[caption id="attachment_346904" align="aligncenter" width="300" caption="images:inspirasi.co"][/caption]
…
Ilmu pengetahuan adalah instrument vital bagi manusia untuk memahami segala suatu yang ada dalam kehidupan - yang mengantarkan manusia untuk bisa menggapai apa yang disebut sebagai ‘kebenaran’, sehingga tiadalah kebenaran itu bisa diraih melainkan melalui jalan ilmu termasuk untuk memahami kebenaran Tuhan - agama sekalipun.artinya Tuhan - agama pun tak bisa difahami hanya sebatas oleh ‘dogma’ semata sebagaimana anggapan sebagian orang bersudut pandang sempit.
Tetapi apa yang kemudian terjadi apabila definisi pengertian ‘ilmu pengetahuan’ itu dibatasi oleh sekelompok orang yang bersudut pandang materialist sebagai ‘segala suatu yang sebatas bisa diverifikasi oleh pengalaman dunia indera - secara empirik’,lalu mereka memparalelkan definisi pengertian ‘ilmu pengetahuan’ dengan segala suatu yang memiliki bukti empirik langsung dan secara institusi dengan ‘sains’,sehingga bagi mereka ‘ilmu pengetahuan = sains’ dimana yang selain dari itu dianggapnya hanya sekedar ‘wacana’ karena dianggap tak bersandar pada bukti empirik langsung yang bisa diverifikasi.dari paradigma keilmuan seperti itulah lahir gagasan ‘saintisme’,sehingga ‘saintisme’ ini bisa disebut merupakan pandangan keilmuan kaum materialist,dalam sains kontemporer saintisme mewujud dalam bentuk ideology ‘materialisme ilmiah’ yang beranggapan segala suatu bisa direduksi kepada penjelasan yang bersifat materi dan menolak bila sains dibawa kepada tafsiran tafsiran yang bersifat metafisik
Lalu dengan paradigma keilmuan yang seperti itu mereka menyingkirkan agama dari wilayah ilmu pengetahuan dan menganggapnya hanya sebagai sesuatu yang berdasar ‘dogma’ semata (ajaran kepercayaan yang tak bisa direkonstruksi secara ilmiah)
Sedang dalam kacamata sudut pandang Tuhan yang disebut konsep ‘ilmu pengetahuan’ adalah suatu yang harus bisa menerangkan keseluruhan apakah itu dunia alam lahiriah yang bisa diverifikasi pengalaman dunia indera maupun dunia abstrak-gaib yang tak bisa diverifikasi pengalaman dunia indera, sehingga kedua dimensi alam itu bisa difahami secara menyatu padu dalam kesatuan systemik. sebab suatu yang ganjil dan tidak adil apabila dunia alam lahiriah-material di ekplorasi secara ilmiah dengan secara sungguh sungguh tetapi dunia bastrak-gaib dibiarkan menjadi mystery yang tak bisa difahami secara konstruktif oleh akal fikiran manusia,nah agama adalah institusi yang mengkonsepsikan agar dunia abstrak-gaib bisa difahami secara konstruktif melalui jalan ilmu dan itu harus dengan bercermin pada dunia yang real (bukan bersandar pada mitos khayali) ,misal bila pada dunia yang real kita melihat adanya kebaikan-kejahatan maka Tuhan memberitahu bahwa di dunia gaib ada pengadilan Ilahi - ada konsep balasan yang adil sebagai ‘system’ atau mekanisme dari apa yang ada dalam kehidupan tersebut.
Lalu bagaimana menggapai dunia abstrak-gaib dengan ilmu pengetahuan (?) .. tentu jalan itu tak akan bisa diberikan oleh dunia sains,dan jalan jalan yang diberikan oleh filsafat pun tentu sangat terbatas,apa yang bisa diberikan dunia filsafat untuk menggapai dunia ‘metafisik’ akhirnya hanya berujung spekulasi dan munculnya berbagai pertanyaan yang tak bisa terjawab
Dalam agama ada tersedia seperangkat peralatan ilmiah komplit untuk agar manusia bisa menelusur dunia abstrak-gaib untuk memahami bentuk kebenaran yang bersifat abstrak mulai dari ilmu sari’at,ilmu logika, ilmu hakikat hingga ke tahapan ilmu hikmat,yang semua itu bila di polakan berstruktur hierarkis. sehingga disamping manusia mengenal bentuk kebenaran empirik manusiapun akan mengenal bentuk kebenaran yang bersifat abstrak sebagai tafsir - ‘terjemahan’ dari yang empirik itu tadi
Sebab karena ada berbagai bentuk ilmu sebagaimana disebut diatas tadi maka sebagai konsekuensinya dalam sudut pandang agama ada berbagai bentuk kebenaran,ada bentuk kebenaran empirik-kebenaran rasional-kebenaran hakiki dan kebenaran berdasar hikmat,dan sebagaimana struktur ilmu itu bersifat hierarkis maka secara otomatis bentuk kebenaranpun berpola sama (hierarkis),karena kebenaran adalah muara dari ilmu pengetahuan.jadi tidak seperti sains agama tidak berkecimpung hanya dalam satu bentuk kebenaran belaka
............................................
Ideal memang manusia menjadi makhluk yang selalu harus mempertanyakan segala suatu demikian menurut prinsip para failosof tetapi mesti diingat bahwa merupakan suatu yang GANJIL - jauh dari gambaran ideal apabila hingga akhir hayat menjelang manusia hanya bertanya dan terus bertanya tanpa pernah memperoleh jawaban terakhirnya,walau memang benar bahwa bertanya adalah pintu gerbang ilmu pengetahuan,tetapi yang ideal adalah apa yang kita telusuri bermuara pada apa yang kita yakini sebagai kebenaran
Itu sebab ada yang setelah berkelana didunia sains-filsafat manusia menemukan jawaban dari apa yang mereka cari dalam agama karena dalam agama ada konsep hakikat’-‘kebenaran hakiki’ yang merupakan muara dari perjalanan panjang manusia mencari kebenaran,tetapi ada juga yang tetap memilih berspekulasi dengan pemikiran pemikiran spekulatifnya
Dengan kata lain bila sains mengarahkan ekplorasi ilmu ke dunia alam lahiriah untuk menghasilkan peradaban ber teknologi misal,maka agama mengarahkan ekplorasi ilmu ke dunia abstrak untuk memahami hakikat dan makna terdalam dari segala suatu misal
Materialist memandang ‘realitas’ sebagai hanya segala suatu yang bersifat lahiriah-material-fisik dan karenanya konsep keilmuan merekapun berdiri diatas prinsip demikian, sedang dalam pandangan agama yang disebut ‘realitas’ bukan hanya yang bisa diinderai tetapi juga yang tak bisa diinderai, yang paling dekat misal fikiran,perasaan,alam ruh, yang lebih jauh lagi : keberadaan Tuhan,malaikat-saitan, alam akhirat dlsb.sebab itu konsep ilmu versi agama berpijak pada dua dimensi yang berbeda : yang lahiriah-material dan yang abstrak-gaib,dimana yang lahiriah dijadikan cermin untuk memahami yang absrak-gaib
………………………………………………………………………..
Dalam persfektif Ilahi - kacamata sudut pandang agama, apa yang disebut ilmu pengetahuan empirik-sains adalah tahap pertama atau baru sekedar bahan mentah untuk diolah lebih lanjut oleh akal fikiran dan nurani untuk dibawa kepada tafsir - pengertian yang bersifat abstrak,untuk dihayati hakikatnya dan makna nya,itu sebab dalam agama ada level berfikir ‘mendalami-merenungi-menghayati’ dan itu artinya membawa hal yang empiris ke dunia abstrak,sebab untuk sekedar menangkap kebenaran empirik manusia tak harus sampai ke level berfikir merenung
Jadi dalam persfektif Ilahi sains itu bukanlah muara ilmu pengetahuan dan artinya bukan muara kebenaran apalagi dianggap sebagai ‘parameter ilmu - kebenaran’ tetapi baru sekedar bahan mentah yang harus diolah untuk memahami hal hal yang lebih tinggi dan lebih dalam dari itu yang bersifat abstrak, dengan kata lain persfektif Ilahi lebih kepada mencari ‘yang abstrak dibalik yang fisik-material’ bukan semata mencari kebenaran empirik sebagaimana yang dicari sains.sehingga bila dalam dunia sains manusia mengenal konsep 'kebenaran empirik'-'kebenaran obyektif' maka dalam dunia agama kita mengenal konsep 'kebenaran hakiki'-'kebenaran berdasar hikmat', keduanya sama sama 'kebenaran' namun berada pada ruang-dimensi yang berbeda
Dengan menelusuri dari dasar bagaimana sebenarnya pandangan agama terhadap konsep ‘ilmu pengetahuan’ maka para peneliti masalah hubungan agama-sains bisa menempatkan dimana agama harus diposisikan dalam hubungannya dengan sains,sebab walau obyek yang dibicarakan sama misal realitas nampak (dunia alam lahiriah) namun bila para saintis berupaya menariknya kepada tafsir tafsir saintifik untuk merumuskan kebenaran empiriknya maka agama akan menariknya ‘kedalam’ - ke tafsir yang bersifat abstrak - ke dunia makna-makna misal
Dan apa yang dianggap orang sebagai ‘benturan agama-sains’ sebenarnya lebih merupakan benturan agama dengan hipotesa-gagasan manusia bukan benturan agama dengan fakta empirik,sebab bila orang ingin mencari fakta empirik yang berbenturan secara langsung dengan kitab suci mereka akan kesulitan menemukannya sebab itu sebagian membenturkannya dengan ‘hipotesa’
Beberapa orang pengamat merasa ‘rumit’ mencari bentuk hubungan yang harmonis antara agama-sains karena mereka melihat seolah ada benturan agama-sains gara gara terlalu focus melihat pada kasus Galileo dan kasus teori Darwin, padahal kalau bercermin pada deskripsi Newton yang mendeskripsikan alam semesta sebagaimana adanya mengikuti hukum hukum fisika alami yang dapat dirumuskan dalam rumusan rumusan matematika murni tanpa tafsiran ‘filosofis’-‘ideologis’ maka akan lebih mudah untuk melihat bentuk hubungan ideal antara agama-sains, maka mengapa harus selalu bercermin pada kasus Galileo dan teori Darwin yang debatable karena pada kasus Galileo ada kesahan tafsir para pendeta yang secara keliru oleh para saintis mungkin dianggap sebagai ‘deskripsi Tuhan’,dan pada kasus teori Darwin ada kerancuan akibat penempatan yang tumpang tindih antara ‘kebenaran empirik’ dengan yang baru sekedar ‘hipotesa’, sehingga idealnya yang sekedar ‘hipotesa’ seharusnya tak dijadikan wakil sains ketika diperhadapkan kepada agama,sebab metodologi sains sendiri memutlakkan bukti empirik sebagai landasan kebenaran empirik.
Saya pribadi terkadang heran dengan sikap sebagian pengamat agama-sains, mengapa ketika sains hendak diperhadapkan dengan agama untuk mencari bentuk keterhubungannya maka secara frontal selalu saja langsung dihadapkan kepada kasus Galileo seolah tafsiran para pendeta mutlak mewakili Tuhan dan kepada teori Darwin seolah teori Darwin sudah berdasar bukti empiris.saya fikir mengapa tidak memperhadapkannya juga dengan deskripsi Newton misal yang nyata berdasar hukum fisika yang dapat diuji - real sebagaimana adanya bukan berdasar hipotesa semata
……………………….
Dan itulah hal hal mendasar yang perlu kiranya diperhatikan oleh para pengamat serta pemerhati hubungan agama - sains agar bahasan mengenai upaya mencari bentuk hubungan agama - sains atau dalam scope yang lebih luas lagi : hubungan agama-ilmu pengetahuan agar tidak terjebak pada kesalah fahaman yang berujung pada salah pengertian
Sebab yang menjadi masalah lebih serius terkadang sebenarnya bukan problem agama dengan sains nya tetapi cara pandang-kacamata sudut pandang-bingkai SANG PENGAMAT nya itu yang akan lebih muncul ke permukaan dan yang ditangkap oleh publik
Analoginya ibarat sebuah mur yang belum dibersihkan dari karat maka ia belum bisa disatukan dengan baut maka demikian pula sains yang belum dibersihkan dari atau belum dipisahkan dengan berbagai ide-gagasan-hipotesa yang belum terbukti secara empirik atau belum dibersihkan dari cara pandang ideologis semisal ideologi materialisme ilmiah misal maka akan sulit untuk mencari bentuk keterhubungannya dengan agama,hanya sains yang murni bersih dari persepsi - gagasan manusia yang keliru yang akan mudah dilihat keterhubungannya dengan agama
………………………..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H