MENCOBA BERDIALEKTIKA DENGAN DEE SHADOW
…
Apakah wujud Tuhan harus dipersepsikan sebatas yang melekat sebagai landasan konsep moral yang telah didoktrinkan secara baku dan itu pula yang harus dianggap sebagai landasan utama untuk memahami Tuhan,dan dibalik itu dianggap tak boleh ada gambaran wujud Tuhan personal yang maha berkehendak dimana ia memiliki kemaha kuasaan mutlak untuk merealisasikan semua kehendaknya - bisa bergerak ke segala arah dan otomatis meliputi semua gerak manusia .. sebab bila gambaran demikian yang melekat pada Tuhan maka disamping akan melahirkan pembenaran terhadap sesuatu yang bahkan melanggar landasan moral misal juga secara otomatis dianggap akan menegasikan teks suci formal yang menjadi landasan moral serta bukti historis Tuhan
Dengan kata lain bila seseorang berbuat suatu yang sebenarnya berasal dari hasrat kemanusiaannya - berlawanan dengan moral bahkan dengan konsep kebenaran Ilahi yang tertera dalam kitab suci misal,bolehkah ia bersembunyi dibalik dalil ‘kebenaran milik Allah’ misal hanya karena Tuhan dipersepsikan ‘maha meliputi-maha berkehendak-wujud yang memiliki kekuasaan bergerak ke segala arah’ ( sehingga dengan demikian resiko ilmiahnya Ia juga yang harus dianggap menggerakkan manusia untuk melakukan APAPUN termasuk yang melanggar landasan moral yang sudah ditetapkanNya karena dalam ranah kemaha kuasaan yang mutlak manusia otomatis menjadi kehilangan wujud dan sekaligus kebebasannya … (?)
Dengan kata lain mungkin menurut anggapan Dee kekuasaan mutlak Tuhan atas manusia harus dibatasi dan solusinya harus dibawa ke ranah ‘relatifisme mutlak’ bila manusia harus dianggap sebagai wujud yang bebas dan bertanggung jawab dan bila landasan moral harus ditegakkan.
Demikian garis besar dari artikel Dee (‘kebenaran milik Tuhan 2) yang coba saya tangkap yang menjadi permasalahan bagi saya tentunya sehingga saya memikirkan dan berupaya mencari jalan keluar ilmiah nya.dan lalu bagaimana menyelesaikan persoalan mumet seperti ini saya hanya sekedar akan mencoba untuk mengurainya
…………………………………………
Mencari jalan keluar dari masalah seperti ini memang nampak mumet sebab intinya di satu sisi Tuhan yang secara teologis menurut teks suci harus diposisikan maha kuasa (memiliki kekuasaan mutlak atas manusia) tetapi di sisi lain ada problem eksistensialistik manusia sebagai makhluk yang merasa memiliki kebebasan dan yang harus mempertanggung jawabkan kebebasannya, sebab pergumulan masalah demikian tak akan bisa diterangkan secara mekanistik seperti ilmu mesin, dan tak akan bisa diselesaikan dengan memakai methodology berfikir yang disetting dengan menggunakan program komputer tercanggih sekalipun misal,apa sebab (?) .. karena akan selalu menyisakan ruang ‘mysteri’,
Artinya secara prinsipil manusia tak bisa dan tak boleh memastikan bahwa ‘Tuhan tidak meliputi keseluruhan gerak manusia’ karena manusia tak akan pernah memperoleh pengetahuan pasti tentang hal itu (andai - bila manusia memastikan bahwa ‘Tuhan tidak meliputi keseluruhan gerak manusia’ dengan asumsi bahwa bila ‘Tuhan meliputi keseluruhan gerak manusia’ maka manusia sebagai wujud bebas yang harus mempertanggungkan kebebasannya itu otomatis akan hilang )
Harus ada jalan tengah untuk menyelesaikan problem yang nampak kontradiktif seperti itu ,dimana disatu sisi Tuhan walau bagaimanapun tak bisa diposisikan sebagai ‘tidak berkuasa secara mutlak’ atau ‘tidak meliputi keseluruhan gerak manusia’ karena itu sama dengan penegasian atas sifat Ilahi dan kekuasaan mutlak Tuhan atas manusia sebagaimana yang di doktrinkan,dan kita tak bisa menggantinya dengan konsep ‘relatifisme’ dalam arti ‘pembagian wilayah kekuasaan antara Tuhan - manusia’,misal menganggap segala suatu bisa berasal dari Tuhan dan juga bisa berasal dari manusia,bisa terjadi atas kekuasaan Tuhan dan juga atas kekuasaan manusia,konsep seperti ini akan membingungkan karena seperti tak mengenal unsur hierarki padahal jelas Tuhan harus diposisikan serba berada diatas manusia
Nah dalam konsep agama ada dialektika antara konsep ‘ilmu sari’at - ilmu hakikat’ dimana secara hierarki ilmu hakikat berada diatas ilmu sari’at dan kebenaran hakiki derajat nya berada diatas kebenaran berdasar sebab-akibat yang dibuat manusia.dan instrument keilmuan demikian bisa kita gunakan dalam menyelesaikan masalah rumit seperti yang kita perbincangkan ini,sehingga bila terjadi suatu kejadian apapun apakah itu baik atau buruk misal kita harus berkata : sari’at nya berasal dari manusia tetapi hakikatnya berasal dari Tuhan.dengan cara demikian baik wujud bebas manusia maupun kemaha kuasaan Tuhan atas manusia keduanya sama sama diakui eksistensinya - tidak ada yang termarjinalkan.dalam ungkapan dialektis demikian yang namanya usaha - eksistensi atau unsur SEBAB yang dibuat oleh perbuatan bebas manusia semua menjadi alat - jalan dari kemahakuasaan Tuhan mengatur takdir manusia
Ketika hal yang buruk terjadi misal peristiwa bunuh diri,maka kita tak lantas harus beranggapan bahwa Tuhan tidak berkuasa secara mutlak pada orang yang bunuh diri itu sehingga orang itu dianggap ‘bisa menentukan takdirnya sendiri’ misal,tetapi kita harus mengatakan : sari’at nya ia yang melenyapkan nyawanya tetapi hakikatnya takdir Tuhan yang menentukan ia harus mati dengan cara seperti itu
Jadi Tuhan menentukan takdir (menggunakan otoritas kemaha kuasaan mutlaknya atas manusia) sebenarnya melalui perbuatan manusia sendiri walau manusia tentu tak akan lantas selalu bisa mengindentifikasi apalagi memastikan bahwa perbuatannya tertentu sebagai jalan kearah takdir tertentu misal,sebab takdir tetaplah akan selalu mysteri, artinya bagaimana ‘mekanisme’ cara Tuhan mengendalikan manusia agar tiba pada takdir yang telah ditetapkan baginya nya … itu tak bisa dibaca-diraba secara mekanis atau secara ‘obyektif’ (apalagi secara empirik !) … ( lagi lagi kita harus berbesar hati menerima konsep eksistensi Tuhan atas manusia yang ‘mysteri’)
lalu bagaimana bila ada orang yang katakanlah melakukan perbuatan negative atau perbuatan yang berasal dari kehendak bebas nya dan ia telah memperoleh akibat buruk dari perbuatan bebasnya itu lalu ketika ia di pojokkan misal,maka ia lari ke wilayah Ilahi dengan mengklaim ‘ini semua terjadi atas kehendak Tuhan’ - ‘Tuhan yang menghendaki ini terjadi’ misal,apakah karena kita telah mengenal dualitas sari’at-hakikat itu maka lantas kita harus membenarkan (argumentasi) nya .. lalu bagaimana dengan beragam kejahatan yang dibuat manusia ketika lalu dihadapkan pada dualitas sari’at - hakikat dan lalu dijadikan ‘tempat pelarian’,apakah juga harus memperoleh ‘pembenaran teologis’ (tanda petik) serupa (?) .. kalau arah penggunaannya (dialektika sari’at - hakikat) cenderung ‘mekanistik’ maka pemahaman terhadap doktrin sifat sifat Ilahi yang bersifat positif malah seperti diabaikan kalau tidak ‘dilenyapkan’.karena sebagaimana kita tahu dalam doktrin formal sifat Tuhan itu ‘maha baik’ dan tentu saja tak berkenan dengan perbuatan jahat - buruk yang diperbuat manusia (jadi bagaimana bisa hal yang buruk disandarkan pada kehendak Tuhan ?)
Jadi tetaplah dialektika sari’at - hakikat bukan bentuk pengetahuan mekanistik - mutlak obyektif, didalamnya tetap akan selalu menyisakan ruang ‘mistery’
Lalu bagaimana keluar dari persoalan yang nampak mumet ini ….
Untuk memahami persoalan ini kita harus memahami Tuhan setidaknya dari dua sisi : sebagai pembuat konsep formal yang bisa diketahui dan dipegang sebagai ‘landasan’ (tentang benar-salah,halal-haram, tentang jalan yang harus ditempuh,tentang sorga-neraka dlsb.) dan di sisi lain sebagai yang ‘maha berkehendak’ yang diantaranya melahirkan konsep ‘takdir’ yang penuh mysteri yang membuat manusia ideal nya memang harus berserah diri sebagai simbol ketakberdayaan dan kerendahan hati
Dan ‘maha berkehendak’ meniscayakan Ia harus berkuasa penuh atas seluruh gerak manusia, sebab bila manusia bisa ada ‘di ruang lain’ yang diluar kemampuan Tuhan menjangkaunya misal maka mungkin Ia tak bisa maha berkehendak secara mutlak atas manusia
Melihat Tuhan dari dua sisi sebagai ‘yang nyata’ (yang eksist melalui doktrin) dan yang ‘mysteri’ (yang tak bisa diraba oleh manusia) harus diparalelkan dengan bagaimana manusia bersikap terhadap Tuhan,dimana disatu sisi ketika berhadapan dengan hal hal yang bersifat real yang ada dihadapannya maka manusia harus berusaha - ber amal termasuk mengolah SDM nya tetapi karena ketidak tahuan manusia akan kehendak - ketentuannya yang mysteri maka manusia harus memiliki sifat berserah diri sambil berharap dan berdo’a, artinya jangan hanya bersandar pada usahanya semata (jangan menjadi Jabariyyah maupun Qadariyyah)
Dengan kata lain dari penelusuran ke dua sisi ini lahir prinsip ‘manusia hanya bisa berusaha Tuhan yang menentukan’, kalimat yang nampak sederhana tetapi bila dibedah akan nampak rumit,dan dari prinsip demikianlah lahir ajaran ‘berserah diri’
………………………………………
Penting kiranya kita mengkaji isi al hadits ini yang menurut saya berhubungan dengan masalah yang dibahas :
…. sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya ia masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga dia memasukinya.” (penggalan dari HR. Al-Bukhari no. 3332)
Nah disini kita bisa melihat bagaimana posisi manusia dalam kemaha kuasaan Tuhan yang mutlak yang meliputinya sehingga bahkan amal perbuatannya sendiri ternyata tak bisa menentukan atau memastikan takdirnya,dan isi hadits diatas sekaligus penjelasan bahwa takdir Tuhan datang melalui perbuatan manusia juga
Nah diatas pemahaman bahwa ternyata manusia tak bisa mengatasi Tuhan,tak bisa keluar dari kemaha kuasaan Tuhan yang mutlak,bahkan menurut hadits diatas amal perbuatannya sendiri saja pun ternyata tetap tak bisa memastikan takdirnya maka lahir ungkapan ‘kebenaran milik Allah’,yang pengertiannya kurang lebih menunjukkan adanya ketidak kuasaan manusia ketika dihadapkan pada kekuasaan Tuhan, bahkan kebenaran yang manusia temukan - ungkap hanya bagian kecil dari grand konsep Ilahi
Lalu bagaimana bila kalimat ‘kebenaran milik Allah’ itu digunakan secara keliru sebagai ‘pembenaran’ hal - perbuatan yang justru berlawanan dengan landasan doktrin formal misal .. atau digunakan sebagai ‘tempat pelarian atau persembunyian’ dari gencarnya arus berdialektika (?) .. ini sudah masuk ke ranah manusiawi yang tentu saja kebenarannya bersifat ‘subyektif’ - bergantung alasannya - pengetahuannya - sudut pandangnya,tetapi sebagai solusinya pertama kita tetap harus berdialog dengan teks teks suci yang formal sebagai ‘kacamata sudut pandang Ilahi’ yang telah pasti,dan kedua berdialog dengan diri sendiri (merenung) dan ketiga tentu dengan sesama manusia,tentu untuk mencoba mencari benar-salah,baik-buruknya
…………………….
Tetapi tulisan ini mungkin masih belum akan menjawab permasalahan yang disodorkan Dee shadows dan mungkin malah akan menimbulkan permasalahan baru,tetapi …. bukankah problem keilmuan itu tanpa batas (?) …. itulah yang menarik dari problem ketuhanan adalah senantiasa adanya dimensi ‘mystery’ didalamnya sehingga pengetahuan tentangNya menjadi seperti menjadi tanpa batas beda dengan pengetahuan tentang mekanik mesin misal yang terbatas dan tanpa ada unsur mystery.masalah prinsipilnya adalah, apakah kita akan kembali kepada Tuhan untuk mencoba mencari petunjuk Ilahi (mencari melalui intuisi) ataukah hanya akan mengandalkan berlogika (?)
Tetapi secara prinsipil pengetahuan tentang Tuhan akan selalu berkaitan dengan kita manusia, sebagaimana pengetahuan tentang kita akan selalu berkaitan dengan Tuhan,karena manusia adalah ‘miniatur gambaran jiwa Ilahi’
……………………
Sebab itu ‘TAG’ atau kata kunci utama dari artikel tanggapan saya sebenarnya tetaplah ‘mysteri’
………………………
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H