Bayangkan lagu yang Anda kenal dan cintai, yang penuh makna emosional, tiba-tiba muncul dalam sebuah iklan brand. Liriknya diubah untuk mempromosikan produk, tetapi melodinya tetap sama. Nostalgia yang seharusnya menjadi momen pribadi kini diarahkan untuk mendukung narasi komersial. Dan yang membuat Anda bingung? Pemilik lagu itu sendiri terlibat dalam kampanye tersebut. Bagaimana menurut Anda? Sekilas, ini tampak seperti kolaborasi. Namun, mari kita perjelas: ini lebih menyerupai kooptasi.
Kooptasi terjadi ketika sesuatu yang memiliki makna asli---seperti seni atau budaya---diambil alih, diolah ulang, dan dimanfaatkan untuk agenda lain. Bahkan jika pencipta lagu aslinya setuju, konteksnya tidak bisa diabaikan. Seni, yang seharusnya menjadi ruang ekspresi kejujuran dan nilai-nilai universal, direduksi menjadi alat untuk mendukung strategi pemasaran - tentu ini menyedihkan. Dalam konteks ini, bukan lagi hanya tentang iklan. Ini adalah refleksi tentang bagaimana sebuah brand memandang audiens mereka---stakeholder yang memiliki peran penting dalam keberlanjutan brand tersebut.
Penghormatan kepada Stakeholder: Esensi atau Formalitas?
Stakeholder adalah lebih dari sekadar pelanggan; mereka adalah mitra yang memberikan kehidupan kepada sebuah brand. Ketika sebuah brand memilih untuk memanfaatkan elemen budaya populer yang memiliki nilai emosional bagi audiensnya, apa yang sebenarnya mereka katakan? Apakah ini menunjukkan penghormatan, atau hanya memanfaatkan emosi untuk tujuan sesaat?
Ketika seni atau budaya digunakan tanpa mempertimbangkan maknanya, hubungan yang seharusnya saling menghormati berubah menjadi relasi transaksional. Brand yang melakukan ini tidak berbicara kepada audiens, melainkan berbicara melalui mereka---memanfaatkan emosi yang melekat pada elemen budaya tersebut untuk memengaruhi persepsi. Keterlibatan kreator aslinya mungkin memberi kesan "kerja sama," tetapi tidak serta-merta menghapus pertanyaan penting: Apakah nilai asli karya tersebut masih dihormati?
Ketika brand lebih fokus pada relevansi tren daripada membangun hubungan yang bermakna, mereka berisiko kehilangan kepercayaan dari stakeholder. Sebuah hubungan yang didasarkan pada manipulasi, bukan integritas. Stakeholder tidak hanya menginginkan produk atau layanan; mereka ingin merasa dihargai sebagai individu yang cerdas dan bernilai.
Kepercayaan: Fondasi dari Keberlanjutan Brand
Kepercayaan adalah mata uang yang paling berharga dalam dunia bisnis. Sebuah brand yang menghormati stakeholder-nya memahami bahwa kepercayaan dibangun melalui komunikasi yang otentik, bukan manipulasi. Mereka sadar bahwa seni atau budaya bukan hanya alat pemasaran, tetapi jembatan untuk menciptakan hubungan yang tulus.
Namun, ketika elemen budaya populer dimanfaatkan tanpa memperhatikan konteks aslinya, brand berisiko mengirimkan pesan yang salah. Ini bukan tentang menghormati audiens, tetapi tentang mengejar relevansi dengan cara yang dangkal. Dan dalam jangka panjang, dampaknya bisa merugikan, karena audiens akan mulai mempertanyakan nilai-nilai yang diwakili oleh brand tersebut.
Jadi, mari kita bertanya: apakah ini benar-benar penghormatan, atau hanya eksploitasi yang disamarkan? Brand yang sukses tidak hanya bertahan karena kreativitas mereka, tetapi karena mereka membangun hubungan yang bermakna dengan stakeholder mereka. Mereka memahami bahwa kepercayaan tidak dibangun melalui tren viral, tetapi melalui penghormatan yang konsisten terhadap nilai-nilai yang dipegang audiens mereka.
Jika sebuah brand ingin terus relevan dan dihormati, mereka perlu menghormati stakeholder mereka dengan cara yang nyata. Ini bukan hanya soal produk atau layanan, tetapi tentang bagaimana brand memperlakukan elemen budaya dan seni yang dihargai oleh audiens mereka. Karena pada akhirnya, kepercayaan adalah fondasi dari keberlanjutan, dan penghormatan adalah jalan menuju kepercayaan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H