Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kemana arah tujuan anda berfilsafat (?)

23 Juni 2014   23:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:28 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

…..

Berfilsafat merupakan kegiatan berfikir yang tentu saja bisa disebut baik - bermakna tetapi tentu sejauh hal itu menghasilkan hal hal yang bersifat positif dalam arti ‘menerangi dan mencerahkan’ alam fikiran manusia, misal yang ujungnya bisa melahirkan optimisme bukan skeptisisme atau yang ujungnya melahirkan keyakinan akan adanya kebenaran yang bersifat hakiki yang bisa dijadikan sebagai pedoman, bukan mengarah ke prinsip absurdisme - hal yang serba tak pasti yang ujungnya hanya menimbulkan keraguan yang tanpa akhir,lebih dalam lagi yang melahirkan kebahagiaan bukan kehampaan hati

Karena hakikat berfikir yang dimaksud orang orang bijak tentu identik dengan mencari kebenaran - keyakinan bukan untuk mencari ragu,walau di awal mesti ada prinsip ‘meragukan segala suatu’ misal, tetapi itu hanya sekedar metode awal untuk pada akhirnya memperoleh keyakinan yang tak diragukan lagi bukan untuk tetap dalam ragu yang permanen sepanjang hayat

Baik dan bermakna misal bila memikirkan - mendalami serta mempertanyakan hakikat dari segala suatu yang ada atau berupaya memikirkan serta memahami secara rasional segala suatu yang ada dan terjadi dalam realitas kehidupan

Dan baik dan bermakna pula bila berfilsafat ujungnya melahirkan kultur cara berfikir yang tertata - terstruktur - cara berfikir tertata rapi ,sehingga dalam mengkaji serta merumuskan segala suatu tidak dengan cara berfikir ‘acak’ (sebuah cara berfikir yang tidak mengikuti alur  tatacara berfikir tertata sehingga ujungnya hanya melahirkan hal hal yang bersifat spekulatif - relativistik - meragukan). sebab tentu ironis bila berfilsafat ujungnya hanya untuk melahirkan (serta orientasi pada) hal hal yang bersifat spekulatif semata,sedang para filsuf bijak mengajarkan cara berfikir yang tertata, dan karena rasionalitas - hal yang rasional tentu hanya bisa ditemukan dan difahami melalui alur berfikir yang tertata - konstruktif,bukan dengan jalan berfikir ‘acak’ yang spekulatif

Sebagaimana ironis bila berfilsafat misal hanya untuk melahirkan pandangan atau jalan fikiran yang memperlihatkan sikap yang a moral,jauh dari etika dan kemanusiaan yang beradab sebagaimana yang dikumandangkan oleh seorang Frederick Nietzhe,yang filosofi nya lalu diadopsi oleh seorang Adolf Hitler hanya untuk kemudian melahirkan hal yang menyengsarakan umat manusia. dan sebab,bukankah moralitas-etika dan perilaku beradab adalah hal hal yang juga diajarkan para filsuf bijak dimasa silam (?)

Lalu bagaimana bila ada orang yang berfilsafat dan memenuhi kepalanya dengan beragam pengetahuan filsafati tetapi ujungnya hanya melahirkan rasa skpetis - perasaan yang hampa dan dipenuhi dengan keraguan, sebuah kondisi yang jauh dari memiliki ‘ruh kebahagiaan hakiki’ …. (?)

…………………………………………

Lalu dalam berfilsafat apakah suatu yang urgent bila kita mempermasalahkan perihal ‘optimisme’ - skeptisisme’ - ‘keraguan’ - ‘keyakinan’, hal hal mendasar yang biasa bergumul dalam hati manusia (?) ….

Bagi sebagian orang hal hal seperti itu teramat sangat penting bahkan suatu yang bersifat mendasar untuk dipikirkan, sebab ujungnya bersangkutan dengan masalah ‘kebahagiaan’dan ‘penderitaan’.mengapa banyak orang yang dalam kehidupannya suka mencari cari serta mempermasalahkan problem ‘kebenaran hakiki dan ‘keyakinan (hakiki)’ sebab hal hal seperti itu bila diperoleh akan memberi mereka kepuasan dan kebahagiaan batiniah tersendiri yang tiada taranya,dan ini latar belakang yang harus difahami oleh para intelektual - orang orang ‘berotak’ yang biasa bergumul di dunia filsafat khususnya, artinya dalam ranah berfikir (termasuk didalamya ‘berfilsafat’), jangan beranggapan cukup bila hanya untuk pemenuhan ‘isi otak’ semata,tanpa mempermasalahkan adanya kebutuhan yang lebih bersifat essensial yang ada dalam kalbu - spiritual - batiniah manusia terdalam

(apakah para filsuf era kontemporer - kaum post mo masih memikirkan hal hal mendasar seperti itu ataukah mereka sudah pada meninggalkannya - sudah tak peduli lagi pada problem ‘kebutuhan batin’ manusia,karena berpandangan di era ‘modern’ ini yang perlu banyak di isi hanyalah‘otak - kepala’ ?, dan kita wajar untuk ‘ber curiga’ karena para filsuf era kontemporer banyak yang malah ingin ‘mendekonstruksi’ bangunan kebenaran mendasar yang telah ditemukan para filsuf klasik dan cenderung menolak membicarakannya lagi, termasuk membicarakan masalah ‘hakikat’-‘kebenaran hakiki’) yang dulu biasa dibicarakan oleh para filsuf klasik

……………………………………….

Atau, mengapa sebenarnya fitrah sejati manusia yang berfikir adalah mencari cari kebenaran dan keyakinan (?) …. sebab bila memperoleh keduanya maka manusia memperoleh rasa bahagia yang mendalam terutama bila kebenaran itu bersifat hakiki - tetap - tak berubah ubah.dan artinya tanpa ada kebenaran hakiki yang diyakini maka manusia sebenarnya hanya akan hidup dalam keraguan dan kehampaan yang menyiksa batin

Seseorang yang isi kepalanya dipenuhi ber aneka ragam ilmu - pengetahuan dengan metodologi yang berbeda beda tidak bisa dijamin merupakan orang dengan batin yang ‘bahagia’ andai ia belum mengisi hatinya dengan ‘keyakinan hakiki’,sebab bagi seorang yang tengah bergumul dengan problem ‘kebahagiaan batin’ maka mereka akan tahu mana antara dua hal yang berlawanan ini : keraguan dan keyakinan, yang membawa manusia ke ranah kebahagiaan sejati,karena tentu ganjil bagi kita bila ada seorang yang berkata : ‘batin saya merasa bahagia karena batin saya dipenuhi dengan keraguan’ (keraguan tidak paralel dengan kebahagiaan)

Ya,keyakinan memberi manusia sesuatu yang sangat mendasar-fundamental bagi kalbu manusia yang terdalam yaitu ‘kebahagiaan’.itu sebab mengapa orang orang tertentu mencarinya dan ketika mereka memperolehnya mereka ingin tetap berada didalamnya,sebab bagi mereka keraguan adalah suatu yang identik dengan ketakbahagiaan - sesuatu yang hanya menimbulkan perasaan resah dan kehampaan

Setelah kita menyadari vitalnya rasa bahagia bagi kalbu manusia dalam kehidupannya mungkin diantara kita ada yang mencoba menghubungkan antara ‘kebijaksanaan’ sebagaimana yang sering ditulis dalam buku pengantar filsafat sebagai ‘suatu yang menjadi orientasi berfikir para filsuf’ dengan ‘kebahagiaan’, dan lalu mencoba bertanya : apakah ‘kebijaksanaan’ yang dimaksud memang bisa mendatangkan kebahagiaan (?) .. sebab pasti tidak ideal bila ‘kebijaksanaan’ yang dimaksud itu malah membawa manusia kepada ketidak bahagiaan misal

…………………….

Tetapi bila berfilsafat pada akhirnya - di ujung hanya untuk melahirkan skeptisisme - absurdisme - ketakjelasan - keserba takpastian - keserba raguan dlsb.yang bersifat negative tentu kita seperti harus mempertanyakan kembali makna keberadaan filsafat beserta para filsuf nya dalam peradaban umat manusia yang dalam buku buku pengantar filsafat gambaran idealtentang mereka senantiasa dilukiskan sebagai ‘orang orang yang cinta akan kebijaksanaan’. apakah seorang pemikir yang orientasi pada ketakjelasan - absurdisme,lalu ujungnya pada skeptisisme (bukan pada keyakinan akan adanya kebenaran yang bersifat pasti - hakiki ) adalah gambaran ‘orang yang cinta kebijaksanaan’ sebagaimana yang dimaksud oleh para penulis sejarah filsafat (?)

Lalu bagaimana dengan orang yang oleh para filsuf mungkin digambarkan sebagai ‘awam’ tetapi ia menjalani hidupnya dengan penuh optimis-sukacita-penuh pengharapan dan lalu pergi ke alam kubur dengan hati yang bahagia karena membawa keyakinan yang kuat, apakah orang seperti ini tidak lebih baik dari seorang filsuf skeptik misal yang tak membawa apapun ke alam kubur kecuali hanya keraguan yang meng hampa kan jiwa (?)

………………………………………………

Ataukah filsafat adalah sebuah dunia yang di satu sisi bisa melahirkan orang bijak dan di sisi lain juga melahirkan orang orang yang ‘tidak bijak’(?)

Atau apakah filsafat hanya orientasi kepada melahirkan orang orang cerdas - pintar tetapi bukan untuk melahirkan orang yang memiliki keyakinan akan hal yang bersifat hakiki, serta bukan untuk melahirkan orang yang bahagia secara batiniah (karena memiliki keyakinan yang dibawa hingga ke alam kuburnya ?)

Karena, pintar atau bodoh,filsuf atau orang awam dalam satu hal mendasar mereka hakikatnya sama : semua dikungkung oleh hukum kehidupan pasti yang sama yang mustahil bisa dihindari,sebagaimana semua sama sama hidup dalam perputaran siang-malam yang sama semuanya juga akan sama sama tua (kalau dipanjangkan umur) dan semua akan sama sama mati (!)

Sehingga bila ukuran yang dicari manusia dalam kehidupannya adalah kepintaran maka memang layak bila ia hanya bergumul dengan dunia filsafat semata,tetapi bila ukuran yang dicari manusia adalah keyakinan serta kebahagiaan ( yang sejati - hakiki ) maka, apakah manusia juga akan selalu bisa menemukannya disana (?)

……………………..

Sebagaimana kita ketahui dan harus kita sadari secara baik baik adalah bahwa kita semua seluruh umat manusia dikungkung oleh hukum kehidupan pasti yang real-nyata : adanya perputaran siang malam yang tetap,yang muda selalu menjadi tua,yang hidup akan selalu mati,semua yang dilahirkan selalu terbagi kepada dua jenis antara : lelaki - wanita,jantan - betina, dlsb.dlsb.yang bersifat baku-tetap.

Sehingga lalu bila ada pandangan dari dunia filsafat yang mengarahkan manusia pada prinsip relatifisme sedang fakta menunjukkan sebaliknya bahwa yang baku-tetap (‘hakiki’) itu ada dan merupakan hukum kehidupan pasti, apakah itu merupakan jalan untuk menjadi orang yang bijak (?)

Seperti yang selalu ingin saya ungkapkan, berfilsafat tentu bukan untuk lari dari kenyataan tetapi untuk menyadari dan menerima nya, sebab sadar akan kenyataan adalah ciri dari orang yang berfikir

Bila berfilsafat hanya untuk melahirkan spekulasi demi spekulasi tanpa ada keyakinan terhadap hal yang bersifat hakiki sedang kehidupan manusia dikungkung oleh hal yang bersifat pasti dan hakiki seperti hukum kehidupan pasti lalu apa sebenarnya yang seharusnya dicari oleh para filsuf : kebenaran (sejati) atau sekedar ‘gairah kebebasan berfikir spekulatif ‘(?)

Lalu,mengapa berfilsafat ternyata bisa juga berujung sikap skeptik(?) ….. karena manusia skeptik hanya mengandalkan berspekulasi semata bukan mengarahkan alam fikiran kepada mencari kebenaran hakiki yang bisa dipegang sebagai keyakinan, yang bila hal itu dicari sebenarnya pasti adanya sebagaimana kepastian adanya hukum kehidupan pasti, dan sebab apa yang bisa dipegang dari sebuah spekulasi bagi seorang yang tujuannya adalah mencari keyakinan hakiki ?

Sebab ‘spekulasi’ itu identik dengan keserba takpastian dan ‘keraguan’ yang ujungnya adalah ‘ketakbahagiaan’ sehingga sebagian orang menghindarinya dan mereka hanya ingin mencari hal yang bersifat pasti - hakiki yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupannya dan menimbulkan rasa bahagia dalam kalbunya yang terdalam

………………………………………………………………………

Berfilsafat adalah menempuh suatu jalan dan ujungnya bisa mengarah ke arah kiri atau ke arah kanan, bergantung kepada apa yang menjadi orientasi - tujuan orang yang menjalaninya.sebab filsafat tak bisa diparalelkan dengan sebuah rumusan atau pencapaian tertentu,apakah itu dengan skeptisisme ataupun keyakinan akan adanya kebenaran hakiki,tak bisa diparalelkan dengan pikiran teistik maupun ateistik, sebab filsafat hanyalah sekedar jalan jalan yang dibuat atau ditemukan oleh jalan fikiran manusia,yang dari zaman ke zaman bisa saja berubah ubah,dan karena ia hanya jalan tentu saja ia bukanlah muara terakhir

………………………………………………………………………

Dan karena kita semua umat manusia, dikungkung oleh hukum kehidupan pasti yang bersifat hakiki yang mustahil kita ubah maka kegiatan berfilsafat tentu tak boleh membawa kita ke dunia khayal seolah olah kita tidak akan tua - seolah kita akan hidup abadi.

Kematian, apapun persepsi kita terhadapnya tetaplah harus disikapi secara realistik dan dijadikan salah satu pertimbangan mendasar dalam berfikir,termasuk tentu berfikir tentang : apa yang harus kita bawa ke alam kematian : keraguan - sikap skeptik ataukah keyakinan (hakiki) ?

Sebab tentu ironis bila berpuluh tahun kita melelahkan diri berfikir tanpa akhir bahkan hingga kepada hal hal yang rumit,tetapi kita harus mengakhiri kehidupan kita dengan bersikap skeptik - tanpa keyakinan hakiki - tanpa harapan apapun dan tanpa rasa bahagia

Sangat ironis bila hasil berfikir yang melelahkan selama berpuluh tahun itu hanya diakhiri oleh sebuah kepercayaan bahwa eksistensi manusia pada akhirnya hanya akan berakhir hingga diliang lahat untuk dilenyapkan kembali kepada ketiadaan sebagaimana pada awal mula kita belum diciptakan.

Lalu,bila semua umat manusia yang pernah hidup di dunia ini pada akhirnya hanya akan dilenyapkan kembali kepada ketiadaan lalu apa makna hidup ini,apa MAKNA dari realitas adanya orang yang berfikir mencari kebenaran dan yang tidak,… apa makna dari adanya dua golongan manusia yang berbeda antara yang bersusah payah berbuat kebaikan dan yang sesuka hati berbuat kejahatan (?)

……………………………………

Dan berfilsafat tentu bukan sekedar dengan tujuan untuk mengoleksi pengetahuan tentang berbagai pandangan para filsuf ternama dengan beragam pandangan dan jalan pemikiran mereka yang berbeda satu sama lain dan menyimpannya dalam memory otak,tetapi pada akhirnya kegiatan itu akan berkorelasi dengan hal hal mendasar - essensial yang ada dalam hati manusia semisal keyakinan atau keraguan, kepercayaan atau ketakpercayaan

………………………………….

( sekedar bahan renungan .. bukan menghakimi …. semoga bermanfaat )

………………………………….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun