Nah bila dalam dunia sains parameter kebenaran itu adalah kebenaran empirik yang dirumuskan melalui-berdasar metodologi empirisme dimana dengan parameter demikian dalam sains kita bisa memposisikan mana yang sekedar teori hipotetif atau hipotesa-tafsiran tafsiran atau persepsi persepsi pribadi dan mana kebenaran substansial yang sesuai kaidah sainstifik.Dengan kata lain muaranya tetaplah pada menegakkan prinsip 'benar-salah'Â
Maka,bagaimana kita menentukan parameter kebenaran itu dalam dunia filsafat? karena sebagaimana juga dalam sains itu tidak semua teori-hipotesa-gagasan-tafsiran-pandangan pribadi dapat kita kategorikan sebagai benar atau kebenaran maka demikian juga dalam dunia filsafat tidak bisa kita mengatakan bahwa semua ide-gagasan-pemikiran para failosofnya sebagai sama benar. karena merumuskan 'semua sama benar' terhadap hal hal yang didalamnya-substansinya terdapat pertentangan satu sama lain-tanpa analisis benar-salah tentu itu melanggar kaidah keilmuan yang bernama hukum logika atau hukum identitas
Memilah mana yang benar dan mana yang salah atau menilai mana yang obyektif dan mana yang subyektif dalam dunia filsafat akan jauh lebih sulit dan lebih rumit ketimbang dalam sains karena kita tak bisa membawa persoalannya ke laboratorium dan di saksikan mata semua orang dan sebagaimana kita ketahui jenis pemikiran dalam dunia filsafat itu jauh lebih banyak dan beragam karena tiap orang-failosof-pemikir disini, sudah terbiasa melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang berbeda dengan menggunakan kacamata yang berbeda pula.Ada kacamata idealisme, monisme, dualisme, empirisme, rasionalisme, eksistensialisme, fenomenologisme, dlsb. sehingga untuk dapat memilahnya pada kutub benar-salah memerlukan parameter yang kokoh-kuat
Tetapi apa parameter yang paling kuat-paling obyektif dalam dunia filsafat yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan benar-salah ? ... kita harus kembali terlebih dahulu kepada hal yang paling mendasar-fundamental yang menjadi akar-fondasi dari tegaknya filsafat.
Bila saya bertanya pada anda, mana yang patut dijadikan parameter kebenaran dalam dunia filsafat; akal atau kebebasan (berfikir) .. maka saya akan memilih akal karena dengan prinsip kebebasan semata seorang belum tentu dapat meraih kebenaran. apalagi gairah kebebasan berfikirnya itu sampai menafikan hukum hukum logika misal,sedang dengan menggunakan parameter akal maka kita dapat merumuskan serta menaati hukum hukum logika yang telah disepakati
Nah akal-hukum logika-rasionalitas-epistemologi (kaidah keilmuan) serta hukum hukum berfikir yang bisa ditegakkan serta difahami secara konstruktif-dapat difahami secara terstruktur dan dapat disepakati bersama serta dapat difahami serta diterima oleh logika berfikir publik yang lebih luas itu lebih pantas dijadikan parameter dalam dunia filsafat ketimbang persepsi persepsi atau pemikiran pemikiran yang lebih bercorak individualistik atau yang terlalu mengacu pada kebebasan serta keragaman misal
Bila kita menjadikan pemikiran individualistik yang tidak bersendikan hukum berfikir yang baku sebagai parameter maka itu akan menimbulkan kerancuan sebab itu akan terlalu beragam dan berwarna warni serta selalu menampakan aroma pertentangan satu sama lain.beda dengan hukum berfikir semisal prinsip-hukum identitas yang dapat berlaku untuk keseluruhan
Nah dengan mengacu pada hukum logika-hukum berfikir yang baku itulah kita dapat memilah mana yang obyektif-mana yang subyektif dalam dunia filsafat-mana kebenaran berdasar logika yang sesuai hukum logika baku dan mana yang sekedar penafsiran individualis atau sekedar pemikiran spekulatif.dan ujung ujungnya ini akan dapat bermuara kepada menetapkan benar-salah dalam rimba pemikiran filsafati
Tetapi apabila kita amati nuansa kekinian utamanya dalam ranah filsafat, apakah para filsuf kontemporer itu lebih suka mengacu atau menjadikan hukum logika yang baku sebagai parameter kebenaran?Â
Karena sebagaimana kita tahu dalam ranah filsafat kontemporer kebebasan-individualisme-pluralitas itu lebih mendapat apresiasi sehingga efeknya persoalan 'benar-salah' tidaklah menjadi begitu mengemuka lagi, hukum berfikir pun seolah tinggal puing puing karena prinsip kebebasan berfikir telah menjadi parameter utama menggantikan parameter filsafat klasik
Bisa kita bayangkan bila filsafat sudah tak lagi memiliki parameter baku yang bisa dipegang lalu apa yang manusia cari dalam filsafat;apakah masih 'kebenaran' (?) atau apakah filsafat adalah institusi yang masih mencari atau berkaitan dengan problem kebenaran ataukah telah menjadi sorga kebebasan berfikir semata dimana kebebasan lebih diutamakan ketimbang persoalan kebenaran (?)