Saya mulai kembali perdebatan ini dari pemahaman terhadap adanya dua entitas dalam diri manusia: akal-hati,  kitab suci menyebutnya sebagai dua entitas yang berbeda dan kita manusia pun memahaminya sebagai dua entitas yang memang kenyataannya berbeda.’gunakan akal mu’-‘pakailah hati’-‘seorang yang ber akal cerdas’-‘hati saya terharu’, itu kalimat kalimat yang terdapat dalam kamus bahasa manusia dan itu menunjuk pada adanya dua entitas yang berbeda : akal-hati
Bila dua entitas substansi serta karakternya berbeda maka untuk mengidentifikasinya kedalam definisi yang berbeda maka manusia akan mencari cari bentuk perbedaannya bahkan kalau bisa secara mendetail agar bisa jelas dan terang benderang perbedaan antara keduanya.nah perbedaan mendasar antara akal dan hati itulah sebenarnya yang ingin saya jelaskan dalam artikel ini.
Masih mempertanyakan ‘bukti fisiologis hati’ ? .. maaf bila saya tak akan berangkat dari sudut pandang kaum materialist ilmiah,menurut saya sudut pandang demikian tak cocok dibawa ke forum filsafat. kecuali kita tengah berdebat dengan mereka.filsafat harus fleksibel dalam mengakomodasi persoalan persoalan non empiris tanpa di cancel oleh kacamata sudut pandang materialist
……………………………………………..
Saya faham kalau Dee lalu mempertanyakan serta mempermasalahkan deskripsi saya perihal ‘hati’ karena mungkin disamping itu bahasan yang dianggap ‘asing’ bagi dunia filsafat juga memang melahirkan kategori kategori serta proposisi proposisi yang asing pula tidak sebagaimana ketika menggumuli persoalan rasionalisme atau empirisme misal.tetapi saya fikir mau dianggap asing atau tidak kalau itu realitas ? ya mau tak mau harus kita deskripsikan kalau bisa sejelas mungkin terlepas dari bagaimana sudut pandang filsafat termasuk Dee terhadapnya
Saya sendiri tidak memposisikan diri sebagai failosof-bukan agamawan-bukan psikolog-bukan saintis-bukan mistikus-bukan sufi-bukan akademisi, hanyalah seorang (yang berupaya memposisikan diri sebagai) pencari kebenaran sebab itu saya tidak ingin merekonstruksi atau membedah permasalahan ‘hati’ ini dari sudut pandang filsafat-sains-psikologi dlsb.hanya dari sudut pandang ‘apa adanya-sebagaimana kenyataannya’ sebagaimana yang saya dan publik umumnya, tangkap dan fahami.dengan kata lain,walau sulit ‘di ilmiah kan’ persoalan ‘hati’ tetap harus difahami karena itu menyangkut realitas-yang ADA
Sayapun tidak membedah masalah hati ini dengan menggunakan instrument dualism : rasionalisme-empirisme tidak juga dengan pendekatan sudut pandang mistis yang dikaitkan dengan ‘mysteri’ misal. saya mendekatinya dari pemahaman yang umum-publik mudah fahami saja.karena membedah masalah ‘hati’ dengan menggunakan instrument rasionalisme-empirisme misal disamping terlalu njelimet-rumit juga belum tentu menghasilkan pemahaman pemahaman definitive terhadap ‘hati’ yang ilmiah dalam arti terstruktur-konstruktif karena sifat hati yang memang sulit dideskripsikan kedalam konsep ‘serba pasti’ ala Immanuel Kant-ala Descartes maupun ala dialektika Hegel misal.disinilah keunikan ‘hati’ yang karakternya memang unik sehingga bahkan failosof yang terbiasa bermain di wilayah otak atau ‘akal formal’ akan kesulitan atau bahkan mungkin ‘kebingungan’ menyikapi proposisi proposisi yang dihadirkan oleh hati.lalu persoalan hati pun ditendang keluar dari wilayah ilmiah-dianggap wilayah mistis, karena ‘ilmiah’ diartikan ‘harus serba pasti dan terukur’
Apakah ‘hati’ bukan permasalahan filsafati serta tak bisa menjadi permasalahan filsafati ? kalau filsafat ingin orientasi terbatas hanya pada segala suatu yang bisa dideskripsikan dengan serba pasti-terukur dan terstruktur ya keluarkan saja persoalan ‘hati’ dari dunia filsafat,tetapi resikonya adalah filsafat harus disebut sebagai wacana yang terbatas-tidak menyeluruh,sebab frasa ‘menyeluruh’ bermakna merangkum keseluruhan yang ada dalam kenyataan.
Ingin mengeluarkan ‘hati’ dari problem filsafati dan menendangnya ke wilayah ‘mistis’ ? maka resikonya harus berhadapan dengan realitas dunia manusia yang telah memahami hati sebagai ‘bahasa permanen’ dan sekaligus sebagai realitas permanen.resiko lainnya harus melenyapkan kosa kata : cinta-kasih sayang-iman-keyakinan dan banyak lagi.sebuah upaya yang mustahil.artinya apa yang lahir dari hati itu realitas yang manusia tangkap secara alamiah bukan hal ‘mistis’
Hati hanya dapat difahami oleh hati itu intinya,konsep rasionalisme-empirisme pun akan sulit mendeskripsikannya secara terstruktur karena akan selalu ada wilayah hati yang sulit bahkan tak bisa dilukiskan jangankan oleh suatu system filsafat tertentu bahkan oleh kata kata (!).. ada ungkapan ‘saya tak bisa melukiskan perasaan saya’..’saya kehabisan kata kata untuk melukiskannya’..
Dengan kata lain bila propisisi proposisi yang berasal dari hati ini di tarik ke wilayah mistis itu menurut saya kurang tepat, seolah hati hanya bermain di wilayah gaib-wilayah misteri yang seolah tidak berhubungan dengan wilayah rasionalitas-empirisitas dan realitas sehari hari.sebab menurut saya hati ini bersifat merangkum keseluruhan,apa yang kita fikirkan secara rasional bahkan dengan menggunakan hukum hukum logika yang super ketat pun pada akhirnya toh akan bermuara pada hati,lalu seluruh apa yang kita tangkap dengan dunia inderawi maka pada ujungnya juga akan bermuara pada hati,untuk lalu diragukan atau diyakini,dimaknai atau tidak dimaknai,diberi arti atau tak diberi arti