[caption id="attachment_361080" align="aligncenter" width="300" caption="phylosopyresearcher.blogspot.com"][/caption]
…
Seorang rekan dunia maya yang cara berfikirnya terkenal sangat empiristik dan dalam otaknya seolah hanya ada tersimpan teori teori saintifik yang serba rumit suatu saat terlibat perdebatan dengan saya, dan singkatnya salah satu benang merah yang bisa saya tarik dari perdebatan itu adalah : kami selalu berlawanan pandangan karena ia selalu cenderung menggunakan cara berfikir empiristik dan di sisi lain saya selalu mencoba membawa masalah yang diperdebatkan agar dilihat dengan cara berfikir rasionalistik. salah satunya adalah perihal masalah awal mula terjadinya alam semesta
Rekan saya itu tetap mempermasalahkan bukti empirik perihal awal mula terciptanya alam semesta sehingga tetap tidak mau menerima argument rasional tentang keharusan adanya ‘sebab atau penggerak pertama yang tak tergerakkan’ (prima causa) misal,karena hal itu dianggapnya ‘abstrak serta tak bisa dibuktikan secara empirik’, malah ia balik bertanya : ‘bagaimana anda bisa membuktikan secara empirik bahwa alam semesta itu berasal dari ketiadaan’ (?) ..
Sebuah pertanyaan yang ‘lucu dan menggelikan’, sebab menurut saya siapa orangnya yang bisa menyaksikan (dan lalu bisa menjadikannya sebagai ‘bukti empirik’ yang bisa diungkap ke publik) bahwa alam semesta itu berasal dari ketiadaan (creatio ex nihilo) atau berasal dari ‘materi’ (creatio ex materia) ? .. sedang pada saat awal terjadinya alam semesta bukankah kita semua umat manusia belum ada (?) .. lalu meminta bukti empirik awal terjadinya alam semesta itu harus kepada siapa .. sedang para saintis sekalipun hanya bisa sebatas ‘berhipotesa’ bila sudah menyangkut penyelidikan seputar awal mula terjadinya alam semesta
Dengan kata lain logika nya bila selalu mengandalkan cara berfikir empirik dan bukti empirik otentik dalam menentukan kepastian awal terjadinya alam semesta maka andai alam semesta itu tercipta dari ketiadaan atau terbentuk dari ‘materi’ yang sudah ada maka keduanya sama sama tak akan bisa dibuktikan secara empirik sebab kita semua umat manusia belum pada ada .. mau minta bukti empirik kepada siapa (?)
Nah sadar diri bahwa pengalaman dunia inderawi manusia itu terbatas demikian pula dengan bukti empirik yang bisa kita peroleh apalagi bila itu menyangkut awal mula terciptanya alam semesta maka cara berfikir kitapun seharusnya bisa fleksibel-jangan kaku dengan selalu harus berpatokan kepada cara berfikir empirik serta metodologi empirisme yang selalu mensyaratkan bukti empirik langsung.sebab itu belajarlah berfikir rasional ketika berfikir empirik serta menghadirkan bukti empirik langsung sudah tidak memungkinkan lagi
Berfikirlah rasional,apabila awal mula alam semesta itu bermula dari sebuah ‘materi’ yang adalah zat mati-tidak memiliki fikiran maka : mungkinkah materi yang mati-tidak memiliki fikiran itu bisa mendesain dirinya sendiri sehingga ketika mengembang-bereksistensi kedepan lalu bisa mewujudkan sebuah desain alam semesta yang didalamnya memiliki beragam bentuk keteraturan sebagaimana yang saat ini bisa kita amati (?)
Dengan memakai alur berfikir rasional kita bisa membuat analogi sederhana : apakah awal mula sebuah kursi adalah sepotong kayu yang mana sepotong kayu itu lalu bisa membelah dan memotong motong dirinya sendiri dan lalu mendesain dirinya sendiri sehingga menjadi sebuah kursi (?)..tentu saja itu suatu hal yang mustahil bagi akal.dengan berfikir rasional kita bisa memastikan (walau tak memerlukan bukti empirik langsung) bahwa awal permulaan sebuah kursi bukanlah materi yang mati seperti sepotong kayu tetapi sesuatu yang berasal dari sifat personal yaitu kehendak-fikiran sang pembuat kursi.jadi awal mula kursi itu adalah ‘creatio ex nihilo’ dalam arti ‘berawal dari yang non materi’-berawal dari fikiran yang abstrak
Demikian pula bila mengikuti alur logika akal fikiran maka, karena alam semesta adalah wujud yang terdesain maka seharusnya awal mulanya adalah fikiran-kehendak ‘Ilahi’ (atau yang kita sebut ‘Ilahi’) bukan ‘materi’ yang adalah zat mati tanpa kehendak-fikiran.nah persoalannya bagaimana ‘Ilahi’-‘Tuhan’ bisa mewujudkan (‘menciptakan’) dari tiada materi menjadi ada materi atau dari zat non materi menjadi zat materi .. itu sudah bukan persoalan logika lagi tetapi persoalan kuasa Ilahi,logika dalam persoalan ini hanya sebatas berupaya memahami alur peristiwanya agar keseluruhannya bisa difahami secara tertata
Demikian penjelasan yang sangat sederhana - dengan bahasa yang sederhana ini lebih saya tujukan buat orang yang mau berfikiran sederhana saja bukan buat anda anda saintis yang sudah pandai berteori-berhipotesa-berspekulasi yang rumit rumit.saya tujukan buat anak anak yang baru akil balig yang akalnya masih suci dan bersih-yang belum terkontaminasi oleh pemikiran pemikiran spekulatif - teoritif sehingga mereka akan dengan mudah menangkap hal hal yang bersifat logis-masuk di akal.sebab menurut pengalaman saya apabila hal - penjelasan seperti model begini diungkapkan kepada seorang yang kepalanya sudah banyak diisi oleh beragam teori-hipotesa-spekulasi saintifik akan sulit untuk bisa masuk dan apalagi untuk diterima.faktanya, selogis-se konstruktif apapun sebuah fikiran rasional tentang Tuhan-tentang alam semesta dlsb. diungkapkan maka bagi orang tertentu yang berfikiran empiristik selalu saja dibantah walau hanya dengan fikiran fikiran teoritif-hipotetif-spekulatif,bagi mereka rasionalitas-kebenaran rasional seperti tidak ada nilainya sama sekali
………….
Bahkan di awal orang yang selalu berfikir empirik itu sudah menolak prinsip rasional bahwa dibalik wujud yang terdesain itu mesti ada wujud sang pendesain hanya karena wujud sang pendesain itu dianggapnya tak bisa dibuktikan secara empirik (lha .. kalau bisa dibuktikan secara empirik berarti wujud sang pendesain itu malah menjadi terbatas - bukan lagi maha tak terbatas ?)
………….
Cara berfikir rasional seperti diatas itu pun bisa kita pergunakan kala kita melihat fakta adanya fosil binatang purba raksasa seperti Dinosaurus,logikanya, apabila binatang purba itu berukuran raksasa maka masa manusia yang mengiringi atau se zaman dengan binatang berukuran raksasa itu mustahil berukuran sama seperti ukuran manusia saat ini,logis nya bila binatangnya berukuran raksasa maka manusiapun seharusnya berukuran raksasa pula. dan sebab lain lagi tidak logis apabila binatang di zaman apapun eksist tanpa kehadiran manusia
Tetapi sebagaimana biasa fikiran fikiran rasional seperti ini sulit masuk kedalam alam fikiran orang yang otaknya sudah dijejali beragam teori saintifik walau itu hanya sekedar hipotesa mereka selalu mempermasalahkan bukti empirik nya,mana bukti empirik keberadaan manusia berukuran raksasa .. bukankah yang ada di Google itu hanya ‘hoax’ belaka … (?) .. kata mereka
Apalagi bila dugaan keberadaan manusia raksasa itu dikaitkan dengan keterangan kitab suci tentang ukuran manusia manusia awal yang ada di bumi maka bagi sebagian mungkin itu akan lebih dianggap sebagai ‘pembenaran’ ketimbang dianggap sebagai ‘fikiran rasional’.sebab itu … ah rasanya lebih baik mengungkap hal ini kepada anak anak yang baru akil balig saja yang cara berfikir akal nya masih murni -yang otaknya masih bersih dari teori teori saintifik yang rumit tapi terkadang hipotetif itu dan yang hatinya bersih dari prasangka prasangka negative ..
………..
Itulah kita prihatin dengan saintis yang sudah terlalu orientasi kepada hal hal yang bersifat empirik - terlalu mengejar kebenaran empirik (walau itu sulit atau mustahil) sehingga kehilangan orientasi kepada hal hal yang bersifat rasionalistik-lupa dengan kewajiban menggunakan akal fikiran,yang terlalu orientasi kepada hal hal yang bersifat detail-mikro-partikular sehingga ‘lupa’ kepada pandangan pandangan yang bersifat menyeluruh (ingat dengan pandangan saintis tertentu yang menyebutkan bahwa mekanika quantum telah meruntuhkan mekanika Newton !)
Dengan kata lain penulis prihatin dengan matinya akal-matinya rasionalitas ditangan empirisme-orientasi ke cara berfikir empirik-orientasi kepada paradigma ilmiah saintisme
Padahal sebagai manusia yang oleh Tuhan telah ditanamkan akal fikiran kedalam jiwa kita maka itu berkonsekuensi membuat kita harus menggunakannya, dan resiko menggunakan akal adalah mau tak mau kita harus pandai meng abstraksikan segala suatu yang berwujud empirik,harus memiliki pandangan pandangan yang bersifat abstrak-harus bisa merumuskan konsep konsep abstrak,jangan bergantung melulu kepada pengalaman dunia inderawi dan bukti empirik langsung yang bagi manusia sampai kapanpun akan selalu teramat sangat TERBATAS (!) .. atau sebagai makhluk berakal jangan melulu dan selalu hanya mengejar ngejar ‘kebenaran empirik’ semata
Karena Tuhan mengaruniakan akal kepada kita dengan tujuan diantaranya adalah sebagai pelapis kelemahan serta keterbatasan dunia inderawi.sehingga dengan akal itu kita bisa menemukan bentuk kebenaran yang lebih tinggi dari pada sekedar ‘kebenaran empirik’.dan, haruskah otoritas-ketinggian dan kemuliaan akal fikiran itu diruntuhkan oleh dominasi pengalaman inderawi yang mengatas namakan ‘sains-empirisme’ (?)
………..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H