..
Ilmu pengetahuan sebagai konstruksi ADA part 5,sebelumnya part 1-part2-part3-part4
Mungkin anda pernah melihat bagaimana kondisi bangunan bangunan setelah terjadinya bencana gempa yang sangat besar.nah apabila konsep *kebenaran konstruktif dalam dunia filsafat disini, adalah sesuatu yang selama berabad abad oleh usaha manusia - para pemikir-failosof yang tanpa henti maka bagaimana bentuk bangun kebenaran konstruktif itu dalam ranah filsafat kontemporer apakah terlihat makin kokoh ataukah malah mengalami semacam keruntuhan (?)
Bila era filsafat mulai mencari kebenaran yang sesungguhnya (berkaitan dengan akal) adalah era yang dimulai dari perlawanan Socrates - Plato terhadap jalan pikiran kaum Sopis maka itu adalah era dimana manusia mulai mencari dan berupaya membangun sebuah bentuk kebenaran konstruktif dalam arti era dimana manusia mencari bentuk kebenaran yang bisa diterima dan fahami bersama oleh cara berfikir akal fikiran manusia (bisa difahami oleh manusia yang sama sama berakal),sedang ‘sang antagonis’ dalam kisah awal pencarian kebenaran itu adalah kaum Sofis, fihak yang berpandangan sebaliknya, mereka memiliki filosofi bahwa kebenaran itu bersifat ‘relatif’,apa yang hari ini benar esok bisa menjadi salah,sehingga bagi mereka logika hanya dijadikan semacam retorika untuk menjelaskan pandangan pandangan yang sifatnya individualistik-subyektif bukan untuk membangun konsep kebenaran konstruktif yang bersifat permanen dan bisa difahami bersama sebagai ‘kebenaran’ yang logis-bisa difahami akal fikiran
Nah Socrates-Plato adalah para ‘nabi’ yang berupaya menghancurkan bentuk pemikiran spekulatif kaum Sophies khususnya yang hanya membentuk gambaran kebenaran yang bersifat relative-kebenaran yang tidak difahami secara seragam oleh orang berakal yang menggunakan akal fikirannya,bentuk ‘kebenaran menurut saya’ bukan ‘kebenaran menurut logika akal’
Misal, bila saya menyatakan ‘dibalik wujud terdesain itu mesti ada sosok sang pendesain’ maka saya bukan ingin membangun kebenaran yang bersifat relative atau ‘kebenaran menurut persepsi saya semata’ tetapi ingin membangun bentuk kebenaran konstruktif - bentuk kebenaran yang bisa diterima dan difahami oleh orang lain yang sama sama memiliki akal,sebab saya yakin bagi orang yang menggunakan akal nya dimanapun diseluruh muka bumi ini mereka akan memahami bahwa sesuatu yang terdesain mustahil bisa lahir dari kebetulan-tanpa peran sang pendesain,sebab tak pernah ada contohnya di dunia nyata bahwa sebuah wujud terdesain bisa berasal dari kebetulan atau bagan bagan dari kebetulan itu bisa menyusun dirinya sendiri sehingga membentuk wujud keseluruhan yang terdesain.dan saya berbicara tentang hal ini bukan ketika berbicara tentang benda benda terdesain buatan manusia tetapi juga tentang wujud yang serba terdesain yang ada di alam semesta termasuk wujud bentuk bangun manusia itu sendiri
Nah,dengan pernyataan itu saya juga bukan ingin membangun bentuk kebenaran yang bersifat temporer : hari ini dianggap benar tetapi besok atau kelak nanti bisa dianggap salah tetapi ingin membangun bentuk kebenaran yang bersifat permanen-tetap-baku karena bersifat pasti bahwasanya sampai dunia kiamatpun wujud yang terdesain itu hanya bisa lahir dari adanya sang pendesain.
Dan dengan pernyataan diatas itu saya bukan ingin membangun ‘kebenaran menurut saya sendiri’ tetapi saya ingin membentuk kebenaran yang juga bisa diterima dan difahami oleh akal fikiran semua orang di seluruh dunia karena akal fikiran manusia itu dimanapun karakteristiknya sama,dengan kata lain saya ingin membangun konsep ‘kebenaran rasional umum’ yang bersifat tunggal (diterima dan dibenarkan oleh akal semua orang seperti semua orang menerima konsep 2x2=4)
Lalu bila saat ini dengan melesatnya perkembangan sains dan banyak manusia menjadikan metodologi empirisme - filsafat positivisme sebagai parameter - acuan dalam berfikir dan acuan dalam melihat berbagai problem keilmuan maka,apakah pandangan saya itu akan bisa runtuh atau bisa terbantahkan (?)
Pandangan saya diatas adalah pandangan konstruktif-logosentris-berdasar akal,bukan berdasar pandangan empiristik-berdasar pengalaman inderawi semata,sehingga andai saya tak bisa melihat atau memperlihatkan bukti empiris sang pendesain alam semesta misal,maka argument ‘keharusan adanya sang pendesain dibalik wujud yang terdesain’ tetap tak bisa dihancurkan oleh apapun bahkan yang mengatas namakan empirisme-metodologi empirik,sebab pernyataan saya itu mengacu pada pemahaman akal (rasionalitas) bukan berlandaskan metodologi empirik (kecuali tentu terhadap benda terdesain buatan manusia yang pendesainnya bisa dibuktikan secara empirik).kecuali bila akal telah dicabut dari diri manusia dan manusia hanya makhluk terdiri dari panca indera - tanpa akal maka manusia tak akan dan tak merasa perlu lagi mencari cari bentuk ‘kebenaran konstruktif’ (kebenaran rasionalistik-berdasar akal),mungkin yang mereka fikirkan hanya ‘kebenaran empirik’(berdasar pengalaman inderawi)
………………………………………
Nah yang dicari oleh para filsuf klasik adalah model bentuk kebenaran seperti itu,mereka mencari bentuk kebenaran yang bersifat ‘hakiki’,permanen - baku, artinya tak bisa dihancurkan oleh apapun siapapun dengan cara bagaimanapun tetapi batasannya adalah ‘bersifat konstruktif’ bisa difahami oleh akal fikiran
Bangunan kebenaran konstruktif-logo sentris dalam dunia filsafat dari awal memang ibarat bangunan yang sering diguncang gempa dan itu terjadi ketika sering terjadinya benturan antar pandangan-system pemikiran didalamnya,misal di awal antara Plato vs Aristoteles,monisme vs dualisme, materialisme vs idealisme, dan guncangan lebih dahsyat terjadi khususnya saat terjadi konfrontasi antara faham empirisme yang ingin berjejak ‘ke bumi-ke dunia nyata’ dengan faham rasionalisme yang ingin melepaskan diri dari dunia pengalaman inderawi yang sempit dan terbatas,sebuah guncangan yang menimbulkan lubang besar yang menganga dalam bangunan filsafat walau dicoba di rekatkan kembali oleh Immanuel Kant,tetapi sampai saat ini lubang yang ditinggalkan malah seperti makin menganga.dan memasuki dunia filsafat kontemporer gempa yang lebih dahsyat terjadi saat para dekonstruksionis mencoba membongkar bangunan warisan para failosof klasik itu hingga ke akar akarnya dan bukan untuk membangunnya kembali secara lebih konstruktif (menurut parameter akal ) tetapi untuk membawa tiap element yang dibongkar itu ‘ke rumah pribadinya masing masing’- ke ranah individulistik sehingga akhirnya runtuhlah ‘bangunan klasik’ yang telah dibangun secara susah payah oleh para failosof klasik itu.itulah sejarah singkat bangunan kebenaran konstruktif di dunia filsafat hingga ke era kontemporer
Artinya dengan wajah sudah ‘babak belur’ tibalah konsep kebenaran logo sentris itu di istana filsafat kontemporer .. lalu bagaimana ia diperlakukan .. apakah ia diperlakukan dengan penuh hormat lalu diberi tahta dan mahkota untuk menjadi ‘raja yang baru’(?) .. atau malah ia berusaha untuk dipreteli kembali satu persatu apa pun yang menempel kepadanya …(?)
Apakah filsafat kontemporer merupakan cerminan filosofi cara pandang Socrates-Plato yang rela meminum racun demi mempertahankan keyakinannya atas pemikiran kaum Sofis yang dianggapnya salah ataukah telah menjadi kerajaan para Sofis generasi baru (?) .. sebab apa bedanya filosofi sebagian filsuf kontemporer yang orientasi pada ‘individualitas’ dan ‘pluralitas’ - yang sudah tak lagi memikirkan kebenaran konstruktif-menyatu-hakiki dengan filosofi cara pandang kaum Sofis (?)
Karena di dunia filsafat kontemporer wajah kebenaran konstruktif yang berdasar logosentris yang berupaya dibangun oleh upaya akal fikiran para filosof itu telah tidak lagi memiliki bentuk bangun yang jelas malah terkesan seperti bangunan yang nyaris ambruk maka di atas reruntuhannya itulah sebagian filsuf kontemporer membentuk cara pandang baru yang lebih orientasi ke pandangan individualistik - pluralistik - orientasi kepada kemajemukan - penghargaan tinggi kepada perbedaan daripada mencari bentuk kebenaran tunggal yang bersifat hakiki.ini pada akhirnya cara baru menjatuhkan kembali konsep kebenaran pada prinsip relativisme - kebenaran yang bergantung pada sudut pandang orang per orang
Sehingga bisa disebut nasib konsep kebenaran yang berkarakter konstruktif-logosentris - bentuk kebenaran yang dicari akal dalam dunia filsafat kontemporer bernasib tragis khususnya setelah Derrida mempreteli konsep konsep dasarnya dan lalu menyerahkannya pada tiap individu untuk memaknainya secara plural tanpa harus merasa terbebani untuk mencari bentuk kebenaran tunggal
Sehingga kini harapan satu satunya untuk menemukan adanya bentuk kebenaran tunggal hanya tinggal pada agama,dan mengapa dalam agama konsep kebenaran konstruktif itu bersifat baku-tidak berubah ubah mengikuti arus tren pemikiran manusia (?), .. sebab bentuk kebenaran seperti itu dalam agama disandarkan pada hal yang bersifat tetap-baku seperti adanya hukum kehidupan pasti (ada siang-malam, kehidupan-kematian,sebab-akibat,dlsb.) sehingga tidak seperti dalam dunia filsafat yang bersandar pada jalan fikiran manusia yang terkadang masih bisa runtuhkan oleh manusia lain yang melihat dari sudut pandang yang lain
Dalam dunia filsafat konsep kebenaran tertentu yang secara susah payah dibangun terkadang tidak bisa tetap-permanen karena tidak bersandar pada ‘hakikat’-hal yang bersifat hakiki, sehingga seperti bisa dihancurkan oleh argumentasi lain yang melihatnya dari sudut pandang lain.beda dengan dalam agama konsep kebenarannya terikat atau diikat oleh hal yang bersifat hakiki yang tak pernah bisa diubah oleh usaha manusiawi
…………….
Betulkah kaum Sofis era baru mendirikan istananya diatas reruntuhan konsep kebenaran logo sentris yang dianggap telah tinggal puing puing (?) ….
Betulkah tren pemikiran dunia menciptakan world view yang makin mengarah kepada filosofi cara pandang individualistik - pluralistik - relativistik daripada mengarah kepada mencari bentuk kebenaran konstruktif-tunggal yang bisa difahami akal fikiran semua umat manusia (?) .. artinya karena semua problem pada akhirnya diserahkan pada pandangan individu yang serba plural maka filsafat harus terperosok kembali ke faham relatifisme persis seperti era kaum Sofis yang dulu ditentang mati matian oleh Socrates dan Plato (?)
Dan sebelumnya kaum Sofis era baru merasa memiliki landasan yang kuat untuk meruntuhkan gagasan kebenaran konstruktif-tunggal yang dianggap hanya 'ide ide metafisis kosong' karena mereka lebih ingin bersandar pada cara berfikir positifistik mengikuti arahan Auguste comte yang lebih menjadikan empirisme sebagai landasan-sumber 'kebenaran'.jadi apa yang ada-terjadi di dunia filsafat kontemporer yang melahirkan tren berfikir-world view era baru sebenarnya semacam kolaborasi antara empirisme+relatifisme+pluralisme,sebuah kolaborasi yang harus rela mengesampingkan dominasi akal fikiran atas manusia
…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H