Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dari Debat Theis Vs Atheis, Memasuki Ruang Iman Melalui Pintu Logika

4 Maret 2020   08:50 Diperbarui: 4 Maret 2020   11:06 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : Book depository

Ketika saya berjumpa kaum atheis dan lalu mengajak mereka berdiskusi soal agama dengan menggunakan bahasa serta peralatan ilmu pengetahuan baik sainstifik maupun logic maka biasanya mereka 'planga plongo' tanda tidak mengerti,mengapa ?

Karena dalam pandangan atheis bahasa serta peralatan ilmu pengetahuan adalah sarana untuk menerangkan serta menjelaskan dunia fisik semata.untuk merumuskan berbagai bentuk kebenaran empirik-bentuk kebenaran yang dapat dialami dunia inderawi.dengan kata lain orientasi serta pemahaman mereka perihal 'kebenaran' (sebagai hasil ilmu pengetahuan) hanya tertuju pada kebenaran yang bersifat fisik-materi-lahiriah

Mereka akan merasa asing kalau ilmu pengetahuan termasuk kedalamnya prinsip prinsip logika dibawa berkelana ke wilayah metafisik untuk mencoba mencari bentuk kebenaran yang bersifat metafisik dan apalagi digunakan untuk membahas agama sebagai salah satu institusi metafisis utama

Karena dalam filosofi atau dalam pandangan keilmuan mereka agama adalah suatu yang dikategorikan masuk wilayah mitos-sesuatu yang berada diluar wilayah ilmu pengetahuan termasuk sesuatu yang berada diluar wilayah logika

Karena dasar pandangan mereka terhadap semua agama termasuk agama Ilahiah  adalah mitos maka mengajak mereka untuk melihat agama dari sudut ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana sainstifik serta sarana ilmu logika pasti akan merupakan suatu kesulitan besar

Ujung ujungnya,bila agamawan menafsir kitab sucinya dengan berdasar temuan sains atau menggunakan sarana sains untuk menjelaskan konsep konsep yang ada dalam agama  maka yang lalu lahir adalah tuduhan atau stigma cocokologi atau pseudosains

Mereka berpandangan sains tak boleh ditafsir ke wilayah metafisik karena itu bakal dianggap sebagai sebuah delusi,sedang mereka sendiri ketika menafsir sains dengan mengarahkannya ke arah cara pandang materialistik mungkin tak mau di stigma sebagai delusi padahal jelas jelas hasilnya kadang harus dianggap sebagai delusi.contoh,bila mencoba menafsir fikiran sebagai 'materi' maka argumentasi - penjelasan menggunakan rumusan tersebut akan nampak janggal dan irrasional

Demikian pula ketika kaum beragama menggunakan dalil dalil logika untuk menopang eksistensi keberadaan agama termasuk iman sebagaimana terhimpun dalam ilmu ilmu teologi maka sikap kaum atheis biasanya adalah menganggap itu sebagai hanya sejenis 'permainan logika' atau 'rasionalisasi iman-pembenaran iman melalui permainan logika' yang tanpa berdasar fakta-kenyataan.

Karena se konstruktif serta se sistematis apapun argument logika yang dibangun oleh theis untuk mendukung iman nya oleh atheis ternyata selalu ditolak mentah mentah karena yang diminta oleh mereka selalu : bukti empirik langsung ! (bukan 'permainan logika' menurut mereka)

Padahal bila diamati argument logika theis tentang iman nya itu berangkat dari fakta-kenyataan yang ada di dunia alam lahiriah.contoh : iman pada sang maha pendesain itu berangkat dari fakta adanya wujud wujud terdesain di alam semesta yang secara prinsip logika mustahil bisa terjadi dengan sendirinya secara kebetulan tanpa peran sang maha pendesain

Lalu argument logic keimanan terhadap konsep balasan akhirat berangkat dari fakta real bahwa di alam dunia ada benar ada salah,ada baik ada buruk, ada kebaikan dan ada kejahatan yang mustahil semua dapat terbalaskan secara sempurna di alam dunia.faktanya di dunia ini kebaikan sering malah berbalas kejahatan dan banyak orang orang jahat yang dapat meloloskan diri dari pengadilan dunia,sehingga secara logika maka logis bila Tuhan membuat system pengadilan universal kelak untuk menghakimi seluruh amal perbuatan manusia dengan secara se adil adil nya

Tapi sekali lagi se logis apapun argument logika yang dibangun theis untuk menopang iman nya selalu ditolak atheis karena orientasi mereka bukan pada pembuktian rasional tapi selalu pada pembuktian empirik.pembuktian rasional yang menopang iman dianggap atheis sekedar permainan fikiran serta asumsi asumsi belaka.

Anehnya adalah,mereka ternyata menolak kalau disebut sebagai kaum irrasional-kaum yang tidak menggunakan akal tapi ketika beradu pandangan masalah logika utamanya tentang hal metafisis mereka tidak memegang prinsip atau dalil dalil rasionalitas-prinsip akali tapi selalu bersandar pada prinsip serta dalil empirisme

Atheis yang selalu meminta minta bukti empirik langsung atas semua yang di imani theis itu juga menunjukkan mereka tidak faham apa itu makna serta substansi iman

Iman itu ada atau eksist karena tidak semua hal bisa atau mustahil dapat di empirik kan, semisal apa yang akan terjadi sesudah manusia  mati,atau bagaimana awal paling mula terciptanya alam semesta atau dari mana serta siapa pendesain wujud wujud terdesain dlsb.atau dengan kata lain,iman eksist ketika pengalaman dunia indera demikian terbatas nya,sehingga bila realitas keseluruhannya secara 100 persen tanpa tersisa sedikitpun dapat di empirikkan maka otomatis iman itu tidak akan ada !

Kita tak perlu mengimani misal bahwa ada planet planet di sekeliling bumi kita,bahwa bumi itu panas,bagwa matahari itu bola api,bahwa cahaya bulan berasal dari matahari dlsb.karena semua itu sudah merupakan fakta empirik,tapi terhadap hal hal gaib yang pengalaman indera manusia sulit atau mustahil bisa menembusnya ya logis lalu muncul prinsip iman

Sebab itu bila atheis ngotot selalu meminta minta bukti empirik atas semua apa yang di imani maka sejatinya mereka itu tak faham makna serta substansi iman

Posisi ilmu pengetahuan yang netral

Tuduhan cocokologi serta pseudosains terhadap agamawan yang menggunakan sarana sains dalam menafsir kitab suci mereka juga juga berindikasi bahwa mereka-kaum atheis  ingin memegang hegemoni tafsir atas sains. mereka merasa sains itu identik dengan pandangan athestik sehingga penafsiran yang diarahkan pada wilayah iman selalu mereka stigmakan sebagai 'tidak ilmiah'-pseudosains.tapi ketika mereka menafsir sains ke arah tafsir berdasar ideologi materialisme ilmiah mungkin mereka tak merasa kalau  sedang ber delusi.

Sebagian yang radikal bahkan sudah memparalelkan sains dengan nihilisme. padahal nihilisme itu bukan pandangan sains tapi filosofi cara pandang kaum relativis yang tak percaya adanya kebenaran yang bersifat mutlak.sains sama sekali tidak merumuskan nihilisme.tak ada ujicoba laboratorium yang hasilnya adalah prinsip atheisme atau nihilisme.sains hanyalah ilmu dunia fisik yang spesialisasinya adalah merumuskan bentuk kebenaran kebenaran empirik.yang benar adalah yang empirik itu adalah prinsip sains.dan-tetapi tentu prinsip demikian bukan satu satunya bentuk kebenaran karena dibalik dunia fisik yang ditelusuri sains ada dunia metafisik yang sudah diluar jangkauan sains untuk menelusuri nya

Jadi dalam konflik pandangan antara theis-atheis maka posisi ilmu pengetahuan termasuk kedalamnya sains serta ilmu logika itu harus diposisikan ditengah terlebih dahulu,jangan langsung di klaim milik satu golongan tertentu tetapi siapa yang menggunakan dalil dalil sains serta ilmu logika secara tepat,koheren, bersambung secara kausalitis dengan klaim nya maka ia yang lebih berhak atas nya

Contoh,dalam debat soal adanya wujud wujud terdesain di alam semesta dan lahirnya dua rumusan berbeda antara 1.kemestian adanya sang pendesain (rumusan theis) dan 2.terjadi secara kebetukan tanpa peran sang pendesain (rumusan atheus) maka mana yang lebih kuat dari segi argument logika dan pembuktian secara empirik untuk menopang logika nya ?

Dalam hal ini theis pasti berada diatas angin karena fakta kenyataan di dunia alam lahiriah membuktikan bahwa seluruh wujud terdesain buatan manusia bahkan yang paling sederhana seperti kursi hanya bisa lahir dari adanya peran sang pendesain,bahkan bila logika theis tentang hal ini dibawa ke labiratorium maka tak ada percobaan asal asal an berdasar prinsip kebetulan lewat labiratorium tercanggih sekalipun yang bisa melahirkan bentuk terdesain.

Sebuah desain mutlak memerlukan pendesain itu lalu menjadi sebuah hukum logika baku,yang dalam kasus ini telah nyata nyata dilanggar oleh kaum atheis

Tapi sekali lagi anehnya adalah,atheis sering menstigma theis sebagai kaum yang tidak menggunakan logika hanya karena mereka tak bisa meng empirikkan apa yang mereka imani padahal bila mengacu pada prinsip iman serta prinsip logika maka

1.iman itu bukan prinsip yang berdasar pada bukti empirik langsung dan karenanya tak bisa digugat mesti harus berdasar bukti empirik langsung

2.ilmu logika serta kebenaran berdasar logika itu bukan prinsip ilmu yang harus berdasar pada bukti empirik langsung.karena dalam ranah ilmu pengetahuan prinsip ilmu yang harus berdasar dukti empirik langsung adalah prinsip empirisme-bukan prinsip rasionalisme.

Karena prinsip ilmu logika yang tidak mutlak harus berdasar bukti empirik langsung itulah maka ilmu logika bisa dibawa berkelana menjelajah baik dunia fisik maupun dunia metafisik dan tak bisa di klaim milik golongan materialist !

Karena golongan materialist biasanya memainkan logika logikanya hanya di rel atau ranah dunia fisik sehingga melahirkan konsep 'logika dialektika materialist', artinya dalam bermain logika kaum materialist tak bisa melepaskan ketergantungan secara mutlak pada bukti empirik langsung. Dan ketika bukti empirik langsung tidak ditemukan  mereka tidak lari ke kitab suci atau ranah iman tapi memilih berspekulasi sendiri alias meraba raba. Tapi itulah masalahnya adalah,rabaan rabaan atau asumsi kaum materialist itu sering memakai bahasa sains seolah berasal dari sains atau sering masih mengatas namakan sains seolah itu pandangan sains

Sedang theis ketika mereka berlogika mereka tidak mutlak bergantung pada bukti empirik langsung tapi mereka bisa memadukan element empirik dan non empirik untuk melahirkan rumusan rumusan logic. Artinya akal fikiran theis lebih leluasa bermain di wilayah metafisis tanpa harus terpenjara oleh prinsip empirisme atau tanpa mutlak tunduk pada prinsip empirik empirisme. Dan ketika mereka menemukan suatu yang tak ada bukti langsung di dunia empirik mereka tidak memilih ber asumsi sendiri tapi memilih masuk ke ruang iman-mencari penjelasan kitab suci-penjelasan Tuhan mereka

Sedang prinsip sains itu karena mutlak harus berdasar bukti empirik langsung maka prinsip sains itu tak bisa digunakan secara langsung untuk mem vonis serta menghakimi proposisi proposisi yang bersifat metafisis.atheis misal, mereka tak bisa mengatas namakan sains untuk memvonis bahwa kepercayaan pada alam akhirat sebagai tidak benar karena sains memang tidak punya peralatan ilmiah untuk masuk ke dunia metafisik !

................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun