita perhatian masyarakat dan membuat mereka iukt ikutan ‘bermain logika’ diantaranya adalah kasus   Sisca yofie di Bandung-kasus Angeline di Bali dan yang  sekarang yang ramai dibicarakan netizen adalah kasus Mirna salihin yang diduga dibunuh dengan jalan diracun oleh racun sejenis sianida,tengok artikel yang dibuat Kompasioner misal yang mengulas atau yang intinya ‘melogika kan’ masalah itu sangat ..sangat ramai.dan sebagaimana lazimnya dalam kasus kasus apapun maka dalam kasus Mirna salihin pun maka apapun potongan potongan bukti 'empirik' yang dianggap terkait yang ditemukan apakah itu kasus biseksual,celana yang dibuang,tas yang seperti digunakan menghalangi CCTV,mimik wajah Jessica,dll.dll.(mungkin kelak makin bertambah banyak)  semua adalah bahan baku yang ibarat potongan potongan mainan puzzle yang berupaya dirangkai menjadi sebuah gambar yang utuh,dengan kata lain seluruh fakta empirik yang ada-ditemukan menjadi bahan baku untuk 'bermain logika'

Logika publik memang terkadang membuat kita terkagum kagum karena kepintarannya memainkan asumsi asumsi yang mungkin nampak ‘logis-mengena’ sehingga mungkin kita berfikir bahwa asumsi asumsi yang berasal dari masyarakat umum bisa nampak lebih cerdas dan lebih baik dari logika penyidik yang kita fikir mungkin mereka memainkan logika yang lebih sederhana-formal dan ‘baku’ sesuai standar penyidikan,beda dengan logika publik yang memainkan asumsi asumsi yang lebih bebas dan terkadang lebih ‘liar’ dan mungkin menabrak nabrak metodologi penyidikan yang standar.di Kompasiana sendiri saya melihat banyak rekan rekan yang membuat tulisan perihal kasus Mirna salihin dan memang mampak menarik-smart-melahirkan tantangan tersendiri,tetapi saya sendiri tidak terdorong ingin ikutan bermain logika pada kasus Mirna dengan membuat artikel misal karena pertimbangan … takut salah,salah berasumsi misal.pertimbangan dosa apabila keliru masih selalu membayangi pikiran saya apabila saya menulis atau membicarakan orang tertentu.apalagi diantara teman teman yang membuat artikel tentang masalah itu sudah ada yang seolah berani menetapkan si X atau si Y sebagai tersangka bahkan mendahului penyidik. Itulah secara umum melalui tulisan tulisan yang dibuat netizen hal itu dapat melahirkan pandangan seolah jari jari telunjuk publik sudah terarah ke si X atau si Y bahkan sebelum status yang bersangkutan ditetapkan oleh polisi

Lalu sampai sejauh mana pengaruh dari asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh publik terhadap proses pemeriksaan kasus pembunuhan atau terhadap jalannya pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik polisi,apakah penyidik terpengaruh oleh opini publik misal ..entahlah.. yang jelas asumsi asumsi publik secara keilmuan memang membuat masyarakat makin cerdas secara logika dan mungkin bisa menambah perbendaharaan ilmu kriminilitas.tetapi itulah secara etika-moral ada yang saya kuatirkan dari fenomena seperti itu,yaitu saya takut masyarakat terlalu liar dalam memainkan logika logikanya-terlalu bebas dalam berasumsi sehingga kaidah kaidah etika-moral atau bahkan ‘dosa’ diabaikan sama sekali.dan ketakutan lain yang lebih bersifat mendasar adalah takut opini publik lalu dianggap sebagai sebuah ‘kebenaran’ dan lalu membenarkan opini publik menjadi sebuah kebiasaan yang berlangsung secara permanen bahkan tanpa analisis yang mendalam, seolah publik adalah ‘hakim terbaik-‘yang maha kuasa’ - ‘parameter kebenaran’.padahal faktanya diantara masyarakat sendiri ternyata tidak selalu satu suara-tidak selalu satu pandangan. logika publik melahirkan asumsi yang berbeda beda yang bahkan dapat berlawanan satu sama lain.itu saja sudah menunjukkan bahwa asumsi publik itu ada yang salah dan ada yang benar karena apabila sama sama benar maka mustahil pandangan mereka dapat berlawanan satu sama lain.dan ini mengindikasikan bahwa kita perlu ‘parameter hakiki’ yang bersifat baku-permanen untuk menilai mana yang hakikatnya benar dan mana yang salah,yang mana apabila manusia tak ada yang bisa membuatnya maka kita harus mencarinya pada wilayah Ilahi

Kalau kita memakai agama sebagai parameter-cermin-bingkai-sudut pandang dalam permasalahan seperti ini maka dalam agama peran saksi dalam suatu kasus termasuk kasus pembunuhan nampak dominan-menentukan-memainkan peran utama,sehingga bagaimana apabila saksi tidak ada atau kurang atau bagaimana kalau kualitas kesaksian diragukan misal,maka agama nampak tidak terlalu memaksakan bahwa suatu kasus pembunuhan mesti-wajib terungkap sebagaimana prinsip penyidik karena agama memiliki prinsip bahwa andai pelaku kriminal tidak terungkap di dunia toh masih ada pengadilan akhirat yang akan menyelesaikan, sehingga kalau kita memakai kacamata sudut pandang agama maka masyarakat sebenarnya tak perlu terlalu tegang atau terlalu emosional menghadapi kasus kasus tertentu yang menguras emosi massa.dalam hukum agama misal tidak ada konsep memaksa seseorang yang secara logika dicurigai untuk mengakui perbuatannya dengan strategi pemaksaan yang radikal (seperti memukuli-menyiksa) sebagaimana yang terkadang dilakukan oleh aparat

Nah terakhir,dari semua ulasan diatas saya hanya ingin memuarakan kepada sebuah pemikiran tepatnya pertanyaan : seseorang sudah terbiasa ditetapkan sebagai ‘tersangka’ (belum divonis pasti bersalah) berdasar asumsi asumsi-dugaan dugaan atau berdasar logika termasuk status ‘tersangka’ versi publik, tetapi bisakah seseorang ditetapkan sebagai ‘terhukum’ (divonis pasti bersalah) berdasar asumsi asumsi-dugaan dugaan atau berdasar logika logika apakah itu yang berasal dari publik atau penyidik atau kelak dari hakim .. sementara di sisi lain bukti empirik sangat minim dan lemah serta pengakuan belum ada ? bisa kita bayangkan apabila kelak seseorang dapat di vonis bersalah misal dengan lebih kepada berdasar seperangkat asumsi asumsi yang berasal dari permainan logika maka mungkin akan banyak fatsal hukum pidana yang perlu direvisi

Entahlah,…sepertinya saya hanya ingin berpegang pada prinsip agama diatas yang membuat saya tak perlu terlalu tegang atau ikut terbawa emosi dalam mengamati kasus kriminal tertentu sehingga tergoda ingin ikut ‘memaksa’ (walau dengan beropini) agar seseorang ditetapkan sebagai ‘tersangka’ atau lebih dari itu sebagai ‘terhukum’ misal

 ……….

Mudah mudahan artikel ini bisa menjadi muara tersendiri dari artikel artikel yang mengulas masalah Mirna salihin sehingga pertama, kita bisa introspeksi diri serta mengukur sejauhmana sebenarnya kekuatan kita dalam ‘bermain logika’, kedua untuk meredam emosi publik yang bergejolak dan ketiga andai kasus kasus seperti ini tidak juga terpecahkan maka kita bisa memiliki prinsip imani bagaimana harus menyikapinya

……….

ilustrasi gambar : Uya Hana Mahdiyah-Google + plus.google.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun