Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Miskonsepsi Istilah "Obyektif-Subyektif"

14 Februari 2020   07:03 Diperbarui: 14 Februari 2020   14:42 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : El Albar blog's

Dalam kamus ilmu pengetahuan kita mengenal polarisasi istilah 'obyektif-subyektif' makna 'obyektif' Makna objektif di KBBI adalah: mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi.

Makna lain dari obyektif mungkin adalah 'sesuatu yang dapat ditangkap-difahami serta lalu diterima bersama secara umum' atau 'kebenaran yang dapat diterima bersama secara umum, contoh untuk ini misal api itu panas,bumi itu bulat, 5x5=25 dst.

Lalu makna 'subyektif' otomatis harus diartikan sebaliknya yaitu 'sesuatu yang tidak dapat ditangkap-di fahami serta lalu diterima secara umum' atau 'pendapat, pandangan atau sesuatu yang berdasar pengalaman pribadi yang tidak dapat dipegang sebagai tolok ukur kebenaran'. Contoh untuk ini mungkin pengalaman pengalaman mistis yang diungkap seseorang seseorang ketika dokter menyatakan ia dalam keadaan koma, sehingga makna subyektifitas itu pun sering dikaitkan dengan hal atau unsur pengalaman individu.

Dengan kata lain, ketika polarisasi istilah itu di terapkan dalam rekonstruksi konsep kebenaran atau upaya pemahaman terhadap makna konsep 'kebenaran', maka lalu muncul suatu pemahaman dalam fikiran publik bahwa 'kebenaran itu harus obyektif' atau 'kebenaran itu berkaitan dengan hal hal yang bersifat obyektif'. Lalu makna subyektif diartikan sebaliknya yaitu 'sesuatu yang tak dapat dipegang sebagai tolok ukur kebenaran karena hanya berdasar pendapat atau pandangan pribadi.

Sehingga fikiran publik secara simpel sering memparalelkan obyektifitas atau hal obyektif dengan 'kebenaran' (karena dapat ditangkap- difahami serta diterima bersama srbagai kebenaran) dan subyektifitas atau hal yang bersifat subyektif dengan 'bukan kebenaran' (karena tidak dapat difahami serta diterima bersama sebagai kebenaran).

Nah sekarang masalahnya adalah apakah semua hal yang dipandang obyektif itu mutlak pasti-identik sebagai kebenaran dan semua hal yang dipandang subyektif itu tidak pasti sebagai atau mutlak tidak identik dengan kebenaran ?

Lalu bagaimana dengan sesuatu yang untuk ditetapkan sebagai kebenaran mutlak mesti terlebih dahulu masuk ke wilayah pengalaman individu. Perhatikan contoh contoh berikut: betulkah apel itu manis ? Betulkah perasaan cinta itu indah ? Betulkah dihina didepan umum itu sangat menyakitkan ?

Artinya, pengalaman individu itu tak bisa disepelekan atau di sisihkan ketika kita membahas serta lalu merumuskan persoalan kebenaran, sehingga subyektifitas atau pendapat serta pandangan individu itu tak mutlak harus diparalelkan sebagai bukan kebenaran karena verifikasi kebenaran tertentu justru harus melalui pengalaman individu terlebih dahulu dan pengalaman individu itu otomatis akan melahirkan apa yang disebut pandangan atau pendapat individu.

Masalahnya lalu, bagaimana kalau pandangan tiap individu itu ternyata lalu berbeda beda misal seseorang menyatakan kalau cinta itu indah lalu seseorang lain menyatakan cinta itu menyakitkan, seseorang mengatakan kalau penjara itu suatu yang sangat menyiksa tapi seseorang lain menaknai penjara secara berbeda sebagai tempat terbaik untuk merenung-bertafakur.

Nah mungkin ada parameter tersendiri untuk memilah mana pengalaman pengalaman yang memiliki nilai obyektifitas yang lebih baik-memadai sehingga dapat dikategorikan sebagai 'kebenaran umum' atau bentuk kebenaran yang dapat diterima bersama secara umum dan mana yang tidak memiliki nilai obyektifitas yang memadai sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai kebenaran umum.

Tetapi pada prinsipnya polarisasi istilah obyektif-subyektif itu sebenarnya lebih tepat dan lebih relevan bila di terapkan di ranah ilmu fisik seperti sains. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun